Wednesday, November 11, 2015

8. Love run through my blood

KEANU

Aku pernah berada disini sebelumnya, namun lagi  dan lagi aku selalu gagal menafsirkan. Aku menghabiskan separuh hidupku untuk berpura-pura merasakan kenyamanan. Mencari jalan keluar untuk melarikan diri; dari hidup yang penuh kesia-siaan.

Sore ini hujan menguap dan hanya menyisakan mendung yang menggantung di atas cakrawala senja yang temaram, sementara aku sedang sibuk membedakan mana kenyataan dan mana ketiadaan. Yang aku tahu, kamu berhasil menyita waktu luangku.

Aku selalu mempersiapkan semua hal yang terjadi dalam hidupku. Seingatku, aku jarang sekali gagal dalam segala langkahku. Kesalahan mungkin selalu ada, namun tak pernah benar-benar fatal. Apa yang aku inginkan selalu bisa aku dapatkan. Walaupun terkadang, aku sadar tak selamanya hal tersebut memang aku butuhkan. Kali ini aku merasa lain dari biasanya. Aku yang terbiasa melakukan segala sesuatunya secara spontan sesuai dengan keinginanku, kini harus berpikir sejenak untuk sedikit menerka-nerka terlebih dulu. Aku menyiapkan ancang-ancang untuk berlari dari rasa yang mengejarku dari belakang. Tanpa aku sadari, rasa itu sudah memelukku dari belakang dan aku tak akan bisa pergi kemana-mana lagi, sekarang.

“Ken, kamu tau gak kenapa aku suka banget kalau hujan?” Jenna menarikku menjauhi cucuran air hujan yang daritadi aku abaikan.

“Kenapa? Karena kamu suka galau?"

“Jadi kamu galau kalau hujan?”

“Jadi kenapa kamu suka banget hujan?”

“Karena hujan tau bagaimana caranya untuk bersenang-senang” katanya sambil mendorongku ke tengah hujan yang sedang tak basa-basi.

“Jen ah, kalau becanda kira-kira dikit dong!” kataku sambil kemudian menarik Jenna ke arahku.
Sepertinya Jenna sudah lebih siap dengan apa yang akan aku lakukan. Jenna mengelak dan malah terus mendorongku ke tengah hujan, Kini aku basah kuyup.

“Nah tuh kayak gitu, muka kamu yang kayak gitu yang buat aku senang” Jenna tertawa bukan kepalang.

“Jadi kamu Tarik aku ke tempat teduh cuma buat aku basah kuyup?” kataku speechless.

Jenna menggelengkan kepala lalu berjalan santai ke arahku. Kemudian dia memelukku, menenggelamkan wajahnya di dadaku.

Gemuruh di dadaku lebih ramai dibandingkan dengan suara hujan yang menimpa kami berdua saat ini.

“Biar aku bisa meluk kamu” suaranya tenggelam dalam gemuruh hujan, aku hanya bisa mendengarnya samar-samar.

“Apa Jen?” kataku kaku.

Jenna melepaskan pelukannya, kemudian menciumku. Bibir hangatnya menyentuh bibirku yang kelu. Aku menutup mataku dan tak bisa merasakan apa-apa lagi. Seingatku, aku kemudian memeluk perempuan di hadapanku.

Jantungku berdegup tak santai, seluruh tubuhku seakan kesemutan. Samar-samar aku dengar namaku dipanggil berulang kali tapi aku malas menanggapi. Semakin aku memusatkan pendengaranku terdengar jelas suara Meow sedang bercengkrama dengan suara perempuan yang tak asing lagi ditelingaku. Jenna! Pikirku. Aku membuka mataku dan langsung terbangun dari pembaringanku. Pintu kamar sudah terbuka, di teras depan kulihat Meow dan Jenna sedang mengobrol. Yang pasti kudengar ada namaku disebut-sebut. Cahaya yang muncul dari sela-sela jendela juga menandakan bahwa hari ini cerah tidak sedang hujan. Damn! Mimpi apa aku barusan?

Aku terduduk di Kasur masih sedikit terguncang, aku melihat jam yang masih melingkar ditanganku karena tak sempat aku lepaskan. Kali ini sudah pukul 7 pagi. Sepertinya aku baru saja terlelap saat Adzan subuh berkumandang, tapi kenapa aku bisa bermimpi seperti itu. Aku mengucek mataku berkali-kali sambil mengumpulkan sisa-sisa energi dalam tubuhku. Walaupun aku sadar itu hanyalah mimpi, jantungku masih berdegup kencang sekali.

Wajah Jenna menyeruak dari balik pintu, “Good morning…” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Jantungku semakin berdegup tak santai. Aku berusaha terlihat senormal mungkin. Akhirnya aku bangun dari dudukku dan meraih jaket yang semalam aku gantungkan di belakang pintu dan mengenakannya. Berjalan gontai menghampiri mereka di luar, meraih botol air mineralku semalam.

“Kalian ngapain sih pagi-pagi udah berisik, hari Minggu nih”, kataku mencoba berbaur dan duduk di sofa teras.

Jenna masih berdiri di dekat pintu sambil memainkan handphonenya. Kali ini dia beranjak ke dalam dan memutarkan musik. Alunan lagupun berpendar keseluruh ruangan dan gendang telingaku.

Aku adalah seorang yang keras hati
Yang tak pernah merasakan kelembutan hati
Hingga disini diperhentian terakhir
Ku berjumpa dengan engkau
Terpikat aku jadinya
(Angkuh - Padi)

“Justru karena hari Minggu dan cerah kita harus mulai kehidupan lebih pagi, karena kemarin seharian sudah terbuang percuma”, katanya sumringah.

“Apaan percuma? Ditemenin sama makhluk ganteng kayak aku kamu bilang percuma Master?” kataku sambil meneggak air mineral dari botolnya.

“Sarapan bubur yang di Setiabudi yuk, yang dekat kampus itu lho sekalian cuci mata”, kata Meow kemudian.

“Yaelah sarapan aja jauh banget, di depan sana yang dekat Hotel juga ada sarapan kok.” Kata Jenna merengut.

“Udah gak usah mandi, cuci muka aja yuk berangkat”, Keanu bergegas ke arah westafel dan mengiringku dengannya.

Akhirnya kami bertigapun pergi meninggalkan rumah, berniat sarapan dengan tampilan seadanya. Tak ada satupun dari kita yang mandi. Aura pagi ini berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Matahari pagi menjatuhkan sinarnya tepat kepada perempuan yang sedang duduk disampingku. Sambil sibuk memasangkan kabel dari handphonenya untuk memutarkan musik-musiknya. Atmosphere pagi ini sangat hangat, sehangat suasana hatiku yang terpana melihat Jenna tertawa selepas mungkin karena obrolan absurd kami pagi ini. Walaupun dia mengenakan kacamata hitam untuk menghindari cahaya dihadapannya, aku masih dapat merasakan kebahagiaan terpancar dari matanya yang coklat dan teduh. Mimpiku semalam sepertinya pertanda baik, mengingat hal itu aku tak bisa menyembunyikan senyumku yang sedaritadi terus terkembang tanpa aku sadari.

Engkaulah sang Mentari yang menyinari Bumi
Dan akan menghangatkan gairah hatiku..
Engkaulah Embun Pagi yang membasahi Tanah
Dan akan menyegarkan setiap lelah jiwaku
(Angkuh - Padi)

Jalanan kota Bandung di Hari Minggu pagi ini masih tampak lengang, belum ada tanda-tanda kesibukan yang aku lihat. Kamipun tiba di tempat tujuan dengan lumayan cepat. Sesampainya ke tempat yang dimaksud, kami langsung memesan pesanan kami masing-masing. Aku heran melihat Jenna hanya memesan potongan usus dan telur yang dibuat sate saja.

“Kamu kok pesannya cuma kayak gitu doing Jen?” Meow lebih dulu melontarkan pertanyaan yang baru saja akan aku tanyakan.

“Aku gak suka bubur” Jenna nyengir sambil terus makan sate usus dan telornya.

“Lah kenapa gak bilang?” tanyaku kemudian. Meow hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.
“Emang kamu tadi nanya?” katanya dengan mulut penuh makanan.

Aku mengernyitkan dahiku. Tak habis pikir dengan apa yang ada dipikiran Jenna. Hal sekecil itupun dia tak pernah mau bilang, apalagi hal yang lebih besar.

Aku menawarkan nasi uduk yang sudah buka tepat disebelah kami duduk, namun Jenna menolak dengan alasan kenyang. Masuk akal dari mana Jenna bisa mendapatkan tubuh mungilnya, makannnya memang tak pernah banyak, batinku. Setelah kenyang dan mengobrol-ngobrol sebentar, aku memutuskan untuk segela beranjak dari tempat tersebut. Aku perhatikan Jenna pun sudah mulai kepanasan. Rambutnya yang terurai kini sudah dicepol alakadarnya. Hari sudah merambat siang dan cuacanya pun sudah agak panas, akupun mulai merasa berkeringat. “Yuk ah cabut..” kataku memberi aba-aba. Jenna dan Meow hanya mengikutiku dari belakang.

Aku mengarahkan kendaraanku ke arah sebaliknya. Tujuan selanjutnya adalah ke rumahku. Sesuai dugaanku, Jenna pasti bertanya-tanya. “Eh ini kita kok malah naik ke atas.. bukannya turun. Mau kemana ini? Tanyanya sambil menurunkan kacamata hitam yang bertengger dihidung mungilnya sambil celingukan. Dia mengelus-ngelus hidungnya jika sedang kebingungan, aku sudah tau sekali kebiasaannya.

“Culiiikkk lagiiii…”kataku senyum-senyum. “Meow hanya tertawa sambil memainkan handphonenya”.

“Ah gak asik nih main culik aja, kita mau ke Lembang?”tanyanya lagi, kali ini mulutnya terlihat cemberut. “Aku kan belum mandi Ken…”katanya murung.

“Iya, nanti mandi di rumahku aja ya,”aku tersenyum ke arah gadis yang berada disebelahku.

 Jenna yang biasanya aku lihat dress up dengan make up dari kemarin hanya mengenakan piyama dan sekarang kaos oblong serta hotpants dengan rambut nya yang dicepol. Aku agak lucu melihatnya. Melihatnya seperti ini, dia hanya seperti gadis kecil biasa. Tak seperti Jenna yang selalu membuatku berdebar. Tapi tetap saja membuatku gemas.

“Kita ke rumahmu? Ka..yak..gini..?” Jenna tergagap menunjuk penampilannya.

Aku mengangguk-ngangguk sambil mengganti playlistnya Jenna dengan CD favoritku. Akupun mulai bernyanyi-nyanyi kecil.
Last night I woke up in the night
Bad news was on the radio
How’d I get tangled in the spider web?
I got to standing up in the headlight, headlight..
At this point, how am I gonna change my mind?
(Headlight – English version by Monkey Mejik)

Entah apa yang telah merasuki pikiranku. Mungkin karena mimpiku semalam yang menjadikan moodku hari ini sangat cemerlang Tak pernah terpikirkan sebelumnya untuk membawa seorang perempuan masuk ke dalam rumahku. Bukannya tidak ingin dan tak bisa, hanya saja sepertinya itu memang tak perlu. Biasanya mereka hanya aku ajak kencan biasa. Tapi Jenna, aku ingin mengajaknya untuk mengetahui kehidupan pribadiku lebih dalam. Suatu hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya kepada perempuan asing yang baru saja aku kenal.

Beberapa bulan lalu, aku tak pernah membayangkan hidupku akan berubah sedrastis ini. Aku menarik diriku dari kebiasaan lamaku dan tak hanya menghabiskan waktuku bersama teman-teman. Ingin selalu ada Jenna dalam setiap hari yang kulalui. Walaupun aku masih bingung, belum tau tujuanku dengan Jenna sampai sejauh ini. Aku sedikit ded-degan penasaran melihat respons Jenna yang kali ini tampak tenang seperti biasa. 

Akhirnya kami tiba di rumahku. Aku membuka pintu rumah dan mempersilahkan Jenna masuk sementara Meow sudah tak canggung lagi dengan keadaan disini. Pandangan Jenna sibuk memperhatian sekelilingnya sambil mengusap-usap hidungnya. Lucu sekali, pikirku. Jenna diam saja dan tak banyak bicara, dia hanya mengikuti aku dan Meow yang langsung menuju ke kamarku. Awalnya dia agak canggung masuk ke kamarku, namun seperti biasa dia mampu mengatasinya. Kulihat dia sekarang sudah duduk di sofa kamarku dan sambil terus memperhatikan sekitarnya. Aku berjalan menuju keluar mengambil beberapa cemilan dan minuman ringan. Karena kulihat stock nya sudah habis di kulkas kamarku. Bibi – pembatuku yang stay di rumahku sedang sibuk di kebun belakang. Menyirami tanaman dan tak terlalu menghiraukan kepulanganku. Aku segera bergegas ke kamarku lagi dan menaruh semua persediaan di depan Jenna. Sementara Meow sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

“Ken.. aku gak apa-apa ini.. hmm..” kata Jenna gugup.

“Oh iya, aku ngerti maksudnya. Kamu mau salaman sama orang tua ku? Nanti ya kalau Lebaran..” aku tertawa melihat ekspresi Jenna.

“Oh mereka lagi pergi? Kakakmu?” tanyanya lagi kebingungan.

“Bukan lagi pergi, mereka emang gak tinggal disini dan kakak aku udah pulang juga ke rumahnya tadi pagi. Rumahnya jauh, dekat kampusnya dan kamu pasti gak tau kalau akau jelasin.” Kataku menjelaskan sesederhana mungkin. Aku tau, Jenna pasti kebingungan,

“Jadi kamu tinggal disini sendiri?” tanyanya sambil mengelus hidungnya.

“Enggak juga, ada Bibi sama Puca…”, nanti aku bawa kesini deh buat aku kenalin sama kamu.
"Puca?" kali ini dia sedikit kaget.

"Iya pacar aku..." aku menggodanya.

Jenna hanya mengangguk-nganggukan kepalanya dengan tenang.

"Puca kucing aku Jennaraaa...." kataku gemas.

“Wah kamu punya kucing? Aku suka banget sama kucing…..” Jenna merengek.

“Ya udah gak jadi aku bawa kesini deh si Puca, nanti kamu suka sama dia, jadian terus kesini terus lagi! Udah ah aku mandi dulu” aku bergegas meninggalkan kamar karena memang sudah sangat kegerahan. Dalam hati aku senang sekali, karena alasan apa akupun tak tau.

Air meluncur dengan deras dari atas shower, membasahi seluruh kepala dan tubuhku. Aku tak bisa berhenti memikirkan tentang Jenna, padahal dirinya ada bersama denganku sekarang. Aku penasaran tentang apa yang Jenna pikirkan tentangku yang hidup seorang diri disini, jauh dengan keluargaku. Entah mengapa,pendapatnya tiba-tiba menjadi sangat penting untukku. semakin aku memikirkannya, aku semakin tak ingin jauh darinya. Ah lebay! Aku mengumpat dalam hatiku. Aku harus segera menarik garis lurus mengenai hubunganku dengan Jenna. Lagipula aku banyak dekat dengan perempuan-perempuan lainnya. Aku tak ingin perasaan-perasaan seperti ini akan merusak dikemudian hari. Tapi aku terlalu sibuk dengan perasaan yang baru saja aku dapatkan dan malas untuk menerka-nerka ujungnya. Aku putuskan sementara ini hanya akan tetap begini. Sudah pasti banyak hal yang tak aku ketahui mengenai kehidupannya. Tak ada niat untuk mencari tau, aku hanya ingin melindunginya tanpa ketahuan. 

Tubuhku sekarang sudah lebih segar, aku berdiri mematung di toilet memandangi wajahku di cermin. Ingin bertanya langsung pada Jenna mengenai apa yang dia pikirkan tentangku, tapi sepertinya hal itu hanya akan merusak hari ini. Aku tak siap mendengarkan jawaban-jawabannya. Aku memikirkan hal apa yang akan aku kenalkan padanya, untuk selalu membuatnya tertawa. Pikiranku penuh oleh ide-ide gila. Kebersamaanku dengan Jenna membuat otakku bekerja dua kali lebih keras. Dia juga dipaksa untuk lebih kreatif karena cara yang biasa sepertinya tak akan mempan untuk Jenna. Tiba-tiba aku tersadar bahwa apa yang kupikirkan adalah cara untuk mendapatkan hati Jenna. Aku menarik nafas panjang, bergegas mengambil sebuah baju di kamar Kakak ku dan menyiapkan handuk untuk Jenna dan meletakkannya di Toilet. Aku panggil Bibi agar menyiapkan makan siang untuk kami semua.

"Diantar ke kamar Mas?" Bibi memastikan.

"Enggak, nanti saya turun aja." kataku tersenyum. Bibi tau sekali segala kebiasaanku. Saat aku berada dirumah, waktuku banyak aku habiskan di kamar saja.

Saat aku tiba di kamar, posisi Jenna masih belum berubah, masih terduduk di sofa dengan tenangnya. “Kamu kenapa sih? Kayak baru sekali aja masuk ke kamar cowok.” Aku masuk hanya dengan mengenakan boxer dan handuk yang masih menggantung di leherku berjalan menuju lemari. Cuek saja pikirku, toh cuma Jenna. Dalam lubuk hatiku yang terdalam protes, kok bisa aku sangat nyaman dengan perempuan ini sehingga tak merasa risih sedikitpun.

Jenna tak menghiraukan, hanya menunduk dan asik dengan handphonenya. Mungkin kali ini Jenna yang risih melihat kelakuanku. Aku segera berpakaian seadanya, mengenakan celana piyama panjang dan kaos oblong biasa. Sangat nyaman. Aku duduk di karpet membuka beberapa cemilan dan minuman ringan yang sudah kubawa tadi. “Ngerokok aja Master… disini smoking area kok.” kataku mencairkan suasana karena daritadi mataku mengawasi Jenna yang juga sibuk memperhatikanku. 
Udara kamarku sedikit lembab karena terlalu lama tertutup. Aku kemudian membuka semua gordeng dan jendela yang ada di kamarku membiarkan udara masuk ke dalamnya. Walaupun cuaca hari ini lumayan panas, namun dapat aku rasakan semilir anginnya masih tetap sejuk mengusap wajahku. Jenna berjalan ke arahku, berdiri menghadap ke arah luar.

“Wah.. pemandangannya…” katanya kemudian, sedikit tertegun.

Aku berdiri disampingnya “Kamu suka?” tanyaku.

“Iya, aku suka.” Katanya seraya tersenyum melihat pemandangan yang ada di hadapannya.

“Aku juga suka”, kataku sambil melihat ke arah Jenna, bukan melihat pemandangan di depanku, tapi melihat pemandangan disampingku.

Rumahku berada di sekitaran bukit dan letaknya memang sedikit di atas. Kamarku memiliki balcon yang langsung menghadap ke arah pemandangan yang luas tersebut sehingga aku betah berlama-lama disini. Ini memang salah satu spot favoritku di kamar, Jenna tak salah pilih. Jika cuaca sedang cerah, aku bisa melihat pemandangan pegunungan dari balcon kamarku. Jika malam, aku bisa melihat bintang dengan jelas, karena itu aku menyediakan teropong mini untuk sekedar iseng menjelajahi luar angkasa walaupun hanya dari bumi. Jarang sekali aku berbagi mengenai kehidupan pribadiku dengan perempuan selain sahabat-sahabat sekolahku yang sekarang sudah entah kemana itupun tidak sampai sedetail ini.

“Kapan-kapan, malam kesini aja biar bisa keliatan bintangnya” kataku pada Jenna yang saat ini tengah sibuk memainkan teropongnya. Jenna masih sibuk dengan mainan barunya. "Mandi gih sana.. gak gerah apa.." kataku kemudian.

Jenna tesenyum, “Ini bukan rumahku jadi aku gak tau dimana handuk atau kamar mandinya” Aku mengarahkan Jenna agar berjalan mengikutiku. “Ada baju yang sempat aku beli buat kakak aku tapi kekecilan, masih baru dan masih ada tag-nya. Udah aku siapin ditoilet lengkap sama handuknya.” Kataku kemudian dan ini sangat jujur aku yang menyiapkannya sendiri tanpa meminta bantuan pada Bibi. Hal yang biasa sih, tapi menurutku luar biasa. Jenna hanya tersenyum dan melenggang santai, tak ada sedikitpun canggung aku lihat di wajahnya. Aku ingin membuat Jenna senyaman mungkin berada di rumahku. 

Aku menyalakan TV dan mengoyang-goyangkan tubuh Meow yang sepertinya sudah lelap kembali.

“Meow bangun eh… tidur terus yaa” kataku.

“Apa sih Ken, udah ada Jenna juga, istirahat bentar punggung retak rasanya nih” katanya setengah menggumam.

“Yeeeh… ada Jenna gimana sih, main game ayoooo”, aku terus membangunkannya.

Namun Meow tetap tak bergeming, dia tetap melanjutkan tidurnya. Aku main game sendiri sambil menunggu Jenna mandi. Harum Almond dan Vanilla menyeruak sesaat setelah Jenna kembali ke kamar dan duduk di sebelahku. Wajahnya sudah sangat segar sekali.

“Cukup kan bajunya?” aku melihat ke arah jumpsuit yang Jenna kenakan.

“Agak kebesaran sih tapi yah normal lah daripada bajuku yang tadi” katanya. “Ini yakin nih baju kakak kamu?” Jenna bertanya curiga.

“Gak ada perempuan lain di rumah ini selain kakak aku sama Ibu aku yang jarang kesini. Lagian Ibu aku pakai gamis, kamu mau pakai?”aku tertawa sedikit senang Jenna menaruh curiga padaku.

“Yah percaya sama kamu sih sama aja bunuh diri namanya”katanya kemudian.

Aku meletakkan stick game ku dan berpaling ke arah Jenna. “Maksud kamu?” tanya aku penasaran.

“Gak ada maksud apa-apaan kok cuma ngomong doang” katanya memalingkan.

“Aku emang banyak fansnya Master, tapi gak semua fans aku ajak ke rumah juga. Jadi kamu slaah satu fans yang beruntung.” Aku menggoda Jenna yang kini sedang berjalan mengambil rokoknya dan kembali ke sofa di balcon.

“Jadi aku harus syukuran apa gimana nih?” Jenna setengah berteriak dan menggodaku balik, aku hanya tertawa.

Aku biasanya tak pernah sebetah ini berada di rumah, namun kali ini aku hanya ingin berlama-lama disini bersama Jenna, hari Mingguku jadi lebih bewarna. Jenna sepertinya tau saja cara menentang pemikiranku. Jenna yang jarang sekali complain menurutku agak tak biasa. Saat kebanyakan perempuan terlalu sibuk untuk mencari-cari perhatian, Jenna hanya seperti biasa saja. Tak pernah dia melontarkan keinginan-keinginan tertentu. Itu yang membuatku harus lebih kreatif dalam hal ini. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus aku lakukan agar membuat Jenna nyaman dan tak membuatnya risih. Apa yang sedang dia inginkan dan apa yang sedang dia pikirkan. Tapi selalu buntu, untuk bertanya langsung padanya sama sekali tak pernah aku lakukan.

“Mau jalan ke rumah Mas Egi jam berapa?” tanyanya kemudian berdiri di sampingku.
“Ma Egi siapa?” aku bertanya balik padanya.

“Sepupunya temanku itu, kemarin kamu yang menggebu-gebu ingin kesana agar bisa segera mulai bisnis sepatu” kata Jenna meluruskan.

Aku mengangguk-angguk dan memandang ke arah Meow yang sedaritadi tepar. “Meow nya aja tepar, apa kita kesana berdua aja?” tanyaku ragu-ragu.

“Kamu malas pergi yah?” Jenna mengerenyitkan dahinya memperhatikanku dengan seksama.

Aku tak menjawab lalu kembali kepada game yang tadi sempat aku tinggalkan, tak perlu aku jawab harusnya Jenna bisa langsung tau karena tampilanku saat ini bukan seperti orang yang siap pergi. “Kenapa? Kamu bosan disini yah?” Aku tak mendengar jawaban apapun dari mulut Jenna. Aku anggap itu sebagai iya.

“Ya udah yuk pergi yuk”, kataku sambil masih asik memainkan game ku. Masih tak ada jawaban juga, aku memalingkan pandanganku pada Jenna. Ternyata dia sedang asyik mengamati beberapa photo yang ada di meja sudut kamarku. “Itu aku lagi kecil lho Master, lucu kan… udah gedenya tambah lucu lagi” Aku nyerocos tanpa ditanya.

Jenna sibuk memperhatikan satu persatu photo yang aku pajang. “Orang tua kau tinggal di luar Kota, Ayahku lebih sering bepergian ke luar kota atau bahkan keluar Negeri untuk mengurusi bisnisnya. Ibu aku lebih sering tinggal di rumah, tapi lumayan jarang kesini.” Aku menjelaskan panjang lebar, pandanganku tetap fokus pada game yang sedang aku mainkan.

“Kamu juga jarang pulang ketemu Ibumu?” akhirnya Jenna membuka suara.

“Yah jarang juga. Kalau udah bener-bener gak ada lagi yang mesti aku kerjain disini atau ada hal tertentu yang harus aku lakukan baru aku pulang.” Jawabku jujur.

“Dimana sih rumahmu itu?” tanya Jenna kini dia mendekat menghampiriku.

“Yah disini,” aku tertawa. “Masa kecilku sebagian besar aku habiskan buat pindah-pindah ikut kemanapun orang tuaku bertugas. Aku nakal banget lagi kecil Master, Ibuku pernah cerita bahwa aku adalah musuh tetangga pada saat itu”, akhirnya pehatianku teralihkan, kini aku bercerita dengan lancar kepada Jenna tentang kehidupanku yang benar-benar pribadi, sampai-sampai aku berbagi masa kecilku dengannya. “Dulu aku dibilang tukang sulap. Benda apapun yang aku pegang selalu saja hilang atau rusak”. Aku bercerita panjang lebar, Jenna hanya mendengarkan dengan tenang sambil sesekali dia menertawakan kebodohanku di masalalu. Entah Jenna memang suka mendengarkan atau memang dia benar-benar tertarik dengan kehidupanku, aku masih tak tau. Yang jelas aku terus bercerita, karena ternyata itu bisa membuatnya tertawa, dan aku sangat suka.

Aku ingin sekali membahagiakan perempuan yang berada dihadapanku sekarang. Jika dengan bercerita aku bisa membayar tawanya, maka akan aku lakukan setiap hari. Raut wajahnya saat tertawa tak bisa aku gambarkan lewat kata-kata. Tawa renyahnya kini memenuhi setiap ruang dalam pikiranku. Berpendar kesana kemari dan aku tak ingin kehilangan moment itu.

Tanpa sadar aku telah jatuh cinta. Aku mengakuinya dalam hatiku. Seberapa besarpun aku berusaha melawannya, mataku tetap tak dapat berbohong bahwa aku memang sedang jatuh cinta. Jika ini adalah akhir dari perjalanan cintaku, maka hatiku memutuskan untuk berhenti di sudut hatimu. Walaupun aku tau, di dalamnya ada beberapa hati lain yang menunggu selain punyaku, sepertinya aku tak akan peduli. Bagiku, begini saja sudah cukup. Aku tak akan membiarkanmu kemana-mana lagi. Andai berbicara langsung pada Jenna mengenai perasaan jujurku selancar aku berbicara pada hatiku, jantungku mungkin tak akan berdegup sekencang sekarang.

Aku tak pernah mengutarakan perasaanku langsung padanya, kurasa dia sudah paham dan aku rasa dia sudah lebih berpengalaman dalam masalah hati. Hanya saja yang membuatku tak habis pikir, bagaimana mungkin dia tetap bisa tenang seolah ini adalah hal yang biasa baginya. AKu bersikeras tetap pada misi awalku sebelumnya, aku ingin melindunginya tanpa ketahuan. Itu saja, cukup.

Setelah menceritakan semua pengalaman masa kecilku dan bercerita sedikit tentang keluargaku, Jenna masih tetap santai menanggapinya. Aku tinggal jauh dari orang tuaku, sama seperti Jenna juga. Bedanya, Jenna tau alasan aku seperti ini, sementara aku tak pernah tau apa-apa tentangnya. Aku sengaja bercerita, berharap diapun akan melakukan hal yang sama. Tapi ternyata itu tak pernah terjadi sama sekali dan aku hanya bisa gigit jari. Sibuk menerka-nerka dengan pikiranku sendiri. Orang tuaku sangat sibuk bekerja, sehingga aku harus menerima bahwa aku tak boleh jadi pribadi yang manja. Walaupun disini aku diberikan fasilitas yang lengkap dan tak kekurangan apapun, kadang aku masih saja tak tau diri. Belajar dari situ, aku bertambah penasaran dengan kehidupan Jenna. Apakah Jenna juga merasakan apa yang aku rasakan? Aku melihatnya berbeda. Dibalik sosoknya yang tenang, aku merasa Jenna lebih kuat dibandingkan dengan aku. Tinggal jauh dari keluarga dengan mengontrak rumah, sibuk dengan rutinitas sehari-harinya yang bekerja seperti itu membuatku jadi lebih ingin berguna untuknya. Tapi aku takut Jenna salah menafsirkan keingin tahuanku. Aku takut jika dia merasa risih dengan segala sikapku. Perasaan seperti itu aku buang jauh-jauh. Sejauh ini Jenna tak pernah komplain juga, pikirku. Terkadang aku ingin sekali mendengar Jenna berkomentar atau menyampaikan sesuatu tentang aku. Tapi hingga detik ini semua itu tak pernah terjadi. Tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk, aku tau itu pasti Bibi dan makan siang yang aku pesan sudah siap.

“Yuk makan yuk, laper banget aku udah” aku mengajak Jenna dan menarik Meow yang kini sudah mulai terbangun namun masih berbaring. Siang itu kami makan di rumah, masakan Bibi memang paling dahsyat, mengalahkan makanan restaurant manapun. Aku makan lahap sekali, aku memperhatikan Jenna yang juga makan dengan tenangnya. Setelah makan siang, aku langsung kembali ke kamarku, bermain game dengan Meow. Jenna tadi masih sibuk membereskan bekas makan siang kami, walaupun sudah aku bilang untuk membiarkannya, dia tetap ngeyel. Lumayan lama aku menunggu Jenna tak kunjung kembali ke kamarku. Aku turun ke bawah untuk melihat apa yang sedang dia lakukan. Ternyata dia sedang mengobrol dengan si Bibi. Bibi yang sibuk menyapu lantai ruangan tampak sumringah mendapatkan lawan bicara sementara Jenna asik tertawa sambil mencuci piring. Sungguh pemandangan yang langka. Aku menghampiri mereka berdua.

“Eh Jenn.. kamu lagi ngapain sih?” aku berdiri disampingnya menggeleng-gelengkan kepalaku.

“Iya nih Mas, Mbak Jenna udah dibilangin gak usah juga” Bibi langsung meletakkan sapu yang dipeganngnya lalu buru-buru menggeser tempat Jenna dan mengambil piring yang sedang dia cuci, tangan Jenna masih berlumuran sabun dia pun langsung nyerocos.

“Eh Bi… kalau kata orang tua mah pamali… udah gak usah atuh biarin udah sini nanggung” Jenna kembali merebut piringnya menirukan logat Sunda Bibi pada saat itu, mimik wajah Jenna terlihat lucu..

“Aduh… kumaha atuh ini Bibi teh Mas..” Bibi memasang muka panik melirik kearahku.

“Ya udah Bi, biarin aja. Mau belajar kali buat nanti ngurusin aku”, tak ada sedikitpun terlintas untuk memarahi Bibi karena membiarkan Jenna mencuci piring. Yang ada aku hanya tersenyum melihat tingkahnya yang lucu. Jenna benar-benar susah kutebak. Aku menghela nafas panjang dan terus memperhatikannya yang tetap dengan cucian piringnya. “Udah Bibi istirahat aja gih sana.” Kataku kemudian.

“Muhun mas.. ini sedikit lagi masih nyapu.” Kata Bibi kemudian mengalah pada Jenna yang memang keras kepala.

“Duh mas, udah geulis, bageur pisan deuih nyak.. someah” kata Bibi kepadaku. Aku tak tau Jenna mengerti artinya atau tidak. Yang jelas aku hanya tersenyum bangga.

Aku mengambil piring-piring yang sudah dibilas dan memasukkannya ke dalam rak, menyusunnya satu persatu. Hal pertama juga untukku. Karena selain untuk makan, aku jarang sekali menginjakkan kaki disini, apalagi menyentuh cucian piring. Malah terkadang makananku lebih sering Bibi anatarkan langsung ke kamarku. Selebihnya aku memang jarang menghabiskan waktu di rumah, lebih banyak menghabiskan waktu di luar bersama teman-temanku. Rumah Meow sudah seperti rumah keduaku. Di rumahnya sangatlah ramai sehingga aku tak merasa kesepian. Aku sangat dekat dengan keluarganya. Pernah suatu Lebaran, sehabis Sholat Ied aku tidak langsung pulang ke rumahku. Aku malah langsung menuju rumah Meow. Aku tak pernah benar-benar merasakan suasana berada di rumah, di rumahku sendiri. Dengan kelakuan Jenna yang seperti itu, aku benar-benar seperti pulang dan memang ada di rumah. Ada kegiatan yang aku lakukan, bersamanya.

“Nah gitu dong… kan ganteng tuh bantu-bantu” kata Jenna sambil mencipratkan air kearah wajahku.

“Eh gak usah nyuci piring juga aku udah ganteng yah. Terus kamu pengen jadi cakep gitu abis nyuci piring?” aku membalas Jenna, kali ini Jenna tak bisa membalasku karena tangannya sibuk memegangi piring dan kamipun hanya tertawa. Sambil merapikan piring-piring tadi, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Jenna akan hubungannya dengan Senja, jujur hal itu sedikit mengusik pikiranku walaupun tak banyak berpengaruh.

“Senja gimana? Udah ada kabarnya? Tanyaku.

“Belum..” jawab Jenna cuek.

“Kamu gak nanyain kabar dia gitu?” tanyaku lagi.

“Udah” lagi-lagi dia menjawab singkat.

“Terus kamu gak nyariin dia?” aku semakin penasaran.

“Nyari kemana atuh mas?” tanyanya dengan wajah polos menirukan logat Bibi yang memanggilku ‘Mas’.

“Yeeh nih anak ditanya malah becanda aja. Yah kemana kek gitu, tanyain ke teman-temannya kan kamu kenal semua tuh” kataku sedikit kesal dengan jawaban-jawaban singkat Jenna.

“Kalaupun dia memang harus denganku, dia pasti bakalan pulang dan kembali sama aku kok” katanya tenang.

Seperti medapat serangan petir, jantungku berdegup lumayan kencang. Entah harus kecewa atau bagaimana, jawaban Jenna membuatku terpancing.

“Kamu kok bisa pasrah banget gitu sih?” aku merengut.

“Kalau memang takdirnya dia datang dihidupku hanya untuk meninggalkan aku, aku bisa apa Mas?” katanya lagi. Kali ini aku yang terdiam. “Yuk” Jenna meraih tanganku dan mengajakku naik bersamanya. Tak ada rasa canggung dalam wajahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Menebak pemikirannya membuatku kehilangan banyak energi.

Sambil menunggu Meow yang sedang mandi, aku akhirnya mengganti pakaianku. Aku putuskan untuk pergi mengurusi bisnisku saja. Daripada diam disini dan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Akhirnya Meow selesai mandi dan bersiap-siap, kami akhirnya bergegas pergi. Aku memfokuskan pikiranku pada yang akan aku kerjakan, walaupun kata-kata Jenna tentang Senja tadi masih tetap menguasi sebagian ruang dalam pikiranku.

“Kira-kira online shopnya nanti namanya apa ya Mas?” tanya Jenna memecah keheningan.

Aku menjawab denga asal-asalan “Cat Woman”.

“Aaaaaaaaaaaaaaaak cathy lovers aku suka nama itu. Okay fixed yaa, namanya Cat Woman” Jenna Nampak kegirangan, sementara aku hanya mengangguk-ngangguk saja semakin tak habis pikir.

“Edaaaaaaan…. Cat Woman online shoppp….” Meow sama gila nya dengan Jenna.

Aku memacu kendaraanku sedikit cepat, entah kenapa aku kesal. Akan hal apa aku juga tak tau. Mungkin aku hanya sedikit cemas. Dalam lubuk hatiku paling dalam, aku hanya berdoa semoga Senja tak pernah pulang. Tapi aku tak juga mau Jenna bersedih. Nah kan, aku dilemma sendiri. Aku benar-benar ingin tau, apakah Jenna mengharapkan Senja pulang atau tidak.

Kami sampai di rumah yang Jenna maksud. Rumah mewah yang penampilannya minimalis itu sedikit sepi. Tak ada banyak orang disana, hanya ada dua orang gadis sebaya kami yang memperkenalkan dirinya sebagai Dian dan Tamy.  Seorang pemuda rapi yang Jenna panggil Mas Egi dengan ramah menyambut kami bertiga. AKu memperhatikan Jenna dan Mas Egi yang tampak akrab. Sementara Meow ternyata sudah kenal mengenal Tamy, rupanya Bandung sangat sempit sekali. Meow langsung asik sendiri menemukan lawan bicara. Sepertinya disini hanya aku yang bekerja keras untuk bisa nyaman bersama mereka semua.

Mas Egi membahas rules yang harus kami penuhi untuk memesan sepatu. Pembicaraan kami akhirnya menemukan alurnya dan akhirnya aku dapat melupakan perang batinku sejenak dan ikut hanyut dalam obrolan merintis karier awalku, bersama Jenna. Jenna sangat antusias dan akupun dua kali lipat lebih antusias. Memperhatikan Jenna mengobrol dengan Mas Egi mengenai segala hal membuatku takjub, Jenna benar-benar gadis yang cerdas. Mas Egi samapai-sampai terfokus pada Jenna dan aku sedikit risih melihatnya. Jika Jenna seperti itu terus, lelaki mana yang tak ingin mengenalnya lebih jauh lagi, pikirku. Tak lama kemudian pembicaraan kami pun menemukan ujungnya. Semoga bisnis ini menjadi awal aku belajar kehidupan yang lebih dalam lagi, tak hanya memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh orang tuaku. Bisnis ini juga satu-satunya jalan yang dapat menghubungkan aku dengan Jenna, lebih daripada itu aku tak tau alasan lain untuk terus bersamanya.

Setelah mengobrol kurang lebih 2 jam, dan kini kami hanya mengobrol ringan saja. kAku memberikan isyarat kepada Jenna untuk segera meninggalkan tempat itu. Jenna serpertinya mengerti dan mulai melontarkan kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa kami masih ada urusan lain lagi. Aku memanggil Meow yang sedaritadi tampak asyik dengan Tamy  di ruang TV. Saat berpamitan di luar, Mas Egi tiba-tiba bergerak menuju ke dalam rumahnya lagi. 

"Nanti dulu Jen, ada yang lupa", katanya.menyerahkan satu bungkusan kepada Jenna.
Kami bertiga otomatis menunggu, wajah Jenna tampak santai seperti biasa sementara aku mulai diserang rasa penasaran.

Tak lama kemudian dia keluar dari rumahnya sambil membawa bungkusan dan menyerahkannya kepada Jenna.

“Titipan dari Ghanu. Oleh-oleh katanya.” Mas Egi tersenyum.

Aku hanya bertatapan dengan Meow.

 “Oh ya, kok bisa?” Jenna agak sedikit kaget.

“Kemarin sempat ketemu di Bandara dan ngobrol-ngobrol sebentar, aku bilang sama dia sekarang kamu di Bandung. Terus dia nitipin itu sama aku”, Mas Egi menjelaskan panjang lebar.

Aku penasaran setengah mati, tentang orang yang mereka sedang bicarakan. Apa hubungannya sama Jenna, pikirku.

“Thank’s ya Mas Egi…” lagi-lagi Jenna hanya tersenyum saja. Kamipun kemudian berpamitan untuk pulang. 

Tak terasa sore sudah tenggelam, digantikan oleh malam. Aku mengantarkan Meow pulang terlebih dahulu, lalu berniat mengembalikan Jenna ke rumahnya. Aku merasa hariku sangat singkat, sementara aku masih ingin bersamanya karena masih banyak sekali yang ingin aku bahas. Aku paling tak suka jika harus menggantungkan ribuan pertanyaan yang ada dalam benakku sendirian. Tapi aku tak punya alasan lain untuk menahannya lebih lama. Diperjalanan Jenna sempat membahas niatnya untuk pulang ke Jakarta pada saat menjelang Tahun baru nanti. Ide gila pun muncul seketika.

“Nanti aku kabarin deh kapan aku bisa ke Jakarta juga”, dengan kata lain, aku menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan yang mengantarkan Jenna pulang ke rumah, walaupun dia tak pernah meminta.

“Aku yang mau pulang kok kamu jadi yang ngabarin aku deh? Ini gimana ceritanya coba?’ Jenna terkekeh.

“Ya pokoknya aku juga mau ke Jakarta, jadi nanti sekalian aja”, entah apa urusanku ke Jakarta yang jelas aku hanya ngarang saja.

“Aku juga tergantung mood yaa, kalau aku mau pulang besok dan ternyata waktunya gak pas dengan yang kamu maksud yah maaf deh”, kata Jenna keras kepala.

“Bodo amat pokoknya aku ikut”, aku tetap bersikeras. Aku membelokkan mobilku ke café yang ada di pinggiran jalan Dago.

Jenna tetap santai walaupun mukanya nampak kebingungan.

“Kita ngopi dulu disini yuk, sambil ngurusin Group BBM-nya.” Kata aku basa-basi, padahal ada yang lebih penting daripada semua itu.

Sebenarnya alasanku tak ingin membiarkannya pulang ke Jakarta sendiri adalah tak lain karena aku ingin mengetahui lebih banyak tentang Jenna. Jika beruntung, mungkin aku juga bisa mengetahui tentang keluarganya. Karena Jenna tak pernah berscerita sama sekali, aku berharap bertemu langsung dengan mereka. Memang sih muluk-muluk sekali namun itu menurutku bisa memberikanku sedikit gambaran tentang kehidupan seperti apa yang sedang Jenna jalani. Agar aku bisa lebih tau bagaimana harus memperlakukan Jenna.

Suasana di café malam ini agak sedikit ramai. Kami memilih tempat agak disudut, di dekat kolam ikan. sengaja memilih tempat yang agak jauh dari live music yang ada disitu agar bisa mengobrol. Jenna duduk dan mulai membolak-balikan menu.

“Dan gak besok ya ke Jakartanya.. aku mesti ke kampus nyiapin SKS aku buat kelas tahun depan” kataku menyambung pembicaraanku. Jenna hanya melirik kearahku sekilas dan kembali ke deretan menu di tangannya.

“Janji ya kamu gak bakalan ambil cuti lagi?” katanya kemudian.

“Iya Master.. aku janji, aku bakalan kuliah dan lulus cepet dan serius ngurusin bisnis kita ini.” Tak biasa-biasanya aku berjanji pada perempuan mengenai hal-hal seperti itu.

Jenna tersenyum, wajahnya pucat tertimpa cahaya lampu redup yang ada di café tersebut. Melihat dia begitu saja sudah cukup menenangkanku. Pandanganku kini teralihkan oleh waiters yang menghampiri kami berdua karena dipanggil oleh Jenna.

“Hot green tea late ya mas, terima kasih.” Katanya sambil meneyerahkan kembali Menu di tangannya.

Waiters itu berpaling ke arahku. “Espresso.. sama chickens wings aja” kataku kemudian.

Jenna duduk menunduk memainkan handphonenya smabil sesekali mengelus-elus hidung mungilnya. Kebiasaannya yang itu aku sangat suka sekali. Suaranya yang parau dan bicaranya yang sedikit cadel juga menjadi daya Tarik sendiri untukku. malam ini rambutnya yang panjang dibiarkan terurai menutup sebagian wajahnya. Namun aku masih dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aku memperhatikan cara dia duduk, cara dia bicara dan menurutku memang berbeda. Mungkin aku memang tidak terbiasa jalan dengan cewek Jakarta, tapi sepertinya Jenna memang beda, pikirku. Atau jangan-jangan, di Jakarta semua ceweknya bersikap seperti itu? Ah gak mungkin, kataku. Temanku yang di Jakartapun tak ada yang seperti Jenna. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Udah aku buat tuh groupnya, temanku yang di Jakarta sudah aku invit semua. Kamu accept dulu mas”, kata Jenna membuyarkan lamunanku.

Oh iya, aku mengajaknya kesini untuk membahas online shop yang baru saja kami buat. Aku sampai lupa.

“Okay..” kataku sambil membuka handphone. Aku mulai menginvit contact-contact teman perempuanku di list BBM. Jenna mengupload beberapa photo sepatu yang dapat dijadikan referensi bagi calon pemesan nantinya. Dengan lincah dia juga menyerukan kalimat-kalimat promo. Sepertinya dia memang menguasai bidangnya. Aku dengan antusias mengikutinya.

Setelah selesai dengan tugasku, aku kembali ke topik yang ingin sekali aku bahas. “Oh iya, kamu kenal sama Mas Egi darimana deh ya?’ tanyaku. Tak lama kemudian orderan kami berduapun datang.

Jenna menyeruput minuman pesanannya, aku melihatnya saja sudah suka. Apapun yang Jenna lakukan, aku selalu suka. Dia menyalakan rokoknya “Bukannya aku udah pernah cerita ya..” katanya kemudian.

“Lupa aku.. yang mana ya?” sebenarnya aku tak sepenuhnya lupa, hanya saja aku ingin mendengar yang lebih rinci lagi.

“Mas Egi itu sepupunya teman aku di Jakarta.”katanya singkat.

“Ghanu?” sambungku ragu-ragu.

“Mantan aku..” katanya lagi.

“Kok bisa kenal sama Mas Egi?” aku tambah penasaran.

“Ya Ghanu sama temanku yang sepupunya mas Egi itu memang berteman. Jadi gak aneh kan kalau ternyata mereka saling kenal.” Jenna menjelaskan sejelas mungkin. Memang masuk akal sih, tapi kenapa juga Ghanu masih peduli dengan Jenna sampai-sampai memberikan oleh-oleh untuk Jenna padahal sudah menjadi mantan. Itu yang sampai detik ini tak masuk akal untukku.

“Kamu pergi ninggalin Ghanu makanya kamu pindah ke Bandung?” tanyaku menelisik.

“Hah?” Jenna kali ini tertawa. “Yah enggaklah Mas… aku sama Ghanu tuh udah lama banget putusnya dan sama sekali gak ada hubungannya dengan kepindahan aku ke Bandung. Aku aja udah lupa gimana wajahnya.” Katanya enteng.

“Terus apa alasan kamu ke Bandung? Gak mungkin kan Cuma sekedar bosan? Kamu sendirian lho disini.” Kali ini aku blak-blakan saja.

Jenna kali ini menatap aku tajam.

“Senja?” tanyaku ragu-ragu.

Jenna menarik nafas dalam-dalam. “Aku tau, apa yang kita lakukan itu pasti ada alasannya. Tapi pertanyaanmu yang ini, benar-benar sulit sekali aku jawab. Karena sampai sekarang, aku masih belum tau jawabannya”, Jenna memasang tampang yang serius. Dia kembali mengusap hidungnya.

“Kok dia masih aja ingat kamu?” aku sadar pertanyaanku sangat bodoh.

“Siapa? Ghanu?” Jenna balik bertanya dan aku hanya mengangguk.

“Ya mana aku tau Mas.. berhubungan lagi sama dia aja aku gak pernah”, lagi-lagi dia menjawab dengan mudahnya.

“Kamu gak penasaran? Buat nanya-nanya ke Mas Egi?” tanyaku kali ini.

“Buat apa? Aku yakin tugas Mas Egi menyampaikan amanah dari Ghanu sudah selesai. Akupun sudah menerimanya. Aku gak tertarik buat tau lebih jauh lagi.” Kali ini Jenna mendekatkan wajahnya ke arahku. “Lagipula, itu bukan urusanku.” Sambungnya.

Aku memalingkan pandanganku darinya, menyenderkan tubuhku yang daritadi kaku. Menghela nafas panjang. Kuseruput kopiku dan menghisap rokokku dalam-dalam. Susah memang, mengobrol dengan Jenna mengenai urusan pribadinya. Sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan bodoh akupun sepertinya sangat beban untuknya. Selebihnya aku dan Jenna hanya mengobrol-ngobrol ringan dan menanggapi beberapa pertanyaan yang ada di group BBM kami. Jenna dengan sabar merespons satu-satu pertanyaan yang ada. Aku meniru gayanya di group sekedar membantunya.

Setelah selesai, kamipun memutuskan untuk pulang. Aku juga melihat raut wajah Jenna sudah mulai kelelahan. Terlalu lama duduk juga membuat punggungku agak sedikit pegal. Diperjalanan Jenna hanya diam saja, mungkin dia benar-benar lelah pikirku. Karena akupun demikian.

“Kamu yakin nih pulang? Gak nginep aja di rumahku? Bantu-bantu si Bibi ngepel atau apa kek gitu” aku mencoba meyakinkan Jenna, karena khawatir meninggalkannya sendirian di rumah.

“Yakin lah Mas… besok kan aku kerja. Jadi aku harus pulang. Lagian lampu rumah belum aku nyala-nyalain kan, kesian banget ditinggal terus jadi tambah sepi aja” katanya mengangguk-ngangguk.

“Okay” akhirnya aku menyerah.

Tak lama kemudian kami berduapun sampai. Seperti biasa aku memarkirkan kendaraanku di dekat Hotel disebalah gank rumah Jenna. Kali ini aku ikut turun, setidaknya memastikan dia sampai rumah dulu. Jenna tak banyak komentar, hanya terus berjalan sambil sesekali membetulakan rambutnya. Dia membuka pintu pagar, benar saja keadaan rumah gelap gulita. Aku masuk untuk memastikan dan membantu Jenna menyalakan lampu serta membereskan ruang tengah rumahnya sedikit. Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, akupun berpamitan pulang.

“Besok berangkat kerja jam berapa? Tanyaku di ujung pagar.

“Jam 9 berangkat dari rumah kayaknya.” Jenna menjawab sambil mengunci pagarnyya.

“Ya udah masuk sana, besok aku jemput jam 7 pagi kita sarapan dulu.” Aku berlalu meninggalkan Jenna tanpa menunggu responnya. Sebenarnya aku malu, nada bicaraku seperti hendak mengatur hidupnya saja.

“Hati-hati Mas, makasih yaa…” Kata-kata Jenna berpendar karena dia setengah berteriak.

Aku tak menoleh ke belakang, hanya melambaikan tanganku saja. Aku takut, aku tak mau pergi.

Di mobil aku berpikir keras. Mengecheck ke bagian belakang apakah masih ada stock baju, celana dan perlengkapanku yang lain. Sisa kaburku yang terakhir ternyata masih tersimpan rapi disana. Saat itu juga aku baru sadar, bungkusan milik Jenna tertinggal di jok belakang. Aku mengambilnya dan bergegas mengantarkannya, namun aku urungkan. Kulemparkan kembali bungkusan itu ke tempat asalnya sambil mencibir. Tubuhku sudah sangat lelah sekali, aku masih terdiam di dalam mobil mendengarkan music dan memperhatikan sekelilingku yang sepi. Akhirnya aku mengarahkan mobilku ke Hotel yang letaknya tepat disamping parkiranku. Malam ini aku putuskan untuk tidur disini, agar bisa lebih dekat dengan Jenna.

Sesampainya di kamar hotel aku sibuk membolak-balikan handphoneku. Menunggu waktu yang tepat untuk mengabari Jenna. Karena khawatir terlalu singkat yang ada nanti Jenna akan curiga, aku jadi gelisah sendiri. Aku putuskan untuk mandi agar sedikit membuang-buamg waktuku. Selesai mandi, lelah ditubuhku seakan lenyap. Aku berusaha menutup mataku namun tetap tak bisa. Aku turun ke café yang ada di hotel itu. Memesan secangkir kopi lagi untuk menemaniku mengobrol dengan Jenna malam ini, lewat BBM. Padahal jarak kami hanya dipisahkan kurang dari 10 rumah saja.

Keanu : Udah mandi master?

Aku memulai obrolan.

Jennara : Udah dong, kamu udah sampai? Aku lagi sibuk di group online Shop nya nih. Temen-temen cewek aku banyak yang mau pada pesan.

Keanu : Yaudah cepetan respond dulu, lumayan tuh rejeki.

Jennara : Kamu udah sampai?

Keanu : Udah belum yaaaaa…………

Aku menggoda Jenna, ingin tau responnya.

Jennara : Yeh.. ditanyain juga…

Kenau : Bungkusan dari mantanmu ketinggalan di mobil aku..

Jennara : Ya udah kayak besok gak ketemu lagi aja. Dimana kamu eh?

Keanu : Aku lagi jumpa fans dulu

Jennara : Oh ya udah take your time

Aku meradang, hanya itu? Itu saja? Padahal aku sengaja ingin membuat Jenna kesal. Karena pada kenyataannya, membahas bungkusan itu membuatku jadi kesal lagi. Jenna kesal atau tak peduli, aku tak bisa membacanya hanya dari tulisan. Aku perlu melihat langsung wajahnya untuk memastikan dan itu tidak mungkin.

Keanu : Cantik-cantik fans aku Master…

Jennara : Diajakin ngobrol lah Mas fansnya, jangan malah ditinggal BBM an sama aku.

Keanu : Hahaha emang… kamu urusin online shop nya dulu ya..

Jennara : Emang apa sih?

Keanu : Emang ini aku mau pergi dulu.

Tak ada tanda-tanda Jenna membalas pesanku. Aku menyesal sendiri. Menggodanya lewat BBM seperti ini ternyata menyusahkan diriku sendiri. Kuhabiskan kopi ku malam ini dan kuputuskan untuk tidur cepat agar bisa cepat bertemu dengannya lagi.

Di dalam kamar aku hanya sibuk membolak-balikan badanku. Rasa lelah dan ngantuk yang sedaritadi menggelayutiku menghilang entah kemana. Malah Vertigo yang sudah sangat akrab denganku yang perlahan mulai menghampiriku. Sudah beberapa tahun belakangan ini aku memang mengidap Vertigo. Obat dari dokterpun sepertinya sudah tak mempan, karena hanya bisa mengurangi rasa sakitnya. Sialnya, malam ini aku tak membawa obatku. aku meregang kesakitan, sampai-sampai hendak mengambil air putihpun aku tak sanggup lagi. Aku menutup kepalaku dengan bantal, namun rasa sakit itu tak juga meninggalkan ku. Aku meraih handphoneku, mencari nama Jenna dan berniat menelponnya, namun aku urungkan.

Aku mengalihkan rasa sakitku dengan membuka Twitterku. Tiba-tiba aku melihat nama Jenna disana, baru update beberapa detik yang lalu.

@jejennar : Setiap kata adalah doa

Aku langsung mereply status twitternya.

Reply to @jejennar : @kwords : tidur sih, jangan ceramah aja…

Tiba-tiba LED handphoneku kelap-kelip, aku langsung membuka notifikasinya.

Reply to @kword : @jejennar : ini baru mau tidur kok J

Reply to @jejennar : @kwords : good girl J

Reply to @kwords : @jejennar : jangan nongkrong terus woooo…..

Reply to @jejennar : @kwords : iya ini udah mendarat di kasur paling empuk J

Sepertinya Jenna menduga aku masih berada di luar, memang iya aku tidak berada di rumahku. Namun aku berada disini, begitu dekat dengannya. Sedang berperang melawan vertigoku. Memikirkannya akan segera tertidur, aku jadi sedikit lebih tenang. Aku akhirnya menyerah… semalaman suntuk menahan vertigo membuat tubuhku lemas bukan kepalang.

Menejlang pagi akhirnya Vertigo ku mulai mereda. Aku mulai bisa menggerakkan tubuhku walaupun masih sedikit terhuyung-huyung. Aku menelpon receptionist untuk membawakanku segelas susu hangat dan aku terduduk di sofa kamar hotel. Pagi ini aku berendam di badtube dengan air panas. Berharap dapat mengumpulkan sisa-sisa energiku. Vertigo kini sudah tak lagi kurasakan, untunglang pikirku. Selesai berendam, susu hangat pesananklu sudah berada di meja beserta dengan roti isinya. Aku menggigit rotinya sekali dan menghabiskan susu nya langsung. Aku bersiap-siap berpakaian. Dan langsung turun ke bawah bergegas menjemput Jenna. Aku memarkirkan mobilku di tempat biasa dan melangkah keluar menuju rumah Jenna setengah sadar. Tubuhku masih sangat lemas, sinar matahari pagi menyakiti mataku yang sama sekali belum terpejam semalaman. Akhirnya aku sampai tepat di depan pagar rumahnya yang saat itu masih sangat sepi. Aku mengetuk berkali-kali namun tak juga ada jawaban. Aku menyandarkan tubuhku di pagar menelpon Jenna. Bunyi ringtonesnya terdengar jelas sekali karena kamar Jenna memang berada di paling depan. Mungkin dia masih tidur, pikirku. Aku memutuskan untuk menunggu, dengan sisa-sisa energiku. Tiba-tiba pintu berderit, bukan dari kamarnya tapi kali ini dari dalam rumah. Jenna muncul dan masih menggunakan baju handuknya. Akhirnya, kataku lega.

No comments:

Post a Comment