Monday, September 21, 2015

5. This the meaning of magic

"Kali ini kuputuskan tak lagi menuliskan duka, hingga pada akhirnya kau baca hanya ada senyum kecil tanda bahagia." - Jenna

Pagi ini aku terbangun dengan sangat bersemangat, terbangun sebelum alarm ku berbunyi ku anggap sebagai prestasi. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku memilih duduk di teras sambil menikmati Teh Kotak dan rokokku pagi ini. Tak banyak yang mengisi pikiranku, yang kupegang hanya buku catatan. Tak butuh waktu yang lama, aku langsung menuliskan apapun yang ada dalam hatiku.

Kenapa bukan menuliskan apa yang ada dalam pikiranku? Begitulah, kadang hati dan pikiranku tak sinkron. Biasanya, pikiranku selalu selangkah lebih maju dibandingkan hatiku, itulah mengapa egoku lebih besar dibandingkan nuraniku. Kali ini pikiranku mengalah, hatiku sudah terlebih dulu mendahuluinya. Kata-kata mengalir begitu saja, kutulis dan kurangkai menjadi deretan kalimat. Kalimat pembuka untuk hariku yang biasa saja namun kini sudah mulai menemukan alurnya,

Aku terkadang mengumpat dalam pikiranku, bagaimana aku bisa menuliskan tentangnya? Tentang dia yang namanya saja aku sudah lupa dan untuk membayangkan wajahnya saja aku tak mampu. Namun lagi-lagi hatiku tetap bersikeras, jari-jariku dengan lancar menuruti permintaan sang hati.

Aku melihat ke dalam kamar, pacarku Senja sepertinya masih tersesat di alam bawah sadarnya dan aku sama sekali tak berminat untuk membangunkannya. Semenjak aku menginjakkan kaki di Kota ini, aku memang tak bisa lepas dari pacarku. Kami tinggal bersama, namun tak hanya berdua. Setelah sempat beberapa kali pindah kostan, kami akhirnya memutuskan untuk mengontrak satu rumah untuk kita tinggali bersama-sama. Isinya tentu saja teman-teman senja semuanya jadi totalnya kami ber-enam disini. Semua datang ke Kota ini dengan tujuan yang sama, mengejar cita-cita. Pada awalnya, semua memang baik-baik saja, sampai pada akhirnya kau menyadari bahwa ada hal yang harus dan tak harus kau mengerti.

Pikiran-pikiran yang keluar hanya untuk mengacaukan  mood ku pagi ini perlahan aku tinggalkan, beralih kembali pada buku catatanku, toh inspirasi semacam ini jarang aku dapatkan. Laki-laki yang kutemui di kantorku  secara singkat kemarin membuatku terperangkap dalam imajinasi yang sederhana, namun tanpa batas. Menenangkan. Berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan selama ini. Terlalu banyak hal rumit yang singgah di pemikiranku dan berakhir dengan dekapan-dekapan putus asa yang mendekatkanku pada jalan untuk mengakhiri kehidupan. Rasanya, aku bukan orang yang sangat kesepian sehingga harus putus asa begitu kan?

Terkadang menjadi seorang perempuan itu sangatlah sulit, dinilai terlalu rumit oleh para lelaki. Tak ada yang salah dengan hubunganku dengan Senja, hanya kadang aku selalu merasa tak bernilai dimatanya. Padahal aku berusaha sebisaku untuk bisa menjadi perempuan yang paling bijaksana. Senja pintar walaupun sangat keras kepala tapi dia masih selalu berusaha mengimbangi egoku yang terkadang gila. Hal seperti itu biasanya Senja lakukan jika sudah malas dengan segala fluktuasi emosiku yang naik turun. Tentu saja aku tak benar-benar sadar jika hal itu mulai terjadi. Hingga detik ini, Senja tak pernah tau kalau aku mengidap Bipolar fase 2. Pengobatanku di Jakarta sengaja kutinggalkan, dengan alasan aku kesal jika terus dianggap gila. Satu alasan kenapa aku terus merahasiakan ini kepada Senja, kehidupannya terlalu normal untuk mengimbangi hidupku yang berantakan. Lagipula aku takut disangka berdrama. Tanpa sadar aku mulai membandingakan kesayanganku dengan pria asing yang baru saja kutemui dan kemarin kuanggap ketemu di jalan. Baru kali ini, aku merasa dibutuhkan.

Tiba-tiba layar handphone ku menyala, rekan kerjaku menanyakan keberadaanku. Tak sempat aku menaruh make up diwajahku. Tak sempat aku berpamitan dengan Senja. Kurapikan semua catatanku pagi ini dan bergegas menuju tempat yang aku anggap tepat untuk melarikan diri.

Kantor pagi ini sudah mulai menunjukkan aktifitasnya. Setiap orang sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku menyeduh kopiku, membasuh mukaku kembali karena tampilanku pagi ini lebih terlihat seperti zombie.

“Jadi apa materi promo yang bisa kita keluarkan untuk mencapai target kita bulan ini?” Di tengah meeting yang rutin kami lakukan pagi ini atasanku mulai asik dengan whiteboard dan spidolnya, menuliskan apa saja yang harus kami lakukan untuk pencapaian. Aku ikut bergabung dan memilih tempat dipojokan tepat disamping jendela.

Aku sibuk mengedarkan pandanganku ke dalam ruangan, melihat siapa yang pertama kali akan merespons pertanyaannya. Sudah kukira, pasti tak ada. Ku tersenyum pada Manager Toko yang duduknya tepat disebrangku, dia hanya cekikikan tak terlalu memperdulikan. Iya, Roni dia salah satu sahabat baikku di kantor. Melihatnya selalu tertawa memberikan pikiran positif untukku, bahwa setiap orang berhak untuk bahagia. Apapun masalah yang disembunyikannya.

Setelah hening selama satu atau dua menit, meeting itu dibubarkan dan akan dilanjutkan nanti sore. Seperti biasa, aku langsung kabur keruanganku dan memutar lagu sesuka hati. Kubuka pekerjaanku hari ini, memposting beberapa materi promo di social media, selebihnya berselancar sendiri di linimasa. Selamat datang di rutinitas seharti-hariku.

Fear and panic in the air
I want to be free
From desolation and despair
And I feel like everything I sow
Is being swept away
Well I refuse to let you go
I can't get it right
Get it right
Since I met you
Loneliness be over
When will this loneliness be over
Map of Problematique – Muse

“Jen kemana aja Senja, gak pernah keliatan kayaknya?” Adi tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang tak bisa aku hindari. “Ada kok di rumah, dia lagi sibuk banget sama temen-temennya”, kataku meyakinkan. “Dia udah mulai manggung-manggung gitu ya? Kapan-kapan undang-undang lah” katanya lagi. “Iya, nanti weekend kayaknya dia manggung di Restaurant Seafood yang baru buka di daerah Dago tuh” aku menjawab seadanya. “Wah jadi sibuk dong ya, pantesan gak pernah kesini lagi. Tapi kalian masih pacaran kan? Statusmu di Twitter galau terus” Adi mengejekku dengan nada yang khas. “Yah tulisanku di Twitter gak ada hubungannya sama hubunganku” Adi masih saja menggodaku dengan pertanyaan-pertanyaannya, tertawa seolah itu hiburan tersendiri untuknya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku menjauhi pertanyaan-pertanyaan setelahnya yang sudah pasti lebih membingungkan dan melangkah ke bagian luar. 

Aku bersandar disamping pintu Toko. Aku memperhatikan sekitarku, orang-orang yang lalu lalang dan kendaraan yang selalu memadati jalanan Trunojoyo. Aku menyalakan rokokku, memikirkan tentang hubunganku dengan Senja yang akhir-akhir ini memang kurang sehat. Senja memang memutuskan cuti dari kuliahnya untuk dapat lebih dekat dengan mimpinya. Menjadi pemain Band ternama. Senja adalah anak muda yang bersemangat dan mempunyai pemikiran yang luas. Pemikirannya yang mampu menarikku untuk memutuskan berhubungan dengannya. Menurutku, pria yang punya pemikiran luas itu sexy. Selain tampangnya yang lumayan, suaranya yang bagus sebagai vocalis Band adalah nilai plus untuknya.  Satu yang paling aku suka dari bagian wajahnya. Luka tepat diatas pelipis kanan matanya, entah karena apa yang jelas aku suka. Tak kupungkiri aku hampir suka semua karyanya walaupun kadang tak jarang aku mengumpat dalam hati. Karena lagu yang banyak dia ciptakan kebanyakan tentang luka dan patah hati. Pernah terlintas dalam benakku, apakah hanya masalalu yang membuat Senja begitu mencintai karya-karya dan Band-nya. Untukku Senja sangat penting dalam usaha menata kehidupanku, tapi untuknya aku mungkin hanya seorang pacar yang menghambat cita-citanya. Tiba-tiba lamunanku buyar oleh kedatangan Redi. Aku membetulkan letak berdiriku, tak lagi bersandar namun kini agak sedikit maju untuk dapat melihat lebih jelas. Mataku otomatis berkeliling mengecheck bersama siapa dia datang kali ini, ternyata dia sendiri. Seperti bisa membaca maksud gestur wajahku, tanpa harus kutanyakan, Redi tiba-tiba saja nyeletuk “Keanu nanti nyusul kesini.” Aku tak bisa menyembunyikan ekspresiku, yang jelas kalau aku jadi Redi pasti akan tau bahwa senyumku yang merekah tercipta karena mendengar nama Keanu. Untungnya Redi tak terlalu mau peduli.

Kami mengobrol hanya di depan Toko siang itu, Redi membicarakan tentang bagaimana sepeda motor kesayangannya selalu memberikan masalah-masalah tambahan untuknya, tentang bagaimana dia menjual baju-bajunya dengan bersemangat sampai harus dikirim ke luar kota dan betapa dia sangat terbantu akan hal itu. Aku senang mendengar cerita-ceritanya, cerita dari pemuda yang optimis dan bisa mengesampingkan gengsinya. Dibalik obrolan-obrolan kita, mataku tetap mencari-cari ke arah sumber datangnya orang yang lalu lalang, berharap menemukan apa yang aku tunggu-tunggu hari ini. Damn! Tanpa sadar aku menantikannya.

“Oh iya Jen, nampaknya Keanu tertarik tuh bisnis dengan kau.” Kata Redi membuat pandanganku yang tadinya berkeliling lebih terfokus. “Gak tau deh ya Red, aku aja belum tau bisnis yang dia maksud itu yang seperti apa. Tapi kayaknya dia niat banget buat nunjukin sama orang tuanya kalau dia itu bisa, aku salut.” Aku mematikan rokokku, kali ini aku fokus dengan apa yang sedang kita bicarakan. “Emanglah perlu waktu, tapi sepertinya kalian cocok. Keanu memang butuh orang seperti kau.” Tak dapat ku kontrol senyuman diwajahku terkembang tiba-tiba. Tak lama kemudian sebuah mobil menghampiri parkiran Toko, dari balik kaca sudah terlihat di dalamnya ada Keanu dan seorang temannya. Keanu menurunkan kaca mobilnya, berusaha parkir dan melemparkan senyumannya kearah kami. “Tuh dia nah orangnya datang, janjian jam berapa ya datang jam berapa.” Redi ngedumel sendiri.

Setelah selesai parkir, Keanu datang menghampiri kami berdua. Dia memperkenalkan temannya dengan nama Rendi, namun biasa diapanggil Meow. Entah apa maksud panggilannya itu yang jelas itu lumayan bisa memudahkanku untuk memanggil Redi dan Rendi. Kamipun membahas berbagai hal dari mulai cerita tentang perkuliahan, kemacetan kota Bandung, tempat-tempat exotis yang berada disini dan akhirnya obrolanku siang ini menjadi lebih seru.

“Biasanya kan orang Jakarta suka ada aja idenya, kongkow kemana gitu nongkrong kita”, Keanu mengarahkan pandangannya kepadaku, teman-temannya semacam mengamini saja.

Yang aku tangkap sampai detik ini, Keanu itu type pria yang mendominasi. Bisa terlihat dari caranya berteman, dia selalu bisa selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan yang lainnya. Teman-temannya pun selalu mengiyakan apapun yang dikatakan oleh Keanu. Bahaya, pikirku dalam hati. Aku mulai mencoba masuk ke dalam pikirannya, harusnya tak seperti itu. Dia bukan siapa-siapa yang harus aku hampiri kepribadiannya. ‘Yah aku mana tau tempat main di Bandung ini”, aku sok imut saja menanggapinya. “Gak mungkin gak tau, gak percaya aku.” Keanu mengajak yang lainnya untuk sepaham. “Seriuslah, tapi kalau kapan-kapan ada yang mau ngajak main dan memperkenalkan Bandung ini lebih gila aku sih ayo” Kataku menantangnya balik. Keanu tersenyum, manis sekali.

Ini aneh, rasanya ada sesuatu yang menyengatku. Membuat tubuhku kemudian kaku, untuk membalas senyumnyapun aku tak mampu.

Risa memanggilku dari dalam, meeting yang tadi tertunda ternyata akan segera dilanjutkan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku, mengobrol dengannya ternyata bisa membuatku lupa waktu. Seharian ini aku tak bekerja, hanya sibuk bermain dengan imaginasiku.

Aku menyambar Teh Kotak ku, bersiap kembali ke ruangan tempat kerjaku, namun Keanu seolah memberi isyarat untuk meletakkannya lagi. “Kita tunggu disini ya, lagi gak ada kerjaan juga soalnya, ternyata nongkrong disini asik juga” lagi-lagi dia tersenyum, diambilnya hape yang daritadi aku genggam. Aku sontak kaget, dia menyimpan namanya disitu. “Hape kita sama ya, lucu juga warna putih gini. Sekalian follow twitternya ya”katanya sambil tertawa.

Aku tercengang dibuatnya, pria ini seolah bisa membaca pikiranku dan aku sama sekali tidak keberatan. Aku mengambil kembali hapeku, tersenyum padanya, kemudian balik badan.

Di dalam ruang meeting pikiranku melayang-layang entah kemana. Temanku Roni sedang dicecar beberapa pertanyaan tentang bagaimana menaikan revenue Toko. Bagian marketing yang dipegang oleh Galih sedang sibuk dengan laptopnya, menunggu giliran untuk menunjukkan prospekan-prospekan baru yang potensial. Adi hanya sibuk menyoret-nyoret kertasnya disebelahku. Sementara aku, berdoa dalam hati semoga meeting ini cepat segera berakhir agar aku bisa kembali. Melihat senyuman itu lagi.

Kulihat update notification BBM di hapeku. Kulihat namanya ada disitu, Keanu, Update status terakhirnya “Vertigo” aku tersenyum, kulihat profile picturenya, terlihat disana dia sedang berdiri membelakangi kamera, membentangkan tangannya seolah akan memeluk samudra yang ada di hadapannya. Ku zoom in dan ku zoom out, begitu saja terus sampai akhirnya meetingku sore ini selesai.
Aku bergegas keruanganku, cepat-cepat merapikan barang-barangku. Kumatikan layar komputerku dan berpamitan dengan rekan-rekan kerjaku. Aku menangkap pandangan heran dari mereka yang melihatku begitu tergesa-gesa, tapi aku abaikan taka da waktu untuk menjelaskan. Kugerai rambut panjangku yang seharian ku biarkan terikat. Aku menoleh sekilas keruangan atasanku, “Pulang duluan yaaa..” kataku sumringah. “Yaaa hati-hati Jen…” sahut atasanku terdengar samar karena. Kulihat keluar pintu kaca Toko, tak kulihat ada seorangpun disana kecuali tukang parkir yang setiap hari emmang berjaga di tempat itu. Langkah kupercepat, ingin segera memastikan, tetapi memang taka da siapa-siapa lagi disana. Kuambil hapeku di tas, ku cari nama Keanu. Ku enter tanda chatt, diam sejenak namun segera ku close lagi.

Aku menghela nafas dalam-dalam, ini sudah tak masuk dilogika. Kenapa tiba-tiba aku merasa kecewa? Kulangkahkan kaki ku kearah jalanan yang biasa kulalui. Menuju angkutan umum yang biasa mengantarku pulang. Lampu LED hapeku berkedip, kulihat layar hapeku ada nama Senja disana. Kubuka, lalu aku close lagi.

“Angin itupun terjatuh, tepat di depan kedua kelopak mataku. Apakah itu kamu, yang mengalihkan segala pandanganku?” – Jenna

Memasuki satu masa, dimana kamu hanya ingin merasakan bukan lagi mengabaikan. Aku penasaran, sudah itu saja. Sosoknya yang ceria, tawanya yang selalu merekah dan ucapan-ucapannya yang selalu asal-asalan sama sekali tak masuk di dalam daftar pria yang aku idam-idamkan. Aku nyinyir dalam hati, bertanya balik pada diriku sendiri. Memangnya pria seperti apa yang menjadi idamanku selama ini?


No comments:

Post a Comment