Saturday, September 19, 2015

4. A Change Encounter

“Waktu tak akan mengulang pertemuan kita dulu, tapi waktu dapat mengantarkan kita pada pertemuan-pertemuan berikutnya” – Keanu

 KEANU

November - 2011
            
 Seandainya di dunia ini tak perlu ada yang namanya kuliah, sudah pasti hidupku tak akan serumit ini ini. Rutinitas tetaplah rutinitas, seberapa malasnya aku dan sesering apapun aku mengumpat tekadku tetaplah bulat, menyelesaikan kuliah walaupun jauh dari kata tepat waktu tetap menjadi prioritas utamaku. Menjadi salah satu mahasiswa di sebuah kampus swasta di Bandung sangatlah tidak mudah. Susah yang aku maksud bukan masuk ke Fakultas Teknik dan jadi mahasiswa jurusan tambang nya. Tapi keinginan untuk bersenang-senang dengan Kota secantik Bandung adalah hal sulit aku bendung.

Sepagi ini mendung sudah menggantung, namun tampaknya langit masih menerka-nerka kapan waktu yang tepat untuk menjatuhkan curah hujannya. Saat ini semangat di otakku sedang sangat menggebu-gebu, tapi sayang tubuhku tak meresponnya dengan baik. Sehingga kuputuskan untuk tidur lagi. Hari ini, aku merindukan orang tuaku.

Baru saja aku bergerak menuju alam bawah sadarku, tiba-tiba saja nada dering hapeku berbunyi. Aku meraba-raba ke arah sumber suara itu dan akhirnya aku temukan hapeku berada di bawah bantal disampingku. Dengan memicingkan satu mataku, melihat layar hape senymkupun terkembang. Disitulah aku baru merasakan bahwa tubuhku memang masih berada di bumi. Iya, teman-temanku. Kuambil bantal disampingku, kusenderakn tubuhku untuk mengumpulkan energiku. Berbicara tentang teman, untukku mereka itu semacam penyelamat hari-hariku, Karena aku adalah pembenci sepi yang memuja keramaian. Sisanya perempuan-perempuan yang ada di list contact hapeku. Mereka masuk itungan, karena selalu ada saat aku sudah tak punya lagi lawan bicara. Tak perlu berlama-lama dan tanpa harus diperintah, tubuhku sudah bergerak lebih dulu. Energi untuk pergi bersama teman memang tak pernah ada habisnya. Masih muda ini, pikirku sambil meninggalkan tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.

Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi karena mendung langit lebih tampak seperti sore. Aku memarkirkan mobil agak jauh dari letak kampusku. Belum beranjak menunggu temanku Redi yang sepertinya masih berjuang menahan ngantuk di kelasnya. Kusebarkan pandangan kesekelilingku, kulihat beberapa anak kampus bergerombol asik dengan topik pembicaraan mereka. Aku berani bertaruh, tak ada satupun dari mereka yang membahas mata kuliah. Tukang parkir langgananku sedang mengobrol di warung rokok pinggir jalan, asik menyeruput kopi dan menghisap rokoknya sambil sesekali melihat ke arah jalanan. Aku memilih merebahkan tubuhku di mobil sambil memutar beberapa lagu dan memainkan hapeku. Berawal dari obrolan beberapa hari lalu dengan Redi dan temanku yang lainnya tentang prospek usaha yang sedang mereka tekuni, aku mulai tertarik untuk menjalaninya. Sebetulnya hanya karena aku mulai merasa penat dengan rutinitas sehari-hariku yang itu-itu saja. Aku butuh tantangan baru yang bisa memperluas pandanganku. Temanku Reda bercerita mengenai usaha jualan bajunya dan merekomendasikan aku untuk bertemu seseorang yang mungkin bisa membagi pengalamnnya denganku. Aku sedikit tertarik dengan sosok yang akhir-akhir ini jadi bahan perbincangan kami saat berkumpul bersama. Aku tak pernah menutup diri akan kemungkinan apapun, siapa tau ada pelajaran baru yang bisa kuambil sesudahnya. Siapa tau..

In my life I thought that I could spread my wings right out to fly. But the times have changed too much. It’s hard to stand; I don’t know why. – Headlight (Monkey Majik - english version)

Lagu yang sedang kuputar mengingatkan aku pada sebuah cerita yang sering kukarang sendiri. Tak hanya menyukai lagu-lagu Jepang, aku memang menyukai Negari Sakura itu. Berpetualang mengunjungi mengunjungi tempat-tempat baru salah satu caraku melarikan diri dari rutinitas sehari-hariku. Suatu saat aku akan menjelajah tempat itu bersama orang yang tepat, tak lagi sendirian seperti sekrang. Keinginan-keinginan itu muncul terlalu cepat, menyadarkan aku bahwa sekarang aku benar-benar merasa kesepian. Walaupun aku tahu aku tak pernah benar-benar sendiri. Banyak teman tapi jauh dari keluarga. Kuseret kembali ingatanku ke tempatku sekarang. Kenapa semua jadi sedrama ini? Pikiriku. Sejauh yang kuingat, aku hanya ingin membuat kehidupan yang lebih mudah dengan orang-orang baik yang ada disekelilingmu. Diamanpun aku berada, aku ingin selalu menyebarkan benih-benih kebaikan, menghibur mereka yang patah hatinya. Hidupku sendiri sudah terlalu sepi untuk diisi oleh hal-hal yang menyedihkan. Bukan aku tak menyukai kehidupanku, hanya saja setiap manusia memang tak pernah puas. Jangan puas dengan emas jika berlian bisa kau dapatkan. Aku tersenyum mengingatnya. Mengingat apa dan siapa entah aku tak mau pusing.

Bosan mulai menghampiriku karena menunggu terlalu lama, akhirnya Redi muncul juga. Dia langsung duduk dan ibarat buku tanpa ada kalimat pengantar dia langsung ke isi materi. Redi itu salah satu temanku yang merantau disini, logat Sumateranya masih sangat terdengar kental, sehingga kadang aku bingung mencernanya karena saking cepatnya. “Oy Ken, kita langsung aja ke Distro yang aku bilang itu, kau mau pergi lagi dak? Atau ada acara lain lagi dak? Disana ada kawanku yang kita bahas kemarin tu nah. Dia yang kasih aku barang buat jualan tuh. Lumayan, banyak lah anak kampus yang perlu kaos distro tuh, selebihnya lagi aku kirim ke temen rumahku.” Redi nyerocos tanpa jeda. Separuh cerita yang sudah hampir sering kudengar. Kubuka kaca jendela mobilku, membakar rokokku dan langsung mengangguk tanda setuju. Redi sibuk dengan hape dan mulutnya yang terus membicarakan prospek-prospek usaha yang memungkinkan untuk anak kuliahan seperti kami mencari tambahan pemasukan.

“Tapi emang temen lo mau ngajarin gue usaha? Gue usaha beneran lho ini, gue udah sedikit diskusi sama bokap. Mumpung ada lampu hijau dari bokap nih”, kataku sambil memperhatikan jalanan Bandung yang sore ini agak padat menuju ke arah Trunojoyo. “Yo mau lah Ken pasti. Dia tuh pacarnya kawan aku, nah aku dikenalin lah. Dia juga kenal dengan kawan-kawan aku yang di kostan. Kostan kami dekat. Dia tu lah yang ngajakin anak-anak yang lain juga jadi jualan. Jangankan kita-kita nih, pacarnya dia aja jualan.” Redi terkekeh sendiri. “Perasaan kemarin lo gak ada cerita bagian sinetron yang kayak gininya deh. Jadi orang yang mau ketemu kita sekarang ini adalah pacarnya temen si A yang temennya si B dan kenal juga sama si C. Kok gue mumet ya.” Aku tertawa dan Redi memulai penjelasan-penjelasannya lagi. “Ai kau nih, katanya kemarin mau usaha nian, mau dikenalin sama orangnya. Nanti kau ketemu langsung, tanya-tanya langsung lah sama orangnya kalau masalah yang kayak gitu.” Aku mengangguk-anggukan kepalaku, “Pacarnya siapa emang?”aku mulai menemukan obrolan. “Adalah Senja, kawan aku juga. Kenal lah kamu tuh.. Satu kampus sama kita nih, beda jurusan aja cuma. Kawannya Fedy sama Novan juga”, Redi menjelaskan, sedikit demi sedikit bisa kucerna. Walaupun hanya sedikit sekali. Aku pernah mendengar nama yang Redi sebutkan barusan, tapi tak pernah benar-benar mengenalnya. Taka da urusannya denganku juga.

Akhirnya setelah sekitar setengah jam berkendara, kita sampai di daerah Trunojoyo. Tempat dimana surga orang-orang yang ingin belanja baju Distro di Kota Bandung. Orang ramai lalu lalang, cuacanya mendukung. Langit yang mendung dan udara yang segar seolah menabrak moodku yang saat ini sedang on fire. Angin sore ini agak kurang santai, aku beberapa kali membetulkan rambutku yang sedikit berantakan dan mulai berjalan.

“Lo udah bilang ke dia kalau kita mau datang?” aku mencoba memastikan. “Dua hari yang lalu aku kesana ambil barang, aku bilang ada kawan aku yang mau mulai usaha dan perlu ngobrol”jawabnya kali ini datar, sepertinya hapenya membuatnya sedikit sibuk. “Tapi dia udah tau kalau hari ini lo dateng sama gue?” aku terus memastikan. “Kau nih kenapa lah Ken, santai aja kayak mau ketemu siapa aja. Walaupun kantor, tapi suasananya tuh santai. Datang ya tinggal datang, dak usah berkabar  dia pasti ada disana gak pernah kemana-mana”. Redi is back! Dia nyerocos lagi. “Nanti kau bisa tanya-tanya lah ke dia tentang maksud usaha yang kau maksud tuh nah. Siapa tau dia bisa bantu dak eh”. Aku hanya mengangguk-ngangguk karena kita sudah tiba di Distro yang Redi maksud. Kami berdua langsung melangkah masuk ke dalamnya. “Eh Red, siapa namanya temen lo?”tanyaku setengah berbisik. Redi tak menghiraukanku, dia sibuk menyapa orang-orang yang ada dalam Toko, sudah terlihat dia begitu familiar dengan tempat ini. Aku hanya menyapa mereka dengan mengangguk dan tersenyum. Kemudian kita menuju ke pintu yang mengarah ke dalam, tampak beberapa pekerja yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Redi menghentikan langkahnya tepat di depan meja kerja seseorang. “Teh Isa, biasa dong..”Redi tersenyum. Nampak seorang perempuan yang sedang asik di depan layar komputernya langsung menoleh. “Eh Rediii… langsung ke Belakang aja, tunggu yaa dipanggil dulu.” Sedetik kemudian perempuan yang akrab dipanggil oleh Redi – Teh Isa itu langsung berteriak memanggil nama seseorang, kencang sekali. Aku hanya tersenyum nyinyir, Redi hanya bilang terima kasih dan kami berdua langsung berjalan pergi ke tempat yang dimaksud, rupanya sebuah taman. Di sebrang taman dipintu sebuah ruangan terlihat seorang perempuan yang menoleh kemudian menghampiri kami berdua. Jadi ini, calon masterku. Kataku dalam hati.

“Hai Jen, mana Senja”, Redi langsung duduk dibangku taman tanpa disuruh. “Malam kali dia kesini”, jawabnya seperti asal-asalan. “Oh iya, kenalin ini temen yang aku ceritain kemarin Jen,” kata redi menunjuk aku. Aku sontak langsung menyodorkan tanganku kearahnya, “Keanu..” kataku. Diapun menyambut tanganku, “Jenna..” katanya sambil tersenyum.

“Satu kalimat saat aku memandang keajaiban kecil di hadapanku, tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu. Mendungnya pas, aku suka.”

Belum sempat aku membalas senyumnya, Redi sudah langsung menjelaskan maksud dari kedatanganku kesana. Kesannya Redi sudah sangat tahu apa yang aku maksud, padahal aku sendiri sampai detik ini belum tau akan berbuat apa. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, mencari kesibukan yang aku maksud akan menjadi seserius ini. Saatnya mengarang bebas, begitu kira-kira pikirku.

“Jadi, hari mau setoran apa mau ambil barang lagi Red?” Jenna memulai obrolan, aku hanya senyum-senyum tak tahu harus mulai dari mana. “Nanti yoh aku setoran, barangnya masih di kawan aku. Sekarang mau ambil barang aja. Kalian ngobrol aja ya, aku ke gudang hunting dulu”. Redi berjalan meninggalkan kami. Jenna duduk di sebrang tempat dudukku. Dia mulai menyalakan rokoknya dan memandang ke arahku. Perfect! Mengarang bebas kali ini sepertinya berubah menjadi just fill the blank space. Aku merasa hendak akan di interview. “Redi kemana sih?!” umpatku dalam hati.

“Ud..”

 “Ka..”

 Kami berdua sama-sama melemparkan kalimat bersamaan. Jenna tertawa kemudian menghisap rokoknya. Aku tersenyum, menurutku ini tidak lucu sama sekali. Ekspresi Nona didepanku ini membuatku ingin pulang rasanya. “Okay, ladies first..” kataku memulai obrolan. Jenna menghisap rokokknya lagi sambil sesekali masih tertawa, entah apa yang dia tertawakan. “Jadi, kamu mau ikutan kayak Redi juga?” katanya, menurutku basa-basi. Aku yakin dia jelas tahu kedatanganku kesini bukan itu. “Sorry kalau salah, aku bukan dukun yang bisa tau setiap orang maunya apa.”katanya lagi melanjutkan masih dengan ekspresi muka setengah ingin tertawa. Kali ini aku tertawa, karena tak tahu harus menanggapinya dengan bahasa seperti apa. “Udah berapa lama disini?”Kataku akhirnya, mencoba mengalihkan obrolan basa-basi yang garing tadi. Jenna memandangku dengan tatapan menelisik, seolah bertanya maksud aku apa. “Disini, yah di Bandung. Kerja di Distro ini.” Aku cepat menambahkan sebelum tambah terlihat bodoh. Jenna menghisap rokokknya lagi, “udah lumayan lama sih, hampir setahun sih ada.” Jawabannya sesingkat tawanya, ekspresi lucunya tiba-tiba menghilang. Eh, tanpa sadar aku memanggilnya lucu.

Akhirnya setelah berbasa-basi kami mulai bisa menemukan obrolan yang pas. Yah mengenai usaha itu tadi. Usaha yang ingin kumulai dengan jerih payahku sendiri. Belum terlalu lama kami berdua mengobrol, tapi rasanya aku sudah mengenalnya lebih dulu. Bahasaku tiba-tiba lancar, aku bisa mengajaknya bercanda. Entah aku yang memang tiba-tiba humoris atau memang Nona satu ini sangat suka sekali tertawa. Yang jelas aku terhibur dan mulai menaruh minatku untuk terus mengobrol dengannya. Rasa yang tadinya ingin pulang berubah menjadi penasaran dan inin hal ini terus terulang.

“Aku sama sekali belum pernah mencoba usaha apapun itu lho ya. Amatir banget lah pokoknya”, aku menyalakan rokokku yang entah keberapa. Jenna menyodorkan Teh Kotak kedua sore menjelang malam itu. Tak terasa kami sudah mengobrol selama hampir 2 Jam. “Kita kan disini sama-sama belajar, sama-sama mencari tahu”, raut wajahnya serius. Pikiranku menerawang, apa kira-kira yang Jenna bayangkan.“Profesional itu kan amatir yang pantang menyerah”, sambungnya. Aku takjub, dia tak hanya lucu tapi juga pintar. Adzan Maghrib berkumandang, kami berduapun sama-sama terdiam. Aku memperhatikan wajah Jenna yang tertimpa cahaya lampu remang-remang. Ini bukan sepi, ini tenang .

“Kutitipkan satu harapan kecilku dikantongmu, saat aku mulai menjauh dari tujuanku tolong tunjukkan itu padaku. Gambaran masa depanku, kini telah kubagi denganmu.”


Tak terasa sudah hampir 2 jam kami mengobrol. Jujur, membicarakan masa depan tak pernah semenarik ini. Setidaknya aku yang cuek juga punya kekhawatiran tentang apa yang akan aku lakukan. Bertemu dengan Jenna memberikanku sedikit titik terang. Aku memanggil Redi yang sedari tadi asik di ruangan Jenna, streaming beberapa video aku rasa. Redi menghampiri dengan wajah setengah ngantuk. “Udah selesai nih urusannya?” sambil mengusap wajahnya dengan sapu tangan. “Kayak gak ada hari lain aja”, kata Jenna sambil tertawa. Aku otomatis tersenyum. “Barangnya Cuma ada beberapa Jen, besok mungkin aku kesini lagi”, kata Redi sambil memasukkan beberapa baju yang sudah dirapikan ke dalam tasnya. Mendengar hal itu, senyumku merekah saja tak bisa kukontrol. Jenna hanya menanggapinya dengan anggukan. Kami berduapun berpamitan pulang, sempat ingin terpikir untuk menawarkan pulang bersama, tapi kuurungkan. Buat apa? Tanyaku pada hatiku. Seingatku pacarnya akan kesini nanti malam. Lagipula urusanku sudah selesai. Jenna mengantar kami keluar, aku berjalan dan menoleh kebelakang. Dia masih disana, berdiri di bawah tamparan awan gelap yang mendung . Kubayangkan, wajahnya pasti muram.

No comments:

Post a Comment