“Waktu tak akan mengulang pertemuan
kita dulu, tapi waktu dapat mengantarkan kita pada pertemuan-pertemuan
berikutnya” – Keanu
KEANU
November - 2011
November - 2011
Seandainya di dunia ini tak perlu ada yang
namanya kuliah, sudah pasti hidupku tak akan serumit ini ini. Rutinitas
tetaplah rutinitas, seberapa malasnya aku dan sesering apapun aku mengumpat
tekadku tetaplah bulat, menyelesaikan kuliah walaupun jauh dari kata tepat
waktu tetap menjadi prioritas utamaku. Menjadi salah satu mahasiswa di sebuah
kampus swasta di Bandung sangatlah tidak mudah. Susah yang aku maksud bukan
masuk ke Fakultas Teknik dan jadi mahasiswa jurusan tambang nya. Tapi keinginan
untuk bersenang-senang dengan Kota secantik Bandung adalah hal sulit aku bendung.
Sepagi
ini mendung sudah menggantung, namun tampaknya langit masih menerka-nerka kapan
waktu yang tepat untuk menjatuhkan curah hujannya. Saat ini semangat di otakku
sedang sangat menggebu-gebu, tapi sayang tubuhku tak meresponnya dengan baik. Sehingga
kuputuskan untuk tidur lagi. Hari ini, aku merindukan orang tuaku.
Baru
saja aku bergerak menuju alam bawah sadarku, tiba-tiba saja nada dering hapeku
berbunyi. Aku meraba-raba ke arah sumber suara itu dan akhirnya aku temukan
hapeku berada di bawah bantal disampingku. Dengan memicingkan satu mataku, melihat
layar hape senymkupun terkembang. Disitulah aku baru merasakan bahwa tubuhku
memang masih berada di bumi. Iya, teman-temanku. Kuambil bantal disampingku,
kusenderakn tubuhku untuk mengumpulkan energiku. Berbicara tentang teman,
untukku mereka itu semacam penyelamat hari-hariku, Karena aku adalah pembenci
sepi yang memuja keramaian. Sisanya perempuan-perempuan yang ada di list contact
hapeku. Mereka masuk itungan, karena selalu ada saat aku sudah tak punya lagi
lawan bicara. Tak perlu berlama-lama dan tanpa harus diperintah, tubuhku sudah
bergerak lebih dulu. Energi untuk pergi bersama teman memang tak pernah ada
habisnya. Masih muda ini, pikirku sambil meninggalkan tempat tidur dan berjalan
ke kamar mandi.
Saat
ini waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi karena mendung langit lebih
tampak seperti sore. Aku memarkirkan mobil agak jauh dari letak kampusku. Belum
beranjak menunggu temanku Redi yang sepertinya masih berjuang menahan ngantuk
di kelasnya. Kusebarkan pandangan kesekelilingku, kulihat beberapa anak kampus
bergerombol asik dengan topik pembicaraan mereka. Aku berani bertaruh, tak ada
satupun dari mereka yang membahas mata kuliah. Tukang parkir langgananku sedang
mengobrol di warung rokok pinggir jalan, asik menyeruput kopi dan menghisap
rokoknya sambil sesekali melihat ke arah jalanan. Aku memilih merebahkan
tubuhku di mobil sambil memutar beberapa lagu dan memainkan hapeku. Berawal
dari obrolan beberapa hari lalu dengan Redi dan temanku yang lainnya tentang
prospek usaha yang sedang mereka tekuni, aku mulai tertarik untuk menjalaninya.
Sebetulnya hanya karena aku mulai merasa penat dengan rutinitas sehari-hariku
yang itu-itu saja. Aku butuh tantangan baru yang bisa memperluas pandanganku. Temanku
Reda bercerita mengenai usaha jualan bajunya dan merekomendasikan aku untuk
bertemu seseorang yang mungkin bisa membagi pengalamnnya denganku. Aku sedikit
tertarik dengan sosok yang akhir-akhir ini jadi bahan perbincangan kami saat
berkumpul bersama. Aku tak pernah menutup diri akan kemungkinan apapun, siapa
tau ada pelajaran baru yang bisa kuambil sesudahnya. Siapa tau..
In my life I thought that I could
spread my wings right out to fly. But the times have changed too much. It’s
hard to stand; I don’t know why. – Headlight (Monkey Majik - english version)
Lagu
yang sedang kuputar mengingatkan aku pada sebuah cerita yang sering kukarang
sendiri. Tak hanya menyukai lagu-lagu Jepang, aku memang menyukai Negari Sakura
itu. Berpetualang mengunjungi mengunjungi tempat-tempat baru salah satu caraku
melarikan diri dari rutinitas sehari-hariku. Suatu saat aku akan menjelajah
tempat itu bersama orang yang tepat, tak lagi sendirian seperti sekrang.
Keinginan-keinginan itu muncul terlalu cepat, menyadarkan aku bahwa sekarang
aku benar-benar merasa kesepian. Walaupun aku tahu aku tak pernah benar-benar
sendiri. Banyak teman tapi jauh dari keluarga. Kuseret kembali ingatanku ke
tempatku sekarang. Kenapa semua jadi sedrama ini? Pikiriku. Sejauh yang kuingat,
aku hanya ingin membuat kehidupan yang lebih mudah dengan orang-orang baik yang
ada disekelilingmu. Diamanpun aku berada, aku ingin selalu menyebarkan
benih-benih kebaikan, menghibur mereka yang patah hatinya. Hidupku sendiri
sudah terlalu sepi untuk diisi oleh hal-hal yang menyedihkan. Bukan aku tak
menyukai kehidupanku, hanya saja setiap manusia memang tak pernah puas. Jangan
puas dengan emas jika berlian bisa kau dapatkan. Aku tersenyum mengingatnya.
Mengingat apa dan siapa entah aku tak mau pusing.
Bosan
mulai menghampiriku karena menunggu terlalu lama, akhirnya Redi muncul juga.
Dia langsung duduk dan ibarat buku tanpa ada kalimat pengantar dia langsung ke
isi materi. Redi itu salah satu temanku yang merantau disini, logat Sumateranya
masih sangat terdengar kental, sehingga kadang aku bingung mencernanya karena
saking cepatnya. “Oy Ken, kita langsung aja ke Distro yang aku bilang itu, kau
mau pergi lagi dak? Atau ada acara lain lagi dak? Disana ada kawanku yang kita
bahas kemarin tu nah. Dia yang kasih aku barang buat jualan tuh. Lumayan,
banyak lah anak kampus yang perlu kaos distro tuh, selebihnya lagi aku kirim ke
temen rumahku.” Redi nyerocos tanpa jeda. Separuh cerita yang sudah hampir
sering kudengar. Kubuka kaca jendela mobilku, membakar rokokku dan langsung
mengangguk tanda setuju. Redi sibuk dengan hape dan mulutnya yang terus
membicarakan prospek-prospek usaha yang memungkinkan untuk anak kuliahan
seperti kami mencari tambahan pemasukan.
“Tapi
emang temen lo mau ngajarin gue usaha? Gue usaha beneran lho ini, gue udah
sedikit diskusi sama bokap. Mumpung ada lampu hijau dari bokap nih”, kataku
sambil memperhatikan jalanan Bandung yang sore ini agak padat menuju ke arah
Trunojoyo. “Yo mau lah Ken pasti. Dia tuh pacarnya kawan aku, nah aku dikenalin
lah. Dia juga kenal dengan kawan-kawan aku yang di kostan. Kostan kami dekat.
Dia tu lah yang ngajakin anak-anak yang lain juga jadi jualan. Jangankan
kita-kita nih, pacarnya dia aja jualan.” Redi terkekeh sendiri. “Perasaan
kemarin lo gak ada cerita bagian sinetron yang kayak gininya deh. Jadi orang
yang mau ketemu kita sekarang ini adalah pacarnya temen si A yang temennya si B
dan kenal juga sama si C. Kok gue mumet ya.” Aku tertawa dan Redi memulai
penjelasan-penjelasannya lagi. “Ai kau nih, katanya kemarin mau usaha nian, mau
dikenalin sama orangnya. Nanti kau ketemu langsung, tanya-tanya langsung lah
sama orangnya kalau masalah yang kayak gitu.” Aku mengangguk-anggukan kepalaku,
“Pacarnya siapa emang?”aku mulai menemukan obrolan. “Adalah Senja, kawan aku
juga. Kenal lah kamu tuh.. Satu kampus sama kita nih, beda jurusan aja cuma. Kawannya
Fedy sama Novan juga”, Redi menjelaskan, sedikit demi sedikit bisa kucerna.
Walaupun hanya sedikit sekali. Aku pernah mendengar nama yang Redi sebutkan
barusan, tapi tak pernah benar-benar mengenalnya. Taka da urusannya denganku
juga.
Akhirnya
setelah sekitar setengah jam berkendara, kita sampai di daerah Trunojoyo. Tempat
dimana surga orang-orang yang ingin belanja baju Distro di Kota Bandung. Orang
ramai lalu lalang, cuacanya mendukung. Langit yang mendung dan udara yang segar
seolah menabrak moodku yang saat ini sedang on
fire. Angin sore ini agak kurang santai, aku beberapa kali membetulkan
rambutku yang sedikit berantakan dan mulai berjalan.
“Lo
udah bilang ke dia kalau kita mau datang?” aku mencoba memastikan. “Dua hari
yang lalu aku kesana ambil barang, aku bilang ada kawan aku yang mau mulai
usaha dan perlu ngobrol”jawabnya kali ini datar, sepertinya hapenya membuatnya
sedikit sibuk. “Tapi dia udah tau kalau hari ini lo dateng sama gue?” aku terus
memastikan. “Kau nih kenapa lah Ken, santai aja kayak mau ketemu siapa aja.
Walaupun kantor, tapi suasananya tuh santai. Datang ya tinggal datang, dak usah
berkabar dia pasti ada disana gak pernah
kemana-mana”. Redi is back! Dia nyerocos lagi. “Nanti kau bisa tanya-tanya lah
ke dia tentang maksud usaha yang kau maksud tuh nah. Siapa tau dia bisa bantu
dak eh”. Aku hanya mengangguk-ngangguk karena kita sudah tiba di Distro yang
Redi maksud. Kami berdua langsung melangkah masuk ke dalamnya. “Eh Red, siapa
namanya temen lo?”tanyaku setengah berbisik. Redi tak menghiraukanku, dia sibuk
menyapa orang-orang yang ada dalam Toko, sudah terlihat dia begitu familiar
dengan tempat ini. Aku hanya menyapa mereka dengan mengangguk dan tersenyum.
Kemudian kita menuju ke pintu yang mengarah ke dalam, tampak beberapa pekerja
yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Redi menghentikan
langkahnya tepat di depan meja kerja seseorang. “Teh Isa, biasa dong..”Redi
tersenyum. Nampak seorang perempuan yang sedang asik di depan layar komputernya
langsung menoleh. “Eh Rediii… langsung ke Belakang aja, tunggu yaa dipanggil
dulu.” Sedetik kemudian perempuan yang akrab dipanggil oleh Redi – Teh Isa itu
langsung berteriak memanggil nama seseorang, kencang sekali. Aku hanya
tersenyum nyinyir, Redi hanya bilang terima kasih dan kami berdua langsung
berjalan pergi ke tempat yang dimaksud, rupanya sebuah taman. Di sebrang taman
dipintu sebuah ruangan terlihat seorang perempuan yang menoleh kemudian
menghampiri kami berdua. Jadi ini, calon masterku. Kataku dalam hati.
“Hai
Jen, mana Senja”, Redi langsung duduk dibangku taman tanpa disuruh. “Malam kali
dia kesini”, jawabnya seperti asal-asalan. “Oh iya, kenalin ini temen yang aku
ceritain kemarin Jen,” kata redi menunjuk aku. Aku sontak langsung menyodorkan
tanganku kearahnya, “Keanu..” kataku. Diapun menyambut tanganku, “Jenna..”
katanya sambil tersenyum.
“Satu kalimat saat aku memandang
keajaiban kecil di hadapanku, tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu.
Mendungnya pas, aku suka.”
Belum
sempat aku membalas senyumnya, Redi sudah langsung menjelaskan maksud dari
kedatanganku kesana. Kesannya Redi sudah sangat tahu apa yang aku maksud,
padahal aku sendiri sampai detik ini belum tau akan berbuat apa. Tak pernah
kubayangkan sebelumnya, mencari kesibukan yang aku maksud akan menjadi seserius
ini. Saatnya mengarang bebas, begitu kira-kira pikirku.
“Jadi,
hari mau setoran apa mau ambil barang lagi Red?” Jenna memulai obrolan, aku
hanya senyum-senyum tak tahu harus mulai dari mana. “Nanti yoh aku setoran,
barangnya masih di kawan aku. Sekarang mau ambil barang aja. Kalian ngobrol aja
ya, aku ke gudang hunting dulu”. Redi berjalan meninggalkan kami. Jenna duduk
di sebrang tempat dudukku. Dia mulai menyalakan rokoknya dan memandang ke
arahku. Perfect! Mengarang bebas kali ini sepertinya berubah menjadi just fill the blank space. Aku merasa
hendak akan di interview. “Redi kemana sih?!” umpatku dalam hati.
“Ud..”
“Ka..”
Kami berdua sama-sama melemparkan kalimat
bersamaan. Jenna tertawa kemudian menghisap rokoknya. Aku tersenyum, menurutku
ini tidak lucu sama sekali. Ekspresi Nona didepanku ini membuatku ingin pulang
rasanya. “Okay, ladies first..” kataku memulai obrolan. Jenna menghisap
rokokknya lagi sambil sesekali masih tertawa, entah apa yang dia tertawakan.
“Jadi, kamu mau ikutan kayak Redi juga?” katanya, menurutku basa-basi. Aku
yakin dia jelas tahu kedatanganku kesini bukan itu. “Sorry kalau salah, aku
bukan dukun yang bisa tau setiap orang maunya apa.”katanya lagi melanjutkan
masih dengan ekspresi muka setengah ingin tertawa. Kali ini aku tertawa, karena
tak tahu harus menanggapinya dengan bahasa seperti apa. “Udah berapa lama
disini?”Kataku akhirnya, mencoba mengalihkan obrolan basa-basi yang garing
tadi. Jenna memandangku dengan tatapan menelisik, seolah bertanya maksud aku
apa. “Disini, yah di Bandung. Kerja di Distro ini.” Aku cepat menambahkan
sebelum tambah terlihat bodoh. Jenna menghisap rokokknya lagi, “udah lumayan
lama sih, hampir setahun sih ada.” Jawabannya sesingkat tawanya, ekspresi
lucunya tiba-tiba menghilang. Eh, tanpa sadar aku memanggilnya lucu.
Akhirnya
setelah berbasa-basi kami mulai bisa menemukan obrolan yang pas. Yah mengenai
usaha itu tadi. Usaha yang ingin kumulai dengan jerih payahku sendiri. Belum
terlalu lama kami berdua mengobrol, tapi rasanya aku sudah mengenalnya lebih
dulu. Bahasaku tiba-tiba lancar, aku bisa mengajaknya bercanda. Entah aku yang
memang tiba-tiba humoris atau memang Nona satu ini sangat suka sekali tertawa.
Yang jelas aku terhibur dan mulai menaruh minatku untuk terus mengobrol
dengannya. Rasa yang tadinya ingin pulang berubah menjadi penasaran dan inin
hal ini terus terulang.
“Aku
sama sekali belum pernah mencoba usaha apapun itu lho ya. Amatir banget lah
pokoknya”, aku menyalakan rokokku yang entah keberapa. Jenna menyodorkan Teh
Kotak kedua sore menjelang malam itu. Tak terasa kami sudah mengobrol selama
hampir 2 Jam. “Kita kan disini sama-sama belajar, sama-sama mencari tahu”, raut
wajahnya serius. Pikiranku menerawang, apa kira-kira yang Jenna
bayangkan.“Profesional itu kan amatir yang pantang menyerah”, sambungnya. Aku
takjub, dia tak hanya lucu tapi juga pintar. Adzan Maghrib berkumandang, kami
berduapun sama-sama terdiam. Aku memperhatikan wajah Jenna yang tertimpa cahaya
lampu remang-remang. Ini bukan sepi, ini tenang .
“Kutitipkan satu
harapan kecilku dikantongmu, saat aku mulai menjauh dari tujuanku tolong
tunjukkan itu padaku. Gambaran masa depanku, kini telah kubagi denganmu.”
Tak
terasa sudah hampir 2 jam kami mengobrol. Jujur, membicarakan masa depan tak
pernah semenarik ini. Setidaknya aku yang cuek juga punya kekhawatiran tentang
apa yang akan aku lakukan. Bertemu dengan Jenna memberikanku sedikit titik
terang. Aku memanggil Redi yang sedari tadi asik di ruangan Jenna, streaming
beberapa video aku rasa. Redi menghampiri dengan wajah setengah ngantuk. “Udah
selesai nih urusannya?” sambil mengusap wajahnya dengan sapu tangan. “Kayak gak
ada hari lain aja”, kata Jenna sambil tertawa. Aku otomatis tersenyum. “Barangnya
Cuma ada beberapa Jen, besok mungkin aku kesini lagi”, kata Redi sambil
memasukkan beberapa baju yang sudah dirapikan ke dalam tasnya. Mendengar hal itu,
senyumku merekah saja tak bisa kukontrol. Jenna hanya menanggapinya dengan
anggukan. Kami berduapun berpamitan pulang, sempat ingin terpikir untuk menawarkan
pulang bersama, tapi kuurungkan. Buat apa? Tanyaku pada hatiku. Seingatku
pacarnya akan kesini nanti malam. Lagipula urusanku sudah selesai. Jenna
mengantar kami keluar, aku berjalan dan menoleh kebelakang. Dia masih disana,
berdiri di bawah tamparan awan gelap yang mendung . Kubayangkan, wajahnya pasti
muram.
No comments:
Post a Comment