Wednesday, September 23, 2015

6. I got magical flow

KEANU

            Malam dengan hujan selebat ini, seperti biasa hati dan otakku sedang sibuk melakukan konspirasi. Sementara aku, sedang santai minum kopi.
            Aku membuka layar dihandphoneku, bercengkrama dengan linimasa mencoba untuk mengusir sepi. Kulihat disana update status dari beberapa orang yang aku follow. Sebagian besar teman-temanku, sebagian lagi orang-orang yang mencuri perhatianku hanya karena profil picturenya yang sepertinya menarik untuk diisengi. Yah, namanya juga laki-laki. Masing-masing dari mereka larut dengan ceritanya sendiri, “Attention addicted whore”, kataku nyinyir sendiri. Aku merefresh timeline Twitter-ku berkali-kali, tak ada yang menarik lagi. Scrolling timeline kini menjadi satu-satunya hal yang bisa kulakukan selain membuka beberapa portal berita. Sampai akhirnya nama itu muncul juga.
@jejennar : Take me to the place where I can possibly stay without my insomnia.
Seperti mendapat pencerahaan, jari-jariku otomatis merespons deretan katanya.
Reply to @jejennar : @kwords : Tidur Master, besok banyak rencana yang mesti diobrolin :D
Aku menunggu notifikasi dilayar hapeku. Menunggu reply dari yang bersangkutan selanjutnya. Aku sempatkan masuk ke dalam linimasa pemilik akun @jejennar itu, berharap menemukan hal menarik yang bisa mengusir bosan. Lebih tepatnya, berharap siapa tau ada sesuatu yang menarik lain yang dia simpan disana. Aku bakar kembali rokokku, sambil bersandar di teras kamarku. Aku lihat dengan seksama beberapa percakapannya dengan orang-orang di timelinenya. Beberapa update statusnya membuatku bertanya, kehidupan macam apa yang sedang dia jalani sehingga setiap kalimat yang dibuatnya berhasil menyeretku ke dalam ribuan kejanggalan. “Ah cuma status Twitter,” kataku mencoba tak peduli.
Beberapa menit berlalu, tak ada tanda-tanda adanya pesan baru dari notifikasiku. Ku betulkan letak sweeterku, kunaikkan retsletting-nya setinggi leherku dan menghela nafas panjang. Kuberjalan menuju kamarku sambil sesekali menepuk-nepuk dadaku, membaringkan tubuhku yang sedari tadi menggigil. Bandung malam ini dinginnya memang sedikit keterlaluan, deras hujannya menambah suasana menjadi semakin beku. Kututup seluruh tubuhku dengan selimut, mencoba menutup mataku sambil mencari cara untuk menemukan rasa kantuk yang keberadaannya tak juga aku rasakan.
Tak lama kemudian, nada getar handphone menegurku untuk berhenti dari usahaku menidurkan kegelisahan.Kali ini ada BBM masuk di nitofikasiku. Nama Jenna sedikit melegakan.
Jennara : Tidur kali… Haha sinyal hapeku jelek banget, gak bisa reply Twitter.
Kusingkap selimutku, meletakkan bantal dibelakang punggungku. Mencari posisi yang paling nyaman untuk mengobrol dengan kesukaan baruku.
Aku : Gak bisa tidur Master..
Jennara is typing…  
Tak kututup halaman chatt-ku dengannya, aku terdiam menunggu.
Jennara : Kebanyakan kopi sih sama rokok
Aku : Kamu dukun?
Jennara is typing…
Aku bukan sedang bercanda, tapi Jenna ada benarnya kopi dan rokokku malam ini agak berlebihan. Tak kusangka, mengusir bosan membuat nafas dan perutku sama-sama tak enak dan aku sedikit kewalahan. Tanda bahwa Jenna sedang mengetik untuk membalas pesanku menghilang. “Ah jangan-jangan sinyalnya buat chatting jelek juga’. Aku ngedumel sendiri sambil memegangi dadaku yang sedari tadi memang sedikit sesak. Lalu hapeku bergetar lagi.
Jennara : Kalau aku dukun, sekarang ini kamu sudah pasti aku buat tidur.
Aku : Haha kalo gitu kamu jadi Master Hypnotis aja.
Jennara : Gak usah jadi Master juga kamu bisa aku Hypnotis.
Aku : Try me..
Jennara : Not this time
Aku : When?
Jennara : Gak ada kerjaan banget sih.
Aku : Hmm.. Besok main Bilyard yuk, seru kayaknya. Kebetulan siang aku gak ada kuliah.
Jennara : Ngigo deh, aku kan kerja.
Sisa malamku kali  ini kuhabiskan separuhnya dengan cekikikan. Sesak di dadaku pun berhasil kualihkan. Jenna tak hanya menyita perhatianku tapi juga menyita separuh waktuku. Semoga ini hanya urusan bisnis semata. Karena tak pernah kubayangkan, berkirim pesan dengan pacar orang akan menjadi semenarik ini. Kalau saja tadi taka da urusan dadakan, sudah pasti waktuku dengannya bisa lebih lama lagi. Aku ingin menjelaskan tentang sore tadi, namun nampaknya Jenna tak peduli sama sekali.
Aku : Gimana insomnianya mau hilang, jam segini kamu masih on fire banget.
Jennara : On fire itu satu kata yang pas buat kamu yang daritadi cari cara buat dapetin lawan bicara.
Aku : Dukun kan J
Jennara : Tidur kamu..
Aku : Sampai ketemu besok yaa..
Jennara : Nanti siang maksudnya.
Keanu : J
Aku lihat jam dihapeku, sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Biasanya bertukar pesan dengan seorang perempuan tak pernah membuat otakku bekerja semaksimal ini. Ingin cepat besok rasanya. Eh iya, siang nanti.
“Jika nanti kamu mencari kebahagiaan serupa ruang untukmu berbicara, jangan sungkan masuk ke dalam pikiranku. Disana kau akan menemukan kita di dalam setiap sudutnya” – Keanu
----,----
Siang ini, entah sudah berapa banyak  peraturan lalu lintas yang aku langgar. Dari mulai melewati bahu jalan, menerobos lampu merah, memutar arah sesuka hati karena menghindari kemacetan yang cukup panjang dan memarkirkan kendaraanku sembarangan sehingga menimbulkan kebisingan. Bunyi klakson protes dimana-mana dan hanya kubalas dengan “Sorry, buru-buru.” Kemudian disambut dengan gerutuan-gerutuan menyebalkan yang sudah pasti aku hiraukan . Kalau saja bukan karena hujan dari semalam memang tak berhenti, sudah pasti banyak polisi berkeliaran dan ijin mengemudiku sudah pasti langsung dicabut ditempat.
So if I decide to waiver my chance to be one of the hive
Will I choose water over wine and hold my own and drive, oh oh
It's driven me before, and it seems to be the way
That everyone else gets around
Lately, I'm beginning to find that when I drive myself, my light is found
Drive - Incubus
 Semua kekhawatiranku lenyap seketika, senyumku mengembang sesaat aku sampai di tempat yang menjadi tujuanku.“Ken, aseli lah gue mual ini kalau lo nyetirnya kayak gitu.” Meow masih berpegangan pada sitbelt-nya sambil menyeimbangkan nafasnya. Aku hanya tertawa, bersandar dibangku kemudiku. Kuraih hape-ku dan kubuka sisa chatt-ku semalam.
Aku : Ayo Master kita keluar..
“Kalau mau jadi orang sukses emang harus gini Mew, on time! Liat aja tuh di Jepang aja orang-orang jalannya pada cepet gak ada yang lambat.” kataku sambil cekikikan. “Gaya lo Ken, on time banget mau kemana sih? Lagian itu orang Jepang jalan cepet bukan kebut-kebutan.” Meow masih tak mau kalah. “Yang penting tujuannya sama Mew, sukses.” Kataku tak mau ambil pusing. “Tadi bukannya kita mau main Bilyard ya, kok malah parkir disini?” Meow terheran-heran karena berada di sekitaran daerah Trunojoyo. “Kita main Bilyard gak cuma berdua lah udah kayak homo”, jawabku asal-asalan. “Lah emang anak-anak yang lainnya pada disini?” Cepat atau lambat Meow pasti menyadari jika ada yang lain dari kebiasaanku. Dia sahabat yang bukan aku kenal sehari dua hari. “Gue jemput lo paksa sampe ngebut-ngebut bukan buat di interogasi.” Aku tertawa mengalihkan, daripada Meow terus memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan. Tak lama hapeku berbunyi.
Jennara : Aku lagi kerja lho ini..
Aku : Ijin ajalah, bilang aja ada keperluan atau apa kek gitu. Masa mesti diajarin. Kamu kan Masternya.
Jennara : Kamu dimana?
Aku tersenyum melihat respons Jenna yang super cepat. “Ayo dah bergerak kita”. Aku merapikan rambutku dan mengambil tasku kemudian bergegas turun. “Oh… gue paham, ya ya ya… Ngapain parkir disini sih, kan mesti hujan-hujanan. Kenapa gak di depan tempat kerjanya langsung jemput Tuan Puterinya?” Meow menelisik dibalik nada meledeknya. Sial! Meow rupanya pantang menyerah juga. Umpatku dalam hati. “Ya biasalah, kan biar drama dikit dan kita perlu lihat yang sedikit manis jangan cuma yang pahit-pahit, liat cowok mulu kan mual gue juga lama-lama.” Aku bercanda seadanya. Aku memarkirkan kendaraan agak jauh dari letak tempat Jenna bekerja alasannya cuma satu, jalanan yang satu arah dan serba macet membuatku memilih berjalan kaki untuk menghemat waktu. “Okay… Jadi sekarang lagi kesini terus ya Bro..”, katanya lagi sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Lumayan Mew, Jenna itu pintar dan gak tau kenapa gue percaya dia bisa ngarahin pola pikir gue” kataku datar menerawang.“Yah kalau emang sreg gas terus aja bro”, Meow tersenyum seolah membaca ekspresi wajahku. “Gak bakalaaaaan… pacar orang begooooo”, kutoyor sahabatku mencoba untuk berlaku senormal mungkin. “Yang kawin aja bisa cerai, apalagi yang pacaran mas broooo”, Meow terus saja memojokkanku. Harusnya aku biasa saja, bercandaan seperti ini bukan cuma sekali atau dua kali kami lakukan. Tak jarang Meow selalu menjadi orang yang pertama tahu, jika aku sedang dekat dengan urusan perempuan yang selalu datang dan pergi dalam kehidupanku. Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda. Aku hanya bisa terdiam menelan perkataanku sendiri. Aku mencernanya di dalam otakku kemudian menghasilkan keresahan. Urusan yang aku hadapi kali ini lebih rumit jika harus aku jabarkan. Jangan sampai aku main perasaan dengan pacar orang. Tidak ada niat untuk mempermainkan siapapun. Aku datang untuk bersenang-senang, sama seperti yang sudah-sudah. Jika kali ini aku mendapatkan sedikit pelajaran, aku anggap itu bonus tambahan.
Aku : Di depan tempat kerja kamu.
            Aku dan Meow segera merapatkan diri ke balik teras Toko, hujannya sudah tak sederas semalam tapi saja berjalan dengan jarak yang lumayan membuat kami basah kuyup juga, “Bener-bener dah lo Ken, basah semua ini udah kayak kucing kecebur got kita.” Meow meniup-niup tangannya yang nampak kedinginan. Aku menoleh ke dalam Toko, hanya ada seorang shopkeeper disana, termenung mendengarkan lagu.
Aku menengadahkan kedua tanganku untuk menyentuh sisa-sisa air yang bercucuran, mencoba berkomunikasi pada hujan. Hujan, sungguh malang nasibmu. Diantara ribuan puisi Indah yang memuja namamu, kenyataannya sebagian besar kalimat itu adalah berupa makian. Yang mengumpat kedatanganmu, yang kadang tiba-tiba.
Sepasang tangan yang hangat menutup bagian mataku yang hampir beku, semilir angin mengantarkan bau parfume itu langsung ke indra penciumanku. Tanpa harus melihat aku sudah tahu siapa yang berdiri di belakangku. Kusiramkan air hujan yang kutadah dalam dua tanganku, tepat ke wajahnya. Diapun menjerit dan langsung menghantamkan tangan lembutnya ke arahku. Kita berdua sama-sama basah lalu tertawa besama.
Jenna sibuk melap wajahnya dengan tissue, aku perhatikan ekspresi perempuan yang ada dihadapanku saat ini. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa iya perempuan yang sok pintar ini sanggup mengajariku segala hal. “Aduh kalian ini bener-bener kayak di Film India asli lah”, Meow menggeleng-gelengkan kepala. “Emang dasar dia nih perusak acara lah, percuma aja sengaja bangun pagi buat make-up an selama dua jam kalau kayak gini caranya”Jenna nyerocos sambil terus asik dengan tissue-tissue diwajahnya. “Jadi hari ini kamu dandan Master? Buat jalan sama aku?” Kataku menambahkan. “Emang tampang aku sekarang kelihatan kayak orang yang siap jalan?”Jenna mencondongkan tubuhnya ke arahku, aku mundur selangkah dan menelan ludah. “Gak juga..” jawabku parau. Tampangmu kelihatan kayak orang yang harus aku peluk Jennaaaaaaaaaaaa. Teriak hatiku, kencang sekali. “Ayo Mew, nanti keburu hujan deres lagi”, aku melemparkan kunci mobilku kearah Meow lalu berjalan sambil menarik tangan Jenna. Seolah sudah tau, Meow hanya mengangguk tanda setuju.
Kami berceloteh di tengah hujan, seolah tak keberatan untuk kedinginan. Saat sebagian orang memilih terdiam mencari sebuah naungan, dia hanya menikmatinya dengan seribu senyuman.
“Aku rela menunggumu di bawah tamparan hujan, untukmu penantian itu sepadan.” – Keanu
Aku masih menunggu kalimat makian, karena mengajak seorang perempuan yang harusnya bisa duduk tenang kini basah kuyup bukan kepalang. Namun lagi-lagi hanya lontaran kalimat menyenangkan yang kudapatkan.
“Ken gak apa-apa nih joknya jadi basah begini?” setibanya di dalam mobil. Aku hanya bergumam “Kamu tiupin sampe kering Master”. Aku duduk di bangku belakang bersama Jenna, Meow kini mengambil alih kemudi. “Jadi, mau kemana Nyonya dan Tuan?” Meow yang sedari tadi hanya menyimak kini mulai membuka suaranya. Jenna sepertinya baru sadar, bahwa ada yang tak beres dari letak duduk kami, kulihat pandangannya sedikit mengawasi. “Jadi? Kamu sekarang asal main culik aja nih?” tanyanya gusar. “Gak bakalan ada culik yang mau bilang” kataku menggodanya. Jenna membenarkan letak duduknya, kali ini dia mendekat kearahku. “Siapa juga yang mau tau?”dia tersenyum. Otomatis gusar itu hinggap pada diriku. “Cepetan Meow ngebut ahh. Aku mundur sedikit kebelakang tempat dudukku, mencoba berprilaku senormal mungkin. Sejak kapan? Aku takut terlalu dekat dengan perempuan?
Semakin sore jalanan Kota Bandung macetnya bukan kepalang, setelah menunggu dengan penuh kesabaran, akhirnya kami sampai di tempat Bilyard di daerah Dago yang biasa aku datangi bersama teman-teman. Tak banyak kata yang keluar dari mulut Jenna, sepanjang perjalanan hanya aku dan Meow yang sibuk mencairkan suasana. Begitupun sekarang, dia hanya mengikutiku dan Meow dari belakang. Walaupun tubuhnya ada dengan kami sekarang, aku sadar pikirannya sedang tersesat entah di dunia bagian mana.
Untungnya aku membawanya ke tempat yang tepat. Sesaat setelah kami mulai memainkan Bilyard, aku mulai dapat menemukannya kembali di kehidupan nyata. Kami bermain selama satu jam dan sepertinya Jenna menyukai salah satu permainan ini. Untuk seukuran perempuan, dia jago juga. Aku heran, kira-kira hal apa yang tak bisa dia lakukan?
Sehabis bermain bilyard, kami menyempatkan diri untuk sedikit bersantai di café yang ada di tempat tersebut. Memesan minuman dan beberapa cemilan, hujan juga ternyata meningkatkan nafsu makanku. Jenna duduk santai memperhatikan sekitaran café yang saat itu tak terlalu ramai dan memilih tempat di balcon karena kami berada di lantai 3. Aku sibuk memutar otak untuk mencari bahan pembicaraan. Terus bercanda dengan Meow lama-lama bosan juga, karena tujuanku hari ini hanyalah Jenna. Sepertinya Meow bisa membaca mimic wajahku. Ah, dia memang sahabatku!
“Jadi Jen, kamu udah berapa lama tinggal di Bandung”, Meow basa-basi seada-adanya. Jenna meneguk hot peach tea di hadapannya sambil tersenyum. “Setahun mungkin yaa..” jawabnya datar. “Awalnya kesini sama siapa? Ada saudara?” Meow melanjutkan, aku hanya menyimak. “Gak ada, Cuma bosan aja sama Jakarta. Pengen nafas dulu sejenak”. Jenna menjawab dengan jawaban yang sudah kuduga. Ada alasan lain pasti, aku sih tak mau tau lebih banyak, hanya sedikit penasaran saja. Sama saja huh! Aku perang dalam hati. “Berarti dia di Jakarta gak bisa nafas tuh Meow, saking banyak asap kali di Jakarta”, aku ceikikan. “Haha bener banget itu..” Jenna tertawa, manis sekali. Meow hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. “Eh.. serius ah, kok bisa sampe kerja di Trunojoyo gitu? Ada kenalan apa gimana?” Meow tetap meneruskan. “Serius Meow, hidup itu udah berat apalagi harus ditambahin sama alasan-alasan yang gak terlalu penting. Buatku, sekarang aku ada disini sama kalian dan aku senang, itu cukup” Jenna tersenyum, kini dia mulai membakar rokoknya. Kata-katanya cukup menusuk pikiranku, yang selama ini terlalu sibuk dengan alasan-alasan yang selalu aku pikirkan setiap hari untuk mengisi semua kekosongan yang sampai sekarang aku tak tau itu apa. “Are you sure? As simple as that?” Aku mulai terpancing. “Yes, I am pretty sure about that. Kebanyakan dari kita terlalu mengkhawatirkan apa yang sudah dan belum terjadi, sampai-sampai kita lupa untuk menikmati masa yang sekarang ini tengah kita jalani.” Dengan wajah yang serius, Jenna terlihat dua kali lebih manis. ‘Kalau gitu, kamu sama sekali gak punya kekhawatiran apapun Master? Tanyaku tak banyak berharap dengan jawaban yang aku dengar, sudah pasti jawabannya “Tidak”, Jenna lagi-lagi hanya tersenyum dan terus menghisap rokoknya. Rasanya aku seperti ditinggalkan menggantung di atap gedung. Jenna yang pikirannya ada bersama kita disini, kini tiba-tiba lenyap entah kemana, begitu pikirku.
            Jika ini adalah masa dimana aku harus khawatir, maka itu adalah kamu yang menjadi alasannya. – Keanu
            “Kamu gak balik lagi ke Kantor kan Jen?” tanyaku membuyarkan lamunan Jenna.
            Jenna hanya menggeleng sambil terus asyik dengan rokoknya. Kuperhatikan dia melirik ke arah jam tangannya dan mengeluarkan handphone-nya. “Aku langsung pulang aja Ken, udah jam segini juga”, katanya kemudian.
            “Terus orang kantor gimana?” Meow ikut penasaran.
            Jenna melirik kearahku, “Itu sih Keanu yang harus tanggung jawab”.
            “Tau nih Ken, lo malah ngajakin anak orang bolos aja sih”, Meow mengangguk-angguk sambil terus memasukkan makanan ke mulutnya.
            Kayak gini aja terus sampai Jenna dipecat terus full kerja sama gue yaa kan Meow”, dalam deretan kata-kataku, tersemat doa untuk selalu bersama Jenna.
            Meow seakan mengamini “Nah iya, kayak gini aja terus.. Yang bener makanya usahanya.”
            “Kerjaan aku itu seneng-seneng terus, nanti Keanu bisa lupa diri.” Jenna membenarkan letak duduknya dan merapikan tasnya kemudian bergegas ke arah kasir. Aku sedikit terperanjak namun membiarkannya, memperhatikan Jenna yang sangat santai.
            “Wah kamu traktir kita Master? Makasih ya.. “Aku kemudian mencairkan suasana sesaat setelah Jenna menghamipir aku dan Meow kembali.
            “Sering-sering yaa Jen, besok lagi” kata Meow cekikikan. Entah apa yang dia tertawakan, ekspresiku yang dibuat-buat atau sikap Jenna yang selalu tak terduga.
            “Doain aja ya semoga aku gak selalu sibuk” Jenna berlagak sok cool dan memang cool sepertinya. “Yuk!” katanya kemudian.
            Seperti mendapat perintah, kami berduapun mengikuti perintah Jenna. Padahal dalam hati, aku masih ingin berada disini, lagipula jam masih menunjukkan pukul 7 malam, habis darisini sudah pasti aku tak punya tujuan. Lagipula aku sedang sangat bosan berada sendirian di rumah. Tak ada jaminan juga untuk aku bisa lebih lama menghabiskan waktu dengan Jenna karena sudah pasti dia akan kuantar pulang.
            Kini aku yang mengambil alih kemudi, Meow dengan otomatis kini duduk di bangku belakang. Jenna agak sedikit canggung, namun dengan wajah sok tenangnya diapun melenggang membuka pintu depan dan duduk di sampingku. Diperjalanan, aku sengaja mengambil jalan memutar.Rutenya kini agak sengaja aku rubah, tadinya aku berniat mengantarkan Jenna terlebih dahulu, tapi entah kenapa jari-jari tanganku malah mengarahkan setirnya ke rumah Meow. Akhirnya kuputuskan mengantarkan Meow pulang duluan. Untung ada Meow, selama perjalanan tak ada kekakuan hanya ada gelak tawa canda yang bahagia.
            Akhirnya kami tiba di dekat rumah Meow, setelah berpamitan aku masih terdiam di dalam mobil dan bingung karena inilah moment aku hanya berdua dengan Jenna, entah mengapa aku sedik cemas. Tak biasanya aku begini dengan perempuan, harus kuakui pesonanya melukai pride-ku yang terbiasa dengan perempuan tipe bagaimanapun. Kini aku harus mengakui, aku bingung dengan apa yang aku rasakan.
            “Ini kita masih nunggu apa ya?” Jenna mulai membuka suara sambil memutar-mutar cd mencari lagu yang dia ingin dengar.
            “Gak nungguin siapa-siapa sih” kataku sambil sibuk memainkan hapeku membuka timeline namun tak ada yang aku baca sama sekali, pandanganku mendadak brur, aku sadar aku hanya mengalihkan rasa gugupku.
            “Terus, kenapa kita masih disini dong?” Jenna bertanya, menatap tepat kearah wajahku yang sedari tadi menunduk sibuk dengan handphoneku.
            Aku menarik nafas dan menaruh handphone, mengalihkan pandanganku kini ke arahnya. “Iya Master, ini kita jalan pulang yaa.” Jenna masih menatap kearahku seakan memerintahkanku untuk bergegas.
            “Terima kasih” katanya.
            Jalanan kali ini relative sepi, tidak sesibuk biasanya. Mungkin karena hujan akhir-akhir ini selalu datang tiba-tiba, cuaca Bandungpun menjadi semakin dingin dan membuat orang-orang lebih senang berada di bawah naungan mereka masih-masing.
            “Kamu ngekost di daerah dekat dengan Redi ya?” Tanyaku memecah kesunyian.
            “Dulu itu, sekarang udah pindah ke daerah Muararajeun” Jenna menjawab singkat, tangannya masih sibuk membolak-balikan playlist music. “Sekarang aku ngontrak rame-rame gitu, lumayan lebih hemat.” Sambungnya lagi.
            “Hmmm.. sama pacarmu juga?” aku bertanya ragu-ragu.
            Jenna hanya mengangguk sambil tersenyum.
            Aku otomatis tertawa kecil, entah apa yang lucu.
            “Besok Weekend libur kan Master? Aku jemput pagi ya, jangan begadang malam ini” aku tak siap dengan ajakan, maka aku langsung memutuskan membuat pernyataan, bahwa besok aku harus bertemu dengannya lagi.
            Jenna melirik sejenak, dengan ringan dia berkata “Okay!”
            Aku tersenyum kali ini, lega mendengar jawabannya.
            Akhirnya kami sampai ke tempat Jenna tinggal, jalanan menuju rumahnya relative sempit walaupun aku tau masih bisa untuk dilalui kendaraan. Jenna memberikan saran agar aku cukup memarkirkan kendaraanku di dekat Hotel di depan gank menuju rumahnya. Mungkin dia canggung takut ketahuan pacarnya, pikirku. “Terima kasih, lagi yaa Ken” katanya. Aku hanya mengangguk “Sampai besok yaa..” jawabku kemudian.
            Aku termenung di dalam mobil, memperhatikan Jenna yang berjalan menuju rumahnya. Aku tak beranjak sedikitpun, memandang penuh ke arahnya. Berharap dia membalikkan tubuhnya ke arahku sekali saja, namun tak juga terjadi. Sampai akhirnya Jenna lenyap ditikungan menuju rumahnya, dan aku masih tetap termenung beberapa saat. Seperti baru saja terlepas dari aura sihir, aku menghela nafas dalam-dalam, entah tenang atau malah cemas aku tak mau tau.

Monday, September 21, 2015

5. This the meaning of magic

"Kali ini kuputuskan tak lagi menuliskan duka, hingga pada akhirnya kau baca hanya ada senyum kecil tanda bahagia." - Jenna

Pagi ini aku terbangun dengan sangat bersemangat, terbangun sebelum alarm ku berbunyi ku anggap sebagai prestasi. Setelah mandi dan bersiap-siap, aku memilih duduk di teras sambil menikmati Teh Kotak dan rokokku pagi ini. Tak banyak yang mengisi pikiranku, yang kupegang hanya buku catatan. Tak butuh waktu yang lama, aku langsung menuliskan apapun yang ada dalam hatiku.

Kenapa bukan menuliskan apa yang ada dalam pikiranku? Begitulah, kadang hati dan pikiranku tak sinkron. Biasanya, pikiranku selalu selangkah lebih maju dibandingkan hatiku, itulah mengapa egoku lebih besar dibandingkan nuraniku. Kali ini pikiranku mengalah, hatiku sudah terlebih dulu mendahuluinya. Kata-kata mengalir begitu saja, kutulis dan kurangkai menjadi deretan kalimat. Kalimat pembuka untuk hariku yang biasa saja namun kini sudah mulai menemukan alurnya,

Aku terkadang mengumpat dalam pikiranku, bagaimana aku bisa menuliskan tentangnya? Tentang dia yang namanya saja aku sudah lupa dan untuk membayangkan wajahnya saja aku tak mampu. Namun lagi-lagi hatiku tetap bersikeras, jari-jariku dengan lancar menuruti permintaan sang hati.

Aku melihat ke dalam kamar, pacarku Senja sepertinya masih tersesat di alam bawah sadarnya dan aku sama sekali tak berminat untuk membangunkannya. Semenjak aku menginjakkan kaki di Kota ini, aku memang tak bisa lepas dari pacarku. Kami tinggal bersama, namun tak hanya berdua. Setelah sempat beberapa kali pindah kostan, kami akhirnya memutuskan untuk mengontrak satu rumah untuk kita tinggali bersama-sama. Isinya tentu saja teman-teman senja semuanya jadi totalnya kami ber-enam disini. Semua datang ke Kota ini dengan tujuan yang sama, mengejar cita-cita. Pada awalnya, semua memang baik-baik saja, sampai pada akhirnya kau menyadari bahwa ada hal yang harus dan tak harus kau mengerti.

Pikiran-pikiran yang keluar hanya untuk mengacaukan  mood ku pagi ini perlahan aku tinggalkan, beralih kembali pada buku catatanku, toh inspirasi semacam ini jarang aku dapatkan. Laki-laki yang kutemui di kantorku  secara singkat kemarin membuatku terperangkap dalam imajinasi yang sederhana, namun tanpa batas. Menenangkan. Berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan selama ini. Terlalu banyak hal rumit yang singgah di pemikiranku dan berakhir dengan dekapan-dekapan putus asa yang mendekatkanku pada jalan untuk mengakhiri kehidupan. Rasanya, aku bukan orang yang sangat kesepian sehingga harus putus asa begitu kan?

Terkadang menjadi seorang perempuan itu sangatlah sulit, dinilai terlalu rumit oleh para lelaki. Tak ada yang salah dengan hubunganku dengan Senja, hanya kadang aku selalu merasa tak bernilai dimatanya. Padahal aku berusaha sebisaku untuk bisa menjadi perempuan yang paling bijaksana. Senja pintar walaupun sangat keras kepala tapi dia masih selalu berusaha mengimbangi egoku yang terkadang gila. Hal seperti itu biasanya Senja lakukan jika sudah malas dengan segala fluktuasi emosiku yang naik turun. Tentu saja aku tak benar-benar sadar jika hal itu mulai terjadi. Hingga detik ini, Senja tak pernah tau kalau aku mengidap Bipolar fase 2. Pengobatanku di Jakarta sengaja kutinggalkan, dengan alasan aku kesal jika terus dianggap gila. Satu alasan kenapa aku terus merahasiakan ini kepada Senja, kehidupannya terlalu normal untuk mengimbangi hidupku yang berantakan. Lagipula aku takut disangka berdrama. Tanpa sadar aku mulai membandingakan kesayanganku dengan pria asing yang baru saja kutemui dan kemarin kuanggap ketemu di jalan. Baru kali ini, aku merasa dibutuhkan.

Tiba-tiba layar handphone ku menyala, rekan kerjaku menanyakan keberadaanku. Tak sempat aku menaruh make up diwajahku. Tak sempat aku berpamitan dengan Senja. Kurapikan semua catatanku pagi ini dan bergegas menuju tempat yang aku anggap tepat untuk melarikan diri.

Kantor pagi ini sudah mulai menunjukkan aktifitasnya. Setiap orang sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aku menyeduh kopiku, membasuh mukaku kembali karena tampilanku pagi ini lebih terlihat seperti zombie.

“Jadi apa materi promo yang bisa kita keluarkan untuk mencapai target kita bulan ini?” Di tengah meeting yang rutin kami lakukan pagi ini atasanku mulai asik dengan whiteboard dan spidolnya, menuliskan apa saja yang harus kami lakukan untuk pencapaian. Aku ikut bergabung dan memilih tempat dipojokan tepat disamping jendela.

Aku sibuk mengedarkan pandanganku ke dalam ruangan, melihat siapa yang pertama kali akan merespons pertanyaannya. Sudah kukira, pasti tak ada. Ku tersenyum pada Manager Toko yang duduknya tepat disebrangku, dia hanya cekikikan tak terlalu memperdulikan. Iya, Roni dia salah satu sahabat baikku di kantor. Melihatnya selalu tertawa memberikan pikiran positif untukku, bahwa setiap orang berhak untuk bahagia. Apapun masalah yang disembunyikannya.

Setelah hening selama satu atau dua menit, meeting itu dibubarkan dan akan dilanjutkan nanti sore. Seperti biasa, aku langsung kabur keruanganku dan memutar lagu sesuka hati. Kubuka pekerjaanku hari ini, memposting beberapa materi promo di social media, selebihnya berselancar sendiri di linimasa. Selamat datang di rutinitas seharti-hariku.

Fear and panic in the air
I want to be free
From desolation and despair
And I feel like everything I sow
Is being swept away
Well I refuse to let you go
I can't get it right
Get it right
Since I met you
Loneliness be over
When will this loneliness be over
Map of Problematique – Muse

“Jen kemana aja Senja, gak pernah keliatan kayaknya?” Adi tiba-tiba menanyakan pertanyaan yang tak bisa aku hindari. “Ada kok di rumah, dia lagi sibuk banget sama temen-temennya”, kataku meyakinkan. “Dia udah mulai manggung-manggung gitu ya? Kapan-kapan undang-undang lah” katanya lagi. “Iya, nanti weekend kayaknya dia manggung di Restaurant Seafood yang baru buka di daerah Dago tuh” aku menjawab seadanya. “Wah jadi sibuk dong ya, pantesan gak pernah kesini lagi. Tapi kalian masih pacaran kan? Statusmu di Twitter galau terus” Adi mengejekku dengan nada yang khas. “Yah tulisanku di Twitter gak ada hubungannya sama hubunganku” Adi masih saja menggodaku dengan pertanyaan-pertanyaannya, tertawa seolah itu hiburan tersendiri untuknya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, aku menjauhi pertanyaan-pertanyaan setelahnya yang sudah pasti lebih membingungkan dan melangkah ke bagian luar. 

Aku bersandar disamping pintu Toko. Aku memperhatikan sekitarku, orang-orang yang lalu lalang dan kendaraan yang selalu memadati jalanan Trunojoyo. Aku menyalakan rokokku, memikirkan tentang hubunganku dengan Senja yang akhir-akhir ini memang kurang sehat. Senja memang memutuskan cuti dari kuliahnya untuk dapat lebih dekat dengan mimpinya. Menjadi pemain Band ternama. Senja adalah anak muda yang bersemangat dan mempunyai pemikiran yang luas. Pemikirannya yang mampu menarikku untuk memutuskan berhubungan dengannya. Menurutku, pria yang punya pemikiran luas itu sexy. Selain tampangnya yang lumayan, suaranya yang bagus sebagai vocalis Band adalah nilai plus untuknya.  Satu yang paling aku suka dari bagian wajahnya. Luka tepat diatas pelipis kanan matanya, entah karena apa yang jelas aku suka. Tak kupungkiri aku hampir suka semua karyanya walaupun kadang tak jarang aku mengumpat dalam hati. Karena lagu yang banyak dia ciptakan kebanyakan tentang luka dan patah hati. Pernah terlintas dalam benakku, apakah hanya masalalu yang membuat Senja begitu mencintai karya-karya dan Band-nya. Untukku Senja sangat penting dalam usaha menata kehidupanku, tapi untuknya aku mungkin hanya seorang pacar yang menghambat cita-citanya. Tiba-tiba lamunanku buyar oleh kedatangan Redi. Aku membetulkan letak berdiriku, tak lagi bersandar namun kini agak sedikit maju untuk dapat melihat lebih jelas. Mataku otomatis berkeliling mengecheck bersama siapa dia datang kali ini, ternyata dia sendiri. Seperti bisa membaca maksud gestur wajahku, tanpa harus kutanyakan, Redi tiba-tiba saja nyeletuk “Keanu nanti nyusul kesini.” Aku tak bisa menyembunyikan ekspresiku, yang jelas kalau aku jadi Redi pasti akan tau bahwa senyumku yang merekah tercipta karena mendengar nama Keanu. Untungnya Redi tak terlalu mau peduli.

Kami mengobrol hanya di depan Toko siang itu, Redi membicarakan tentang bagaimana sepeda motor kesayangannya selalu memberikan masalah-masalah tambahan untuknya, tentang bagaimana dia menjual baju-bajunya dengan bersemangat sampai harus dikirim ke luar kota dan betapa dia sangat terbantu akan hal itu. Aku senang mendengar cerita-ceritanya, cerita dari pemuda yang optimis dan bisa mengesampingkan gengsinya. Dibalik obrolan-obrolan kita, mataku tetap mencari-cari ke arah sumber datangnya orang yang lalu lalang, berharap menemukan apa yang aku tunggu-tunggu hari ini. Damn! Tanpa sadar aku menantikannya.

“Oh iya Jen, nampaknya Keanu tertarik tuh bisnis dengan kau.” Kata Redi membuat pandanganku yang tadinya berkeliling lebih terfokus. “Gak tau deh ya Red, aku aja belum tau bisnis yang dia maksud itu yang seperti apa. Tapi kayaknya dia niat banget buat nunjukin sama orang tuanya kalau dia itu bisa, aku salut.” Aku mematikan rokokku, kali ini aku fokus dengan apa yang sedang kita bicarakan. “Emanglah perlu waktu, tapi sepertinya kalian cocok. Keanu memang butuh orang seperti kau.” Tak dapat ku kontrol senyuman diwajahku terkembang tiba-tiba. Tak lama kemudian sebuah mobil menghampiri parkiran Toko, dari balik kaca sudah terlihat di dalamnya ada Keanu dan seorang temannya. Keanu menurunkan kaca mobilnya, berusaha parkir dan melemparkan senyumannya kearah kami. “Tuh dia nah orangnya datang, janjian jam berapa ya datang jam berapa.” Redi ngedumel sendiri.

Setelah selesai parkir, Keanu datang menghampiri kami berdua. Dia memperkenalkan temannya dengan nama Rendi, namun biasa diapanggil Meow. Entah apa maksud panggilannya itu yang jelas itu lumayan bisa memudahkanku untuk memanggil Redi dan Rendi. Kamipun membahas berbagai hal dari mulai cerita tentang perkuliahan, kemacetan kota Bandung, tempat-tempat exotis yang berada disini dan akhirnya obrolanku siang ini menjadi lebih seru.

“Biasanya kan orang Jakarta suka ada aja idenya, kongkow kemana gitu nongkrong kita”, Keanu mengarahkan pandangannya kepadaku, teman-temannya semacam mengamini saja.

Yang aku tangkap sampai detik ini, Keanu itu type pria yang mendominasi. Bisa terlihat dari caranya berteman, dia selalu bisa selangkah lebih maju jika dibandingkan dengan yang lainnya. Teman-temannya pun selalu mengiyakan apapun yang dikatakan oleh Keanu. Bahaya, pikirku dalam hati. Aku mulai mencoba masuk ke dalam pikirannya, harusnya tak seperti itu. Dia bukan siapa-siapa yang harus aku hampiri kepribadiannya. ‘Yah aku mana tau tempat main di Bandung ini”, aku sok imut saja menanggapinya. “Gak mungkin gak tau, gak percaya aku.” Keanu mengajak yang lainnya untuk sepaham. “Seriuslah, tapi kalau kapan-kapan ada yang mau ngajak main dan memperkenalkan Bandung ini lebih gila aku sih ayo” Kataku menantangnya balik. Keanu tersenyum, manis sekali.

Ini aneh, rasanya ada sesuatu yang menyengatku. Membuat tubuhku kemudian kaku, untuk membalas senyumnyapun aku tak mampu.

Risa memanggilku dari dalam, meeting yang tadi tertunda ternyata akan segera dilanjutkan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku, mengobrol dengannya ternyata bisa membuatku lupa waktu. Seharian ini aku tak bekerja, hanya sibuk bermain dengan imaginasiku.

Aku menyambar Teh Kotak ku, bersiap kembali ke ruangan tempat kerjaku, namun Keanu seolah memberi isyarat untuk meletakkannya lagi. “Kita tunggu disini ya, lagi gak ada kerjaan juga soalnya, ternyata nongkrong disini asik juga” lagi-lagi dia tersenyum, diambilnya hape yang daritadi aku genggam. Aku sontak kaget, dia menyimpan namanya disitu. “Hape kita sama ya, lucu juga warna putih gini. Sekalian follow twitternya ya”katanya sambil tertawa.

Aku tercengang dibuatnya, pria ini seolah bisa membaca pikiranku dan aku sama sekali tidak keberatan. Aku mengambil kembali hapeku, tersenyum padanya, kemudian balik badan.

Di dalam ruang meeting pikiranku melayang-layang entah kemana. Temanku Roni sedang dicecar beberapa pertanyaan tentang bagaimana menaikan revenue Toko. Bagian marketing yang dipegang oleh Galih sedang sibuk dengan laptopnya, menunggu giliran untuk menunjukkan prospekan-prospekan baru yang potensial. Adi hanya sibuk menyoret-nyoret kertasnya disebelahku. Sementara aku, berdoa dalam hati semoga meeting ini cepat segera berakhir agar aku bisa kembali. Melihat senyuman itu lagi.

Kulihat update notification BBM di hapeku. Kulihat namanya ada disitu, Keanu, Update status terakhirnya “Vertigo” aku tersenyum, kulihat profile picturenya, terlihat disana dia sedang berdiri membelakangi kamera, membentangkan tangannya seolah akan memeluk samudra yang ada di hadapannya. Ku zoom in dan ku zoom out, begitu saja terus sampai akhirnya meetingku sore ini selesai.
Aku bergegas keruanganku, cepat-cepat merapikan barang-barangku. Kumatikan layar komputerku dan berpamitan dengan rekan-rekan kerjaku. Aku menangkap pandangan heran dari mereka yang melihatku begitu tergesa-gesa, tapi aku abaikan taka da waktu untuk menjelaskan. Kugerai rambut panjangku yang seharian ku biarkan terikat. Aku menoleh sekilas keruangan atasanku, “Pulang duluan yaaa..” kataku sumringah. “Yaaa hati-hati Jen…” sahut atasanku terdengar samar karena. Kulihat keluar pintu kaca Toko, tak kulihat ada seorangpun disana kecuali tukang parkir yang setiap hari emmang berjaga di tempat itu. Langkah kupercepat, ingin segera memastikan, tetapi memang taka da siapa-siapa lagi disana. Kuambil hapeku di tas, ku cari nama Keanu. Ku enter tanda chatt, diam sejenak namun segera ku close lagi.

Aku menghela nafas dalam-dalam, ini sudah tak masuk dilogika. Kenapa tiba-tiba aku merasa kecewa? Kulangkahkan kaki ku kearah jalanan yang biasa kulalui. Menuju angkutan umum yang biasa mengantarku pulang. Lampu LED hapeku berkedip, kulihat layar hapeku ada nama Senja disana. Kubuka, lalu aku close lagi.

“Angin itupun terjatuh, tepat di depan kedua kelopak mataku. Apakah itu kamu, yang mengalihkan segala pandanganku?” – Jenna

Memasuki satu masa, dimana kamu hanya ingin merasakan bukan lagi mengabaikan. Aku penasaran, sudah itu saja. Sosoknya yang ceria, tawanya yang selalu merekah dan ucapan-ucapannya yang selalu asal-asalan sama sekali tak masuk di dalam daftar pria yang aku idam-idamkan. Aku nyinyir dalam hati, bertanya balik pada diriku sendiri. Memangnya pria seperti apa yang menjadi idamanku selama ini?


Saturday, September 19, 2015

4. A Change Encounter

“Waktu tak akan mengulang pertemuan kita dulu, tapi waktu dapat mengantarkan kita pada pertemuan-pertemuan berikutnya” – Keanu

 KEANU

November - 2011
            
 Seandainya di dunia ini tak perlu ada yang namanya kuliah, sudah pasti hidupku tak akan serumit ini ini. Rutinitas tetaplah rutinitas, seberapa malasnya aku dan sesering apapun aku mengumpat tekadku tetaplah bulat, menyelesaikan kuliah walaupun jauh dari kata tepat waktu tetap menjadi prioritas utamaku. Menjadi salah satu mahasiswa di sebuah kampus swasta di Bandung sangatlah tidak mudah. Susah yang aku maksud bukan masuk ke Fakultas Teknik dan jadi mahasiswa jurusan tambang nya. Tapi keinginan untuk bersenang-senang dengan Kota secantik Bandung adalah hal sulit aku bendung.

Sepagi ini mendung sudah menggantung, namun tampaknya langit masih menerka-nerka kapan waktu yang tepat untuk menjatuhkan curah hujannya. Saat ini semangat di otakku sedang sangat menggebu-gebu, tapi sayang tubuhku tak meresponnya dengan baik. Sehingga kuputuskan untuk tidur lagi. Hari ini, aku merindukan orang tuaku.

Baru saja aku bergerak menuju alam bawah sadarku, tiba-tiba saja nada dering hapeku berbunyi. Aku meraba-raba ke arah sumber suara itu dan akhirnya aku temukan hapeku berada di bawah bantal disampingku. Dengan memicingkan satu mataku, melihat layar hape senymkupun terkembang. Disitulah aku baru merasakan bahwa tubuhku memang masih berada di bumi. Iya, teman-temanku. Kuambil bantal disampingku, kusenderakn tubuhku untuk mengumpulkan energiku. Berbicara tentang teman, untukku mereka itu semacam penyelamat hari-hariku, Karena aku adalah pembenci sepi yang memuja keramaian. Sisanya perempuan-perempuan yang ada di list contact hapeku. Mereka masuk itungan, karena selalu ada saat aku sudah tak punya lagi lawan bicara. Tak perlu berlama-lama dan tanpa harus diperintah, tubuhku sudah bergerak lebih dulu. Energi untuk pergi bersama teman memang tak pernah ada habisnya. Masih muda ini, pikirku sambil meninggalkan tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.

Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, tapi karena mendung langit lebih tampak seperti sore. Aku memarkirkan mobil agak jauh dari letak kampusku. Belum beranjak menunggu temanku Redi yang sepertinya masih berjuang menahan ngantuk di kelasnya. Kusebarkan pandangan kesekelilingku, kulihat beberapa anak kampus bergerombol asik dengan topik pembicaraan mereka. Aku berani bertaruh, tak ada satupun dari mereka yang membahas mata kuliah. Tukang parkir langgananku sedang mengobrol di warung rokok pinggir jalan, asik menyeruput kopi dan menghisap rokoknya sambil sesekali melihat ke arah jalanan. Aku memilih merebahkan tubuhku di mobil sambil memutar beberapa lagu dan memainkan hapeku. Berawal dari obrolan beberapa hari lalu dengan Redi dan temanku yang lainnya tentang prospek usaha yang sedang mereka tekuni, aku mulai tertarik untuk menjalaninya. Sebetulnya hanya karena aku mulai merasa penat dengan rutinitas sehari-hariku yang itu-itu saja. Aku butuh tantangan baru yang bisa memperluas pandanganku. Temanku Reda bercerita mengenai usaha jualan bajunya dan merekomendasikan aku untuk bertemu seseorang yang mungkin bisa membagi pengalamnnya denganku. Aku sedikit tertarik dengan sosok yang akhir-akhir ini jadi bahan perbincangan kami saat berkumpul bersama. Aku tak pernah menutup diri akan kemungkinan apapun, siapa tau ada pelajaran baru yang bisa kuambil sesudahnya. Siapa tau..

In my life I thought that I could spread my wings right out to fly. But the times have changed too much. It’s hard to stand; I don’t know why. – Headlight (Monkey Majik - english version)

Lagu yang sedang kuputar mengingatkan aku pada sebuah cerita yang sering kukarang sendiri. Tak hanya menyukai lagu-lagu Jepang, aku memang menyukai Negari Sakura itu. Berpetualang mengunjungi mengunjungi tempat-tempat baru salah satu caraku melarikan diri dari rutinitas sehari-hariku. Suatu saat aku akan menjelajah tempat itu bersama orang yang tepat, tak lagi sendirian seperti sekrang. Keinginan-keinginan itu muncul terlalu cepat, menyadarkan aku bahwa sekarang aku benar-benar merasa kesepian. Walaupun aku tahu aku tak pernah benar-benar sendiri. Banyak teman tapi jauh dari keluarga. Kuseret kembali ingatanku ke tempatku sekarang. Kenapa semua jadi sedrama ini? Pikiriku. Sejauh yang kuingat, aku hanya ingin membuat kehidupan yang lebih mudah dengan orang-orang baik yang ada disekelilingmu. Diamanpun aku berada, aku ingin selalu menyebarkan benih-benih kebaikan, menghibur mereka yang patah hatinya. Hidupku sendiri sudah terlalu sepi untuk diisi oleh hal-hal yang menyedihkan. Bukan aku tak menyukai kehidupanku, hanya saja setiap manusia memang tak pernah puas. Jangan puas dengan emas jika berlian bisa kau dapatkan. Aku tersenyum mengingatnya. Mengingat apa dan siapa entah aku tak mau pusing.

Bosan mulai menghampiriku karena menunggu terlalu lama, akhirnya Redi muncul juga. Dia langsung duduk dan ibarat buku tanpa ada kalimat pengantar dia langsung ke isi materi. Redi itu salah satu temanku yang merantau disini, logat Sumateranya masih sangat terdengar kental, sehingga kadang aku bingung mencernanya karena saking cepatnya. “Oy Ken, kita langsung aja ke Distro yang aku bilang itu, kau mau pergi lagi dak? Atau ada acara lain lagi dak? Disana ada kawanku yang kita bahas kemarin tu nah. Dia yang kasih aku barang buat jualan tuh. Lumayan, banyak lah anak kampus yang perlu kaos distro tuh, selebihnya lagi aku kirim ke temen rumahku.” Redi nyerocos tanpa jeda. Separuh cerita yang sudah hampir sering kudengar. Kubuka kaca jendela mobilku, membakar rokokku dan langsung mengangguk tanda setuju. Redi sibuk dengan hape dan mulutnya yang terus membicarakan prospek-prospek usaha yang memungkinkan untuk anak kuliahan seperti kami mencari tambahan pemasukan.

“Tapi emang temen lo mau ngajarin gue usaha? Gue usaha beneran lho ini, gue udah sedikit diskusi sama bokap. Mumpung ada lampu hijau dari bokap nih”, kataku sambil memperhatikan jalanan Bandung yang sore ini agak padat menuju ke arah Trunojoyo. “Yo mau lah Ken pasti. Dia tuh pacarnya kawan aku, nah aku dikenalin lah. Dia juga kenal dengan kawan-kawan aku yang di kostan. Kostan kami dekat. Dia tu lah yang ngajakin anak-anak yang lain juga jadi jualan. Jangankan kita-kita nih, pacarnya dia aja jualan.” Redi terkekeh sendiri. “Perasaan kemarin lo gak ada cerita bagian sinetron yang kayak gininya deh. Jadi orang yang mau ketemu kita sekarang ini adalah pacarnya temen si A yang temennya si B dan kenal juga sama si C. Kok gue mumet ya.” Aku tertawa dan Redi memulai penjelasan-penjelasannya lagi. “Ai kau nih, katanya kemarin mau usaha nian, mau dikenalin sama orangnya. Nanti kau ketemu langsung, tanya-tanya langsung lah sama orangnya kalau masalah yang kayak gitu.” Aku mengangguk-anggukan kepalaku, “Pacarnya siapa emang?”aku mulai menemukan obrolan. “Adalah Senja, kawan aku juga. Kenal lah kamu tuh.. Satu kampus sama kita nih, beda jurusan aja cuma. Kawannya Fedy sama Novan juga”, Redi menjelaskan, sedikit demi sedikit bisa kucerna. Walaupun hanya sedikit sekali. Aku pernah mendengar nama yang Redi sebutkan barusan, tapi tak pernah benar-benar mengenalnya. Taka da urusannya denganku juga.

Akhirnya setelah sekitar setengah jam berkendara, kita sampai di daerah Trunojoyo. Tempat dimana surga orang-orang yang ingin belanja baju Distro di Kota Bandung. Orang ramai lalu lalang, cuacanya mendukung. Langit yang mendung dan udara yang segar seolah menabrak moodku yang saat ini sedang on fire. Angin sore ini agak kurang santai, aku beberapa kali membetulkan rambutku yang sedikit berantakan dan mulai berjalan.

“Lo udah bilang ke dia kalau kita mau datang?” aku mencoba memastikan. “Dua hari yang lalu aku kesana ambil barang, aku bilang ada kawan aku yang mau mulai usaha dan perlu ngobrol”jawabnya kali ini datar, sepertinya hapenya membuatnya sedikit sibuk. “Tapi dia udah tau kalau hari ini lo dateng sama gue?” aku terus memastikan. “Kau nih kenapa lah Ken, santai aja kayak mau ketemu siapa aja. Walaupun kantor, tapi suasananya tuh santai. Datang ya tinggal datang, dak usah berkabar  dia pasti ada disana gak pernah kemana-mana”. Redi is back! Dia nyerocos lagi. “Nanti kau bisa tanya-tanya lah ke dia tentang maksud usaha yang kau maksud tuh nah. Siapa tau dia bisa bantu dak eh”. Aku hanya mengangguk-ngangguk karena kita sudah tiba di Distro yang Redi maksud. Kami berdua langsung melangkah masuk ke dalamnya. “Eh Red, siapa namanya temen lo?”tanyaku setengah berbisik. Redi tak menghiraukanku, dia sibuk menyapa orang-orang yang ada dalam Toko, sudah terlihat dia begitu familiar dengan tempat ini. Aku hanya menyapa mereka dengan mengangguk dan tersenyum. Kemudian kita menuju ke pintu yang mengarah ke dalam, tampak beberapa pekerja yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Redi menghentikan langkahnya tepat di depan meja kerja seseorang. “Teh Isa, biasa dong..”Redi tersenyum. Nampak seorang perempuan yang sedang asik di depan layar komputernya langsung menoleh. “Eh Rediii… langsung ke Belakang aja, tunggu yaa dipanggil dulu.” Sedetik kemudian perempuan yang akrab dipanggil oleh Redi – Teh Isa itu langsung berteriak memanggil nama seseorang, kencang sekali. Aku hanya tersenyum nyinyir, Redi hanya bilang terima kasih dan kami berdua langsung berjalan pergi ke tempat yang dimaksud, rupanya sebuah taman. Di sebrang taman dipintu sebuah ruangan terlihat seorang perempuan yang menoleh kemudian menghampiri kami berdua. Jadi ini, calon masterku. Kataku dalam hati.

“Hai Jen, mana Senja”, Redi langsung duduk dibangku taman tanpa disuruh. “Malam kali dia kesini”, jawabnya seperti asal-asalan. “Oh iya, kenalin ini temen yang aku ceritain kemarin Jen,” kata redi menunjuk aku. Aku sontak langsung menyodorkan tanganku kearahnya, “Keanu..” kataku. Diapun menyambut tanganku, “Jenna..” katanya sambil tersenyum.

“Satu kalimat saat aku memandang keajaiban kecil di hadapanku, tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu. Mendungnya pas, aku suka.”

Belum sempat aku membalas senyumnya, Redi sudah langsung menjelaskan maksud dari kedatanganku kesana. Kesannya Redi sudah sangat tahu apa yang aku maksud, padahal aku sendiri sampai detik ini belum tau akan berbuat apa. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, mencari kesibukan yang aku maksud akan menjadi seserius ini. Saatnya mengarang bebas, begitu kira-kira pikirku.

“Jadi, hari mau setoran apa mau ambil barang lagi Red?” Jenna memulai obrolan, aku hanya senyum-senyum tak tahu harus mulai dari mana. “Nanti yoh aku setoran, barangnya masih di kawan aku. Sekarang mau ambil barang aja. Kalian ngobrol aja ya, aku ke gudang hunting dulu”. Redi berjalan meninggalkan kami. Jenna duduk di sebrang tempat dudukku. Dia mulai menyalakan rokoknya dan memandang ke arahku. Perfect! Mengarang bebas kali ini sepertinya berubah menjadi just fill the blank space. Aku merasa hendak akan di interview. “Redi kemana sih?!” umpatku dalam hati.

“Ud..”

 “Ka..”

 Kami berdua sama-sama melemparkan kalimat bersamaan. Jenna tertawa kemudian menghisap rokoknya. Aku tersenyum, menurutku ini tidak lucu sama sekali. Ekspresi Nona didepanku ini membuatku ingin pulang rasanya. “Okay, ladies first..” kataku memulai obrolan. Jenna menghisap rokokknya lagi sambil sesekali masih tertawa, entah apa yang dia tertawakan. “Jadi, kamu mau ikutan kayak Redi juga?” katanya, menurutku basa-basi. Aku yakin dia jelas tahu kedatanganku kesini bukan itu. “Sorry kalau salah, aku bukan dukun yang bisa tau setiap orang maunya apa.”katanya lagi melanjutkan masih dengan ekspresi muka setengah ingin tertawa. Kali ini aku tertawa, karena tak tahu harus menanggapinya dengan bahasa seperti apa. “Udah berapa lama disini?”Kataku akhirnya, mencoba mengalihkan obrolan basa-basi yang garing tadi. Jenna memandangku dengan tatapan menelisik, seolah bertanya maksud aku apa. “Disini, yah di Bandung. Kerja di Distro ini.” Aku cepat menambahkan sebelum tambah terlihat bodoh. Jenna menghisap rokokknya lagi, “udah lumayan lama sih, hampir setahun sih ada.” Jawabannya sesingkat tawanya, ekspresi lucunya tiba-tiba menghilang. Eh, tanpa sadar aku memanggilnya lucu.

Akhirnya setelah berbasa-basi kami mulai bisa menemukan obrolan yang pas. Yah mengenai usaha itu tadi. Usaha yang ingin kumulai dengan jerih payahku sendiri. Belum terlalu lama kami berdua mengobrol, tapi rasanya aku sudah mengenalnya lebih dulu. Bahasaku tiba-tiba lancar, aku bisa mengajaknya bercanda. Entah aku yang memang tiba-tiba humoris atau memang Nona satu ini sangat suka sekali tertawa. Yang jelas aku terhibur dan mulai menaruh minatku untuk terus mengobrol dengannya. Rasa yang tadinya ingin pulang berubah menjadi penasaran dan inin hal ini terus terulang.

“Aku sama sekali belum pernah mencoba usaha apapun itu lho ya. Amatir banget lah pokoknya”, aku menyalakan rokokku yang entah keberapa. Jenna menyodorkan Teh Kotak kedua sore menjelang malam itu. Tak terasa kami sudah mengobrol selama hampir 2 Jam. “Kita kan disini sama-sama belajar, sama-sama mencari tahu”, raut wajahnya serius. Pikiranku menerawang, apa kira-kira yang Jenna bayangkan.“Profesional itu kan amatir yang pantang menyerah”, sambungnya. Aku takjub, dia tak hanya lucu tapi juga pintar. Adzan Maghrib berkumandang, kami berduapun sama-sama terdiam. Aku memperhatikan wajah Jenna yang tertimpa cahaya lampu remang-remang. Ini bukan sepi, ini tenang .

“Kutitipkan satu harapan kecilku dikantongmu, saat aku mulai menjauh dari tujuanku tolong tunjukkan itu padaku. Gambaran masa depanku, kini telah kubagi denganmu.”


Tak terasa sudah hampir 2 jam kami mengobrol. Jujur, membicarakan masa depan tak pernah semenarik ini. Setidaknya aku yang cuek juga punya kekhawatiran tentang apa yang akan aku lakukan. Bertemu dengan Jenna memberikanku sedikit titik terang. Aku memanggil Redi yang sedari tadi asik di ruangan Jenna, streaming beberapa video aku rasa. Redi menghampiri dengan wajah setengah ngantuk. “Udah selesai nih urusannya?” sambil mengusap wajahnya dengan sapu tangan. “Kayak gak ada hari lain aja”, kata Jenna sambil tertawa. Aku otomatis tersenyum. “Barangnya Cuma ada beberapa Jen, besok mungkin aku kesini lagi”, kata Redi sambil memasukkan beberapa baju yang sudah dirapikan ke dalam tasnya. Mendengar hal itu, senyumku merekah saja tak bisa kukontrol. Jenna hanya menanggapinya dengan anggukan. Kami berduapun berpamitan pulang, sempat ingin terpikir untuk menawarkan pulang bersama, tapi kuurungkan. Buat apa? Tanyaku pada hatiku. Seingatku pacarnya akan kesini nanti malam. Lagipula urusanku sudah selesai. Jenna mengantar kami keluar, aku berjalan dan menoleh kebelakang. Dia masih disana, berdiri di bawah tamparan awan gelap yang mendung . Kubayangkan, wajahnya pasti muram.