Thursday, November 7, 2013

3. When the story begin.

“Disaat senja menyapa  cakrawala sore yang temaram, disaat itulah doa para pemeluk kesepian beterbangan.” – Jenna

JENNA

Maret - 2011

Aku menyeruput Teh Kotak dinginku dengan penuh nafsu. Terik matahari siang ini seolah membakar kulitku. Kuambil beberapa uang ribuan dari dompetku dan memberikannya pada kasir sebuah minimarket. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 12.15 terang saja, tengah hari bolong pikirku. Aku menoleh kesekelilingku, tak begitu banyak orang hanya ada seorang ibu beserta dua orang anaknya yang merengek minta dibelikan es krim, sepasang muda-mudi yang sibuk memilih cemilan dan rombongan anak sekolahan yang tampaknya lebih konsentrasi pada obrolannya dibandingkan kepada jajanannya. Sepertinya hanya aku yang sendirian, dan mas-mas kasirnya. Aku melangkah keluar minimarket dan bergegas menuju travel yang ada disebelahnya persis.

Aku tak peduli jika semua orang menganggapku egois. Semua orang juga tahu semua ini tak akan mudah dan ada saja yang berkomentar pedas. Tapi lagi-lagi aku sedang ingin mengabaikan apapun itu kata orang dan hanya mendengarkan suara hatiku sendiri. Sekarang, melarikan diri dari kehidupan yang pahit adalah keputusan yang aku ambil dalam kesadaranku yang penuh. Saat tak ada lagi yang mampu kucerna dalam logika. Saat tak ada lagi yang mampu kau pahami dari apa yang sedang kau jalani sekarang selain membakar habis waktumu, melarikan diri adalah salah satu jawaban yang masih bisa dicerna oleh logika. Setidaknya aku lelah untuk mencoba bunuh diri. Pergi menjauh dari hingar bingar Ibukota adalah pilihan yang paling bijak untukku saat ini. Seiring dengan tak ada lagi yang bisa aku harapkan setelah kuliah dan keluarga aku tinggalkan. Entah apa yang merasuki pikiranku, yang jelas segala penat dan kekecewaan membaur menjadi satu. Aku berharap tak ada satu orangpun di luar sana yang mengalami hal seperti aku seperti aku. Umurku masih 22 tapi beban hidupku seperti single parent yang punya anak tiga. Berdiri disatu tempat yang sama lalu terpojokkan ditinggal waktu. Berlebihan, memang.

Jauh dari keluarga bukan bagian tersulit yang harus aku hadapi, mereka sudah terlebih lama membunuhku semenjak aku bayi. Menjauhi kebiasaan dan teman-temanku juga tidak sulit, ada ataupun tak ada aku kehidupan mereka akan tetap berjalan seperti seharusnya. Jadi intinya, menghilang bagi orang yang tidak dirindukan siapapun itu mudah.

Aku punya permasalahan dengan segala ingatanku. Bahwa aku tidak bisa cepat lupa. Terkadang yang aku khawatirkan hanya satu, tak ingin membuka lembaran baru. Karena cepat atau lambat, itu akan hanya menjadi sebuah ingatan. Aku takut, ingatan yang nantinya aku ciptakan rusak lagi. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, mimpiku. Aku masih tetap butuh bernafas, setidaknya untuk menghidupi mimpi-mimpiku. Karena dalam mimpi, kehidupanku begitu nyata. Aku berterima kasih pada mimpi, tanpanya mungkin aku sudah mati ribuan kali. Aku tak keberatan jika beberapa orang menyebutku egois, hanya saja otakku sudah tak lagi siap menampung semua hal yang kadang tak pernah masuk dalam logika.

“Mbak, ada yang mau dibantu gak barangnya?” pertanyaan seorang pria paruh baya membuyarkan lamunanku, Teh Kotak dinginku sudah kosong namun masih kuhisap-hisap sedotannya. “Oh ya, gak usah Pak. Saya Cuma bawa tas ini aja jadi gak usah dimasukin ke dalam bagasi.” Jawabku sambil kemudian membuang bungkus Teh Kotak itu ke dalam tempat sampah dan masuk ke dalam mobil travel yang akan membawaku kepada kehidupanku yang entah bagaimana nantinya.

Kekuatan pikiran adalah doa. Semesta merespons keinginanku dan keberanianku ditantang. Aku tinggalkan Ibukota lalu melipir ke tempat yang selama ini memang aku idam-idamkan. Selamat tinggal Ibukota, selamat datang di Kota Kembang, aku tak sendirian. Pacarku yang luar biasa siap menyambutku kapanpun  aku mau. Cinta, tunggu aku di Kota Kembangmu.

Sore ini aku berdiskusi dengan Senja, tentang bagaimana sebuah musik bisa mendeskripsikan kata-kata yang tak pernah tersampaikan.

“Kasih aku satu alasan, kenapa aku harus percaya sama kamu?” tanya Senja tiba-tiba.

Aku sibuk memainkan jari-jariku di atas piano, memainkan nada lagu Somewhere Only We Know berkali-kali, karena baru satu lagu itu yang berhasil aku pelajari.

“Karena aku gak punya alasan untuk membohongi kamu.” Jawabku santai sambil masih sibuk dengan hobby baruku.

“Are you getting  tired and need somewhere to begin?” Senja bertanya lagi, kali ini dia duduk disampingku.

Aku tertegun sesaat dan melemparkan pandanganku pada orang disebelahku.

“Nope, I am getting tired and need someone to rely on.” Jawabku datar dan kembali ke dalam nada yang sedang kumainkan.

Senja hanya tersenyum mendengar jawabanku, diapun mulai menggerakkan jari-jarinya, menyamakan nadanya dengan jariku. Kitapun mulai berkomunikasi lewat sebuah lagu dan aku suka.

 Aku memanggilnya Senja, pria tenang yang selalu meyakinkan aku bahwa kehidupan itu baik hanya kadang manusianya saja yang tak tahu diri. Aku menangkapnya bahwa aku berada dalam salah satu deretan ‘manusia tak tahu diri’ itu. Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju.

Hampir satu tahun aku menjalani hari-hariku di Bandung, selama itu juga aku mulai tak ambil pusing dengan dunia lama yang aku tinggalkan. Apa yang aku dan Senja lakukan hanya mencoba menjalani kehidupan yang banyak orang bicarakan.

 Untungnya adaptasiku disana berjalan lancar. Selain mempunyai pacar yang menarikku kembali ke masa sekarang saat kenangan pahit menghampiriku kadang-kadang, Aku juga mempunya rutinitas yang bisa aku jalankan. Memanfaatkan beberapa koneksi pertemanan, aku bekerja disebuah distro di sekitaran Trunojoyo. Tugasku simple, hanya menghandle urusan promo. Bertemu orang-orang baru, semangatkupun terpacu.

“Bulir-bulir impian tepat berada dihadapanku. Aku yang lelah hanya mampu tertegun. Setetes keyakinan membasuh mukaku, secercah harapan menghangatkan kaki telanjangku. Jangan lelah, terus melangkah.“

Senja banyak mengajarkanku tentang bagaimana sesuatu yang kita inginkan memang bukan yang kita butuhkan. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah Tuhan benar menjatuhkanku pada cinta yang baik atau hanya mengenalkanku pada hidup yang lebih baik. Seiring berjalannya waktu aku mulai memahami keberadaanku di tempatku sekarang.

Senja seperti biasa, asik memainkan alat musiknya. Kali ini entah kenapa aku sangat iseng meminta perhatian lebih darinya. “Kamu gak akan kemana-mana hari ini, aku minta kamu disini aja.” Senja tak menghiraukan kata-kataku dia tetap sibuk dengan hobbynya. “Kamu mau makan apa? Biar aku keluar cari makan”, Senja beranjak mengalihkan. “Makan?” aku menggelengkan kedua kepalaku. “Banyak banget yang harus kita bahas”, katanya serius.

Konflik tak selamanya dapat kuhindari. Hanya Senja yang mampu aku percaya sementara ini. Egoku mulai menyelimutiku antara ketergantungan ditengah keterasingan menyudutkanku perlahan. Aku mulai tak bisa membedakan mana yang harus dan tak harus kulakukan dalam berhubungan. Aku lupa, bahwa Senja berhak mempunyai kehidupannya sendiri. Seperti dulu, sebelum aku masuk dikehidupannya. Aku mencoba membaur dengan apapun yang dia jalani, tapi sayang semesta tak selalu merespon usahaku dengan hasil yang baik. Apalah daya, tujuanku kemari berubah, bukan lagi untuk cinta dan hanya dia yang aku punya sekarang. Akupun malas untuk mencari gara-gara. Hidup baru yang sedang kujalani disini sudah lebih berharga untuk harus mundur lagi.

“Saat emosi mulai meraja, nurani lenyap entah kemana” – Senja

Pagi ini seperti biasa, jalanan Kota Bandung masih ramai lancar. Aku bergegas pergi ke tempatku bekerja dengan menggunakan angkutan umum. Berjalan kaki di Bandung adalah salah satu hal yang aku suka. Hanya saja, kenapa aku harus berjalan sendirian? Saat pacarku harusnya bisa menemani. “Ah lebay!” kataku dalam hati. Aku kan bukan bayi, yang kemana-mana harus ditemani. Kupasang headset-ku, ramainya kendaraan yang lalu lalang sekejap hilang ditenggelamkan oleh lagu.

I'm your biggest fan I'll follow you until you love me. Papa-Paparazzi. Baby there's no other superstar you know that I'll be your Papa-Paparazzi – Lady Gaga (Paparzzi)

Noted : Jangan pernah sekali-kali mencoba jalan kaki sendirian pada saat sedang tak enak hati, itu hanya akan membuat perjalanan yang harusnya bisa kau tempuh 10 menit terasa sangat panjang sekali.

November - 2011

            Kantorku adalah bangunan yang terdiri dari lima ruangan. Cukup luas untuk dibandingan dengan distro lainnya. Ruangan pertama adalah ruangan utama dari Distro tersebut, yang memamerkan brandnya yang beraneka ragam. Ruangan kedua adalah tempat dimana gudang dan ruangan admin menjadi satu. Ruangan ketiga adalah bagian belakang yang isinya dapur dan kamar mandi. Ruangan ke empat adalah tempat kerjaku. Ruangan kerjaku disini adalah ruangan yang selalu terlihat berdebu, mungkin karena bagian dari kantorku merupakan bangunan lama yang cat nya sudah semakin memudar. Isinya hanya ada aku dan partner kerjaku Adi, dia seniorku disini yang sama-sama mengurusi segala masalah promo di Distro ini. Dalam ruangan yang selalu penuh oleh asap rokok itu separuh hari kuhabiskan dengan lebih banyak tertawa dan mendengarkan lagu. Yang terakhir adalah ruangan tempat bosku, sialnya letaknya bersebelahan persis dengan ruangan kerjaku. Tapi aku tak ambil pusing, tak pernah ada masalah yang tak bisa kuhandle disini. Selain ruangan yang kusebutkan tadi, ada taman yang tak terlalu luas dibagian luar  tepat di depan ruangan kerjaku dan bosku, yang hanya berisi tempat duduk dan meja. Cukup menolong saat aku butuh udara segar karena sudah mulai sesak di ruanganku sendiri.

I'm gonna love you, when the time is right. Be thinkin' of you, every day and every night. To thank you so many in this world and someday I'll make you my wife. So every time we're not together, I hope you know that you'll be alright. – Boyce Avenue ( Only Girl)

Suatu saat nanti, pasti akan ada masanya dimana kita punya satu tempat yang bisa kita sebut rumah. Dimana kita tak perlu mengkhawatirkan apakah ada yang akan menunggu kita pulang dan ada bahu yang bisa kita jadikan sandaran saat lelah. Suatu hari itu ada, mungkin saat itu terjadi kita tak lagi bersama. Percayalah, di luar sana masih banyak orang yang punya harapan seperti kita dan sedang menuliskan cerita yang sama.

“Jeeeeeeeeen….. Ada tamuuuuu…..’ Suara cempreng Risa memecah lamunanku. Risa rekan kerjaku juga. Suaranya bisa kudengar jelas walaupun jelas ruangan kerja kami terpisah. Kumatikan kecilkan volume lagu di komputerku, kurapikan meja kerjaku yang daritadi hanya kuabaikan. Kuambil rokok ku dan beranjak dan menoleh keluar menunggu dipintu ruanganku, temanku Redi sudah muncul dari balik pintu yang mengarah ke taman, tapi kali ini dia tidak sendirian.

Redi adalah teman Senja yang otomatis menjadi temanku juga. Aku sudah tidak heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba karena dia cukup sering berkunjung kemari mengambil barang berupa baju yang nantinya dia jual kembali. Yah untuk mendapatkan hasil tambahan, aku secara tidak langsung menjadi pemasok baju-baju distro yang ada di tempat kerjaku. Redi adalah salah satu pelanggan tetapku.

“Hai Jen, mana Senja”, katanya langsung duduk dibangku taman tanpa harus kusuruh. “Sorean kali dia kesini”, jawabku asal-asalan. “Oh iya, kenalin ini temen yang aku ceritain kemarin Jen,” Temannya sontak langsung menyodorkan tanganna kearahku, aku menyambut tangannya, “Jenna..” kataku sambil tersenyum. “Keanu..” dia membalasnya.

“Satu kalimat saat aku memandang keajaiban kecil di hadapanku, tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu. Mendungnya pas, aku suka.”



No comments:

Post a Comment