“Akan ada saatnya, dimana kita tak
lagi mengucapkan selamat tinggal. Tapi selamat malam dan satu kecupan hangat
dikening.” – Jenna
JENNA
September - 2015
September - 2015
Ini
bukan tentang hujan di bulan November, juga bukan tentang mendung yang
merindukan cerahnya sang mega. Tapi ini tentang luka yang meradang di kedalaman
jiwa. Membuat tanganku beku, bahkan untuk menuliskan tentang dirimupun aku tak
mampu.
Dear
Hujan,
"Bawalah serta rinduku.
Labuhkan tepat ke dalam hatinya. Hingga pada saatnya tiba, sampaikan padanya...
Bahwa ini dari aku."
Love,
Jenna.
Aku selalu membenci diriku di
cermin, bertabur make up, perhiasan-perhiasan mewah serta baju-baju dari
designer ternama. Terkadang aku butuh istirahat, hanya untuk berkenalan kembali
dengan diriku yang lama, karena aku hampir tak mengenali lagi sosok gadis yang
berada dalam cermin di hadapanku sekarang. Iya, telah aku tersesat terlalu jauh. Tak bisa lagi
aku sebut itu indah, sosok di hadapanku begitu menyeramkan. Membuatku selalu
menangis merindukan diriku yang dulu. Yang telah lama aku tinggalkan.
“Brraaaaakkkkk!!!!!”
Cermin dihadapanku retak, darah segar mengucur dari sela-sela jari tanganku.
Aku menangis terduduk memeluk kedua lututku. Jeritan-jeritan penyesalan
berpendar dipikiranku. Pertahanan ketegaranku runtuh seketika dan hatiku koyak, kemudian suara tangisan terdengar berpendar dalam batinku. Kepalaku pusing ingin muntah rasanya,
mendadak sekelilingku menjadi gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
“Saat banyak
kata yang tak bisa kuungkapkan langsung padamu, aku lebih memilih memelukmu
dalam setiap doa dan air mataku.” - Jenna
Kalimat lirih penyesalan selalu
menjadi mimpi burukku setiap malam. Aku tak bisa mengelak walaupun telah
puluhan butir obat penenang kutegak. Berharap bisa melarikan diri ke dalam
mimpi sambil memaki kenyataan. Dengan hati-hati kumasuki kehidupanmu, kemudian
meninggalkanmu tanpa adanya beban berharap semua akan menjadi normal seperti biasa. Awalnya kupikir
ini akan mudah, karena mengelabui isi
hati adalah hal yang mudah untukku. Tak sulit mendapatkan perhatian dari
para lelaki. Mereka datang dan pergi. Tak ada satupun dari mereka yang pernah
menamparku dengan rindu yang begitu menyiksa. Tak pernah satupun dari mereka
yang membuatku menangis karena menyesal hanya datang untuk bersenang-senang.
Dan tak ada satupun dari mereka yang membuatku merasa menjadi perempuan yang
paling tak berguna di dunia. Semuanya biasa saja, cinta bagiku hanyalah sebuah
fiktip belaka. Semua berubah, saat aku memutuskan menjatuhkan cintaku padamu,
dengan sengaja. Sebagai seorang penipu hati, aku merasa gagal.
Rinai
sisa-sisa hujannya memudar, merubah warna langit yang membiru. Tunas-tunas
harapan yang jatuh berguguran perlahan memudar digantikan dengan ribuan harapan
baru. Sementara aku, duduk termenung memandang penuh keluar jendela,
sambil membalut luka ditanganku. Masih berharap kau datang menjemputku. Kadang
aku ingin sekali mengusir bayangmu dari pikiranku. Mengumpat sendiri dalam
hati, "Sudahlah silahkan pergi! Aku bosan menantimu”.
Soreku
hilang ditenggelamkan sang malam, aku menelisik di balik suram. Sedang apakah
gerangan, pemilik segala resahku setiap malam? “Ahhh... Bodoh!” Aku mendengus
memaki diriku sendiri, luka ditanganku berdenyut sakit sekali.
“Hujan membawaku perlahan pada
sebrang garis kesedihan, membuyarkan segala kebahagiaan yang akan segera kuraih
saat ku terang. Bukan tentang dia yang berdiri disampingku sekarang, tapi masih
tentangnya yang berlari meninggalkanku dulu.”
Suara
tawa renyahnya selalu terbawa hampir setiap malam aku hendak menutup mata. Salah satu
alasan terbesarku untuk rela kehilangan waktu tidurku hanya untuk
memikirkannya. Sosoknya yang tak bisa kulupakan meski sudah hampir 3 tahun kami
tak lagi bertemu apalagi bertegur sapa.
Jantungku
berdebar kencang, kulawan segala pikiran tentangmu. Mencoba segala cara
untuk menyibukkan hari-hariku. Aku adalah salah satu orang yang sangat membenci sepi dan selalu punya cara untuk mengusirnya jauh-jauh dari kehidupanku. Terkadang aku bisa saja memerintah
sepi untuk menjauhiku dengan cara ajaibku, Namun akhir-akhir ini aku sungguh membutuhkannya untuk memelukku erat. Bukan karena sepi dapat menggantikan kehadiranmu, hanya saja
dalam diam aku berdoa. Semoga dalam sunyi, kau mendengar bisikan rinduku.
Di
luar langit tampak mendung, belum ada tanda-tanda langit menjatuhkan curah hujannya. Namun di kamarku sekarang ini, air mataku sudah lebih dulu terjatuh
mendahului langitnya. Andai saja hujan bisa menghapus masa lalu, mungkin kita
semua tak akan pernah belajar, begitu pikirku.
Hujan tak pernah berdendam dijatuhkan dari langit, karena dia tahu bumi sudah siap menangkapnya kapan saja. Begitupun denganku, seharusnya aku tak pernah takut untuk menjatuhkan hatiku padamu. Aku yakin di luar sana kamu sudah menunggu, dengan sepasang tangan yang juga siap menangkapku kapanpun aku mau.
Kapan aku bisa berhenti menjadi budak dari segala kesakitanku? Perasaan ini begitu nyata, terus datang dan menjadi candu untukku. Bak heroin yang menjalar dan melemparkanku kejurang kehidupan yang paling nista. Klise! Kini ku harus tegar, menyiapkan sejuta senyuman, untuk hariku yang paling berat.
Hujan tak pernah berdendam dijatuhkan dari langit, karena dia tahu bumi sudah siap menangkapnya kapan saja. Begitupun denganku, seharusnya aku tak pernah takut untuk menjatuhkan hatiku padamu. Aku yakin di luar sana kamu sudah menunggu, dengan sepasang tangan yang juga siap menangkapku kapanpun aku mau.
Kapan aku bisa berhenti menjadi budak dari segala kesakitanku? Perasaan ini begitu nyata, terus datang dan menjadi candu untukku. Bak heroin yang menjalar dan melemparkanku kejurang kehidupan yang paling nista. Klise! Kini ku harus tegar, menyiapkan sejuta senyuman, untuk hariku yang paling berat.
------------------------------
No comments:
Post a Comment