“Disaat senja menyapa cakrawala sore yang temaram, disaat itulah
doa para pemeluk kesepian beterbangan.” – Jenna
JENNA
Maret - 2011
Aku
menyeruput Teh Kotak dinginku dengan penuh nafsu. Terik matahari siang ini
seolah membakar kulitku. Kuambil beberapa uang ribuan dari dompetku dan
memberikannya pada kasir sebuah minimarket. Kulihat jam tanganku sudah
menunjukkan pukul 12.15 terang saja, tengah hari bolong pikirku. Aku menoleh
kesekelilingku, tak begitu banyak orang hanya ada seorang ibu beserta dua orang
anaknya yang merengek minta dibelikan es krim, sepasang muda-mudi yang sibuk
memilih cemilan dan rombongan anak sekolahan yang tampaknya lebih konsentrasi
pada obrolannya dibandingkan kepada jajanannya. Sepertinya hanya aku yang
sendirian, dan mas-mas kasirnya. Aku melangkah keluar minimarket dan bergegas
menuju travel yang ada disebelahnya persis.
Aku
tak peduli jika semua orang menganggapku egois. Semua orang juga tahu semua ini
tak akan mudah dan ada saja yang berkomentar pedas. Tapi lagi-lagi aku sedang
ingin mengabaikan apapun itu kata orang dan hanya mendengarkan suara hatiku
sendiri. Sekarang, melarikan diri dari kehidupan yang pahit adalah keputusan
yang aku ambil dalam kesadaranku yang penuh. Saat tak ada lagi yang mampu
kucerna dalam logika. Saat tak ada lagi yang mampu kau pahami dari apa yang
sedang kau jalani sekarang selain membakar habis waktumu, melarikan diri adalah
salah satu jawaban yang masih bisa dicerna oleh logika. Setidaknya aku lelah
untuk mencoba bunuh diri. Pergi menjauh dari hingar bingar Ibukota adalah
pilihan yang paling bijak untukku saat ini. Seiring dengan tak ada lagi yang
bisa aku harapkan setelah kuliah dan keluarga aku tinggalkan. Entah apa yang
merasuki pikiranku, yang jelas segala penat dan kekecewaan membaur menjadi
satu. Aku berharap tak ada satu orangpun di luar sana yang mengalami hal
seperti aku seperti aku. Umurku masih 22 tapi beban hidupku seperti single
parent yang punya anak tiga. Berdiri disatu tempat yang sama lalu terpojokkan
ditinggal waktu. Berlebihan, memang.
Jauh
dari keluarga bukan bagian tersulit yang harus aku hadapi, mereka sudah
terlebih lama membunuhku semenjak aku bayi. Menjauhi kebiasaan dan
teman-temanku juga tidak sulit, ada ataupun tak ada aku kehidupan mereka akan
tetap berjalan seperti seharusnya. Jadi intinya, menghilang bagi orang yang
tidak dirindukan siapapun itu mudah.
Aku
punya permasalahan dengan segala ingatanku. Bahwa aku tidak bisa cepat lupa. Terkadang
yang aku khawatirkan hanya satu, tak ingin membuka lembaran baru. Karena cepat atau
lambat, itu akan hanya menjadi sebuah ingatan. Aku takut, ingatan yang nantinya
aku ciptakan rusak lagi. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, mimpiku. Aku
masih tetap butuh bernafas, setidaknya untuk menghidupi mimpi-mimpiku. Karena
dalam mimpi, kehidupanku begitu nyata. Aku berterima kasih pada mimpi, tanpanya
mungkin aku sudah mati ribuan kali. Aku tak keberatan jika beberapa orang
menyebutku egois, hanya saja otakku sudah tak lagi siap menampung semua hal
yang kadang tak pernah masuk dalam logika.
“Mbak,
ada yang mau dibantu gak barangnya?” pertanyaan seorang pria paruh baya
membuyarkan lamunanku, Teh Kotak dinginku sudah kosong namun masih
kuhisap-hisap sedotannya. “Oh ya, gak usah Pak. Saya Cuma bawa tas ini aja jadi
gak usah dimasukin ke dalam bagasi.” Jawabku sambil kemudian membuang bungkus
Teh Kotak itu ke dalam tempat sampah dan masuk ke dalam mobil travel yang akan
membawaku kepada kehidupanku yang entah bagaimana nantinya.
Kekuatan
pikiran adalah doa. Semesta merespons keinginanku dan keberanianku ditantang.
Aku tinggalkan Ibukota lalu melipir ke tempat yang selama ini memang aku
idam-idamkan. Selamat tinggal Ibukota, selamat datang di Kota Kembang, aku tak
sendirian. Pacarku yang luar biasa siap menyambutku kapanpun aku mau. Cinta, tunggu aku di Kota Kembangmu.
Sore
ini aku berdiskusi dengan Senja, tentang bagaimana sebuah musik bisa
mendeskripsikan kata-kata yang tak pernah tersampaikan.
“Kasih
aku satu alasan, kenapa aku harus percaya sama kamu?” tanya Senja tiba-tiba.
Aku
sibuk memainkan jari-jariku di atas piano, memainkan nada lagu Somewhere Only We Know berkali-kali,
karena baru satu lagu itu yang berhasil aku pelajari.
“Karena
aku gak punya alasan untuk membohongi kamu.” Jawabku santai sambil masih sibuk
dengan hobby baruku.
“Are
you getting tired and need somewhere to
begin?” Senja bertanya lagi, kali ini dia duduk disampingku.
Aku
tertegun sesaat dan melemparkan pandanganku pada orang disebelahku.
“Nope,
I am getting tired and need someone to rely on.” Jawabku datar dan kembali ke
dalam nada yang sedang kumainkan.
Senja
hanya tersenyum mendengar jawabanku, diapun mulai menggerakkan jari-jarinya, menyamakan
nadanya dengan jariku. Kitapun mulai berkomunikasi lewat sebuah lagu dan aku
suka.
Aku memanggilnya Senja, pria tenang yang
selalu meyakinkan aku bahwa kehidupan itu baik hanya kadang manusianya saja
yang tak tahu diri. Aku menangkapnya bahwa aku berada dalam salah satu deretan
‘manusia tak tahu diri’ itu. Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju.
Hampir
satu tahun aku menjalani hari-hariku di Bandung, selama itu juga aku mulai tak
ambil pusing dengan dunia lama yang aku tinggalkan. Apa yang aku dan Senja
lakukan hanya mencoba menjalani kehidupan yang banyak orang bicarakan.
Untungnya adaptasiku disana berjalan lancar. Selain
mempunyai pacar yang menarikku kembali ke masa sekarang saat kenangan pahit
menghampiriku kadang-kadang, Aku juga mempunya rutinitas yang bisa aku
jalankan. Memanfaatkan beberapa koneksi pertemanan, aku bekerja disebuah distro
di sekitaran Trunojoyo. Tugasku simple, hanya menghandle urusan promo. Bertemu
orang-orang baru, semangatkupun terpacu.
“Bulir-bulir impian tepat berada
dihadapanku. Aku yang lelah hanya mampu tertegun. Setetes keyakinan membasuh
mukaku, secercah harapan menghangatkan kaki telanjangku. Jangan lelah, terus
melangkah.“
Senja
banyak mengajarkanku tentang bagaimana sesuatu yang kita inginkan memang bukan
yang kita butuhkan. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah Tuhan benar
menjatuhkanku pada cinta yang baik atau hanya mengenalkanku pada hidup yang lebih
baik. Seiring berjalannya waktu aku mulai memahami keberadaanku di tempatku
sekarang.
Senja
seperti biasa, asik memainkan alat musiknya. Kali ini entah kenapa aku sangat
iseng meminta perhatian lebih darinya. “Kamu gak akan kemana-mana hari ini, aku
minta kamu disini aja.” Senja tak menghiraukan kata-kataku dia tetap sibuk
dengan hobbynya. “Kamu mau makan apa? Biar aku keluar cari makan”, Senja
beranjak mengalihkan. “Makan?” aku menggelengkan kedua kepalaku. “Banyak banget
yang harus kita bahas”, katanya serius.
Konflik
tak selamanya dapat kuhindari. Hanya Senja yang mampu aku percaya sementara
ini. Egoku mulai menyelimutiku antara ketergantungan ditengah keterasingan
menyudutkanku perlahan. Aku mulai tak bisa membedakan mana yang harus dan tak
harus kulakukan dalam berhubungan. Aku lupa, bahwa Senja berhak mempunyai
kehidupannya sendiri. Seperti dulu, sebelum aku masuk dikehidupannya. Aku
mencoba membaur dengan apapun yang dia jalani, tapi sayang semesta tak selalu
merespon usahaku dengan hasil yang baik. Apalah daya, tujuanku kemari berubah, bukan
lagi untuk cinta dan hanya dia yang aku punya sekarang. Akupun malas untuk
mencari gara-gara. Hidup baru yang sedang kujalani disini sudah lebih berharga
untuk harus mundur lagi.
“Saat emosi
mulai meraja, nurani lenyap entah kemana” – Senja
Pagi
ini seperti biasa, jalanan Kota Bandung masih ramai lancar. Aku bergegas pergi
ke tempatku bekerja dengan menggunakan angkutan umum. Berjalan kaki di Bandung
adalah salah satu hal yang aku suka. Hanya saja, kenapa aku harus berjalan
sendirian? Saat pacarku harusnya bisa menemani. “Ah lebay!” kataku dalam hati.
Aku kan bukan bayi, yang kemana-mana harus ditemani. Kupasang headset-ku, ramainya
kendaraan yang lalu lalang sekejap hilang ditenggelamkan oleh lagu.
I'm your biggest fan I'll follow
you until you love me. Papa-Paparazzi. Baby there's no other superstar you know
that I'll be your Papa-Paparazzi – Lady Gaga (Paparzzi)
Noted : Jangan pernah
sekali-kali mencoba jalan kaki sendirian pada saat sedang tak enak hati, itu
hanya akan membuat perjalanan yang harusnya bisa kau tempuh 10 menit terasa
sangat panjang sekali.
November - 2011
Kantorku adalah bangunan yang terdiri dari lima ruangan.
Cukup luas untuk dibandingan dengan distro lainnya. Ruangan pertama adalah
ruangan utama dari Distro tersebut, yang memamerkan brandnya yang beraneka
ragam. Ruangan kedua adalah tempat dimana gudang dan ruangan admin menjadi
satu. Ruangan ketiga adalah bagian belakang yang isinya dapur dan kamar mandi.
Ruangan ke empat adalah tempat kerjaku. Ruangan kerjaku disini adalah ruangan
yang selalu terlihat berdebu, mungkin karena bagian dari kantorku merupakan
bangunan lama yang cat nya sudah semakin memudar. Isinya hanya ada aku dan
partner kerjaku Adi, dia seniorku disini yang sama-sama mengurusi segala
masalah promo di Distro ini. Dalam ruangan yang selalu penuh oleh asap rokok
itu separuh hari kuhabiskan dengan lebih banyak tertawa dan mendengarkan lagu.
Yang terakhir adalah ruangan tempat bosku, sialnya letaknya bersebelahan persis
dengan ruangan kerjaku. Tapi aku tak ambil pusing, tak pernah ada masalah yang
tak bisa kuhandle disini. Selain ruangan yang kusebutkan tadi, ada taman yang
tak terlalu luas dibagian luar tepat di
depan ruangan kerjaku dan bosku, yang hanya berisi tempat duduk dan meja. Cukup
menolong saat aku butuh udara segar karena sudah mulai sesak di ruanganku
sendiri.
I'm gonna love
you, when the time is right. Be thinkin' of you, every day and every night. To
thank you so many in this world and someday I'll make you my wife. So every
time we're not together, I hope you know that you'll be alright. – Boyce Avenue
( Only Girl)
Suatu
saat nanti, pasti akan ada masanya dimana kita punya satu tempat yang bisa kita
sebut rumah. Dimana kita tak perlu mengkhawatirkan apakah ada yang akan
menunggu kita pulang dan ada bahu yang bisa kita jadikan sandaran saat lelah.
Suatu hari itu ada, mungkin saat itu terjadi kita tak lagi bersama. Percayalah,
di luar sana masih banyak orang yang punya harapan seperti kita dan sedang
menuliskan cerita yang sama.
“Jeeeeeeeeen…..
Ada tamuuuuu…..’ Suara cempreng Risa memecah lamunanku. Risa rekan kerjaku
juga. Suaranya bisa kudengar jelas walaupun jelas ruangan kerja kami terpisah. Kumatikan
kecilkan volume lagu di komputerku, kurapikan meja kerjaku yang daritadi hanya kuabaikan.
Kuambil rokok ku dan beranjak dan menoleh keluar menunggu dipintu ruanganku,
temanku Redi sudah muncul dari balik pintu yang mengarah ke taman, tapi kali
ini dia tidak sendirian.
Redi
adalah teman Senja yang otomatis menjadi temanku juga. Aku sudah tidak heran
dengan kedatangannya yang tiba-tiba karena dia cukup sering berkunjung kemari mengambil
barang berupa baju yang nantinya dia jual kembali. Yah untuk mendapatkan hasil
tambahan, aku secara tidak langsung menjadi pemasok baju-baju distro yang ada
di tempat kerjaku. Redi adalah salah satu pelanggan tetapku.
“Hai
Jen, mana Senja”, katanya langsung duduk dibangku taman tanpa harus kusuruh.
“Sorean kali dia kesini”, jawabku asal-asalan. “Oh iya, kenalin ini temen yang
aku ceritain kemarin Jen,” Temannya sontak langsung menyodorkan tanganna
kearahku, aku menyambut tangannya, “Jenna..” kataku sambil tersenyum. “Keanu..”
dia membalasnya.
“Satu kalimat saat aku memandang
keajaiban kecil di hadapanku, tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu.
Mendungnya pas, aku suka.”