Thursday, November 7, 2013

3. When the story begin.

“Disaat senja menyapa  cakrawala sore yang temaram, disaat itulah doa para pemeluk kesepian beterbangan.” – Jenna

JENNA

Maret - 2011

Aku menyeruput Teh Kotak dinginku dengan penuh nafsu. Terik matahari siang ini seolah membakar kulitku. Kuambil beberapa uang ribuan dari dompetku dan memberikannya pada kasir sebuah minimarket. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 12.15 terang saja, tengah hari bolong pikirku. Aku menoleh kesekelilingku, tak begitu banyak orang hanya ada seorang ibu beserta dua orang anaknya yang merengek minta dibelikan es krim, sepasang muda-mudi yang sibuk memilih cemilan dan rombongan anak sekolahan yang tampaknya lebih konsentrasi pada obrolannya dibandingkan kepada jajanannya. Sepertinya hanya aku yang sendirian, dan mas-mas kasirnya. Aku melangkah keluar minimarket dan bergegas menuju travel yang ada disebelahnya persis.

Aku tak peduli jika semua orang menganggapku egois. Semua orang juga tahu semua ini tak akan mudah dan ada saja yang berkomentar pedas. Tapi lagi-lagi aku sedang ingin mengabaikan apapun itu kata orang dan hanya mendengarkan suara hatiku sendiri. Sekarang, melarikan diri dari kehidupan yang pahit adalah keputusan yang aku ambil dalam kesadaranku yang penuh. Saat tak ada lagi yang mampu kucerna dalam logika. Saat tak ada lagi yang mampu kau pahami dari apa yang sedang kau jalani sekarang selain membakar habis waktumu, melarikan diri adalah salah satu jawaban yang masih bisa dicerna oleh logika. Setidaknya aku lelah untuk mencoba bunuh diri. Pergi menjauh dari hingar bingar Ibukota adalah pilihan yang paling bijak untukku saat ini. Seiring dengan tak ada lagi yang bisa aku harapkan setelah kuliah dan keluarga aku tinggalkan. Entah apa yang merasuki pikiranku, yang jelas segala penat dan kekecewaan membaur menjadi satu. Aku berharap tak ada satu orangpun di luar sana yang mengalami hal seperti aku seperti aku. Umurku masih 22 tapi beban hidupku seperti single parent yang punya anak tiga. Berdiri disatu tempat yang sama lalu terpojokkan ditinggal waktu. Berlebihan, memang.

Jauh dari keluarga bukan bagian tersulit yang harus aku hadapi, mereka sudah terlebih lama membunuhku semenjak aku bayi. Menjauhi kebiasaan dan teman-temanku juga tidak sulit, ada ataupun tak ada aku kehidupan mereka akan tetap berjalan seperti seharusnya. Jadi intinya, menghilang bagi orang yang tidak dirindukan siapapun itu mudah.

Aku punya permasalahan dengan segala ingatanku. Bahwa aku tidak bisa cepat lupa. Terkadang yang aku khawatirkan hanya satu, tak ingin membuka lembaran baru. Karena cepat atau lambat, itu akan hanya menjadi sebuah ingatan. Aku takut, ingatan yang nantinya aku ciptakan rusak lagi. Tapi ada yang lebih penting dari semua itu, mimpiku. Aku masih tetap butuh bernafas, setidaknya untuk menghidupi mimpi-mimpiku. Karena dalam mimpi, kehidupanku begitu nyata. Aku berterima kasih pada mimpi, tanpanya mungkin aku sudah mati ribuan kali. Aku tak keberatan jika beberapa orang menyebutku egois, hanya saja otakku sudah tak lagi siap menampung semua hal yang kadang tak pernah masuk dalam logika.

“Mbak, ada yang mau dibantu gak barangnya?” pertanyaan seorang pria paruh baya membuyarkan lamunanku, Teh Kotak dinginku sudah kosong namun masih kuhisap-hisap sedotannya. “Oh ya, gak usah Pak. Saya Cuma bawa tas ini aja jadi gak usah dimasukin ke dalam bagasi.” Jawabku sambil kemudian membuang bungkus Teh Kotak itu ke dalam tempat sampah dan masuk ke dalam mobil travel yang akan membawaku kepada kehidupanku yang entah bagaimana nantinya.

Kekuatan pikiran adalah doa. Semesta merespons keinginanku dan keberanianku ditantang. Aku tinggalkan Ibukota lalu melipir ke tempat yang selama ini memang aku idam-idamkan. Selamat tinggal Ibukota, selamat datang di Kota Kembang, aku tak sendirian. Pacarku yang luar biasa siap menyambutku kapanpun  aku mau. Cinta, tunggu aku di Kota Kembangmu.

Sore ini aku berdiskusi dengan Senja, tentang bagaimana sebuah musik bisa mendeskripsikan kata-kata yang tak pernah tersampaikan.

“Kasih aku satu alasan, kenapa aku harus percaya sama kamu?” tanya Senja tiba-tiba.

Aku sibuk memainkan jari-jariku di atas piano, memainkan nada lagu Somewhere Only We Know berkali-kali, karena baru satu lagu itu yang berhasil aku pelajari.

“Karena aku gak punya alasan untuk membohongi kamu.” Jawabku santai sambil masih sibuk dengan hobby baruku.

“Are you getting  tired and need somewhere to begin?” Senja bertanya lagi, kali ini dia duduk disampingku.

Aku tertegun sesaat dan melemparkan pandanganku pada orang disebelahku.

“Nope, I am getting tired and need someone to rely on.” Jawabku datar dan kembali ke dalam nada yang sedang kumainkan.

Senja hanya tersenyum mendengar jawabanku, diapun mulai menggerakkan jari-jarinya, menyamakan nadanya dengan jariku. Kitapun mulai berkomunikasi lewat sebuah lagu dan aku suka.

 Aku memanggilnya Senja, pria tenang yang selalu meyakinkan aku bahwa kehidupan itu baik hanya kadang manusianya saja yang tak tahu diri. Aku menangkapnya bahwa aku berada dalam salah satu deretan ‘manusia tak tahu diri’ itu. Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju.

Hampir satu tahun aku menjalani hari-hariku di Bandung, selama itu juga aku mulai tak ambil pusing dengan dunia lama yang aku tinggalkan. Apa yang aku dan Senja lakukan hanya mencoba menjalani kehidupan yang banyak orang bicarakan.

 Untungnya adaptasiku disana berjalan lancar. Selain mempunyai pacar yang menarikku kembali ke masa sekarang saat kenangan pahit menghampiriku kadang-kadang, Aku juga mempunya rutinitas yang bisa aku jalankan. Memanfaatkan beberapa koneksi pertemanan, aku bekerja disebuah distro di sekitaran Trunojoyo. Tugasku simple, hanya menghandle urusan promo. Bertemu orang-orang baru, semangatkupun terpacu.

“Bulir-bulir impian tepat berada dihadapanku. Aku yang lelah hanya mampu tertegun. Setetes keyakinan membasuh mukaku, secercah harapan menghangatkan kaki telanjangku. Jangan lelah, terus melangkah.“

Senja banyak mengajarkanku tentang bagaimana sesuatu yang kita inginkan memang bukan yang kita butuhkan. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah Tuhan benar menjatuhkanku pada cinta yang baik atau hanya mengenalkanku pada hidup yang lebih baik. Seiring berjalannya waktu aku mulai memahami keberadaanku di tempatku sekarang.

Senja seperti biasa, asik memainkan alat musiknya. Kali ini entah kenapa aku sangat iseng meminta perhatian lebih darinya. “Kamu gak akan kemana-mana hari ini, aku minta kamu disini aja.” Senja tak menghiraukan kata-kataku dia tetap sibuk dengan hobbynya. “Kamu mau makan apa? Biar aku keluar cari makan”, Senja beranjak mengalihkan. “Makan?” aku menggelengkan kedua kepalaku. “Banyak banget yang harus kita bahas”, katanya serius.

Konflik tak selamanya dapat kuhindari. Hanya Senja yang mampu aku percaya sementara ini. Egoku mulai menyelimutiku antara ketergantungan ditengah keterasingan menyudutkanku perlahan. Aku mulai tak bisa membedakan mana yang harus dan tak harus kulakukan dalam berhubungan. Aku lupa, bahwa Senja berhak mempunyai kehidupannya sendiri. Seperti dulu, sebelum aku masuk dikehidupannya. Aku mencoba membaur dengan apapun yang dia jalani, tapi sayang semesta tak selalu merespon usahaku dengan hasil yang baik. Apalah daya, tujuanku kemari berubah, bukan lagi untuk cinta dan hanya dia yang aku punya sekarang. Akupun malas untuk mencari gara-gara. Hidup baru yang sedang kujalani disini sudah lebih berharga untuk harus mundur lagi.

“Saat emosi mulai meraja, nurani lenyap entah kemana” – Senja

Pagi ini seperti biasa, jalanan Kota Bandung masih ramai lancar. Aku bergegas pergi ke tempatku bekerja dengan menggunakan angkutan umum. Berjalan kaki di Bandung adalah salah satu hal yang aku suka. Hanya saja, kenapa aku harus berjalan sendirian? Saat pacarku harusnya bisa menemani. “Ah lebay!” kataku dalam hati. Aku kan bukan bayi, yang kemana-mana harus ditemani. Kupasang headset-ku, ramainya kendaraan yang lalu lalang sekejap hilang ditenggelamkan oleh lagu.

I'm your biggest fan I'll follow you until you love me. Papa-Paparazzi. Baby there's no other superstar you know that I'll be your Papa-Paparazzi – Lady Gaga (Paparzzi)

Noted : Jangan pernah sekali-kali mencoba jalan kaki sendirian pada saat sedang tak enak hati, itu hanya akan membuat perjalanan yang harusnya bisa kau tempuh 10 menit terasa sangat panjang sekali.

November - 2011

            Kantorku adalah bangunan yang terdiri dari lima ruangan. Cukup luas untuk dibandingan dengan distro lainnya. Ruangan pertama adalah ruangan utama dari Distro tersebut, yang memamerkan brandnya yang beraneka ragam. Ruangan kedua adalah tempat dimana gudang dan ruangan admin menjadi satu. Ruangan ketiga adalah bagian belakang yang isinya dapur dan kamar mandi. Ruangan ke empat adalah tempat kerjaku. Ruangan kerjaku disini adalah ruangan yang selalu terlihat berdebu, mungkin karena bagian dari kantorku merupakan bangunan lama yang cat nya sudah semakin memudar. Isinya hanya ada aku dan partner kerjaku Adi, dia seniorku disini yang sama-sama mengurusi segala masalah promo di Distro ini. Dalam ruangan yang selalu penuh oleh asap rokok itu separuh hari kuhabiskan dengan lebih banyak tertawa dan mendengarkan lagu. Yang terakhir adalah ruangan tempat bosku, sialnya letaknya bersebelahan persis dengan ruangan kerjaku. Tapi aku tak ambil pusing, tak pernah ada masalah yang tak bisa kuhandle disini. Selain ruangan yang kusebutkan tadi, ada taman yang tak terlalu luas dibagian luar  tepat di depan ruangan kerjaku dan bosku, yang hanya berisi tempat duduk dan meja. Cukup menolong saat aku butuh udara segar karena sudah mulai sesak di ruanganku sendiri.

I'm gonna love you, when the time is right. Be thinkin' of you, every day and every night. To thank you so many in this world and someday I'll make you my wife. So every time we're not together, I hope you know that you'll be alright. – Boyce Avenue ( Only Girl)

Suatu saat nanti, pasti akan ada masanya dimana kita punya satu tempat yang bisa kita sebut rumah. Dimana kita tak perlu mengkhawatirkan apakah ada yang akan menunggu kita pulang dan ada bahu yang bisa kita jadikan sandaran saat lelah. Suatu hari itu ada, mungkin saat itu terjadi kita tak lagi bersama. Percayalah, di luar sana masih banyak orang yang punya harapan seperti kita dan sedang menuliskan cerita yang sama.

“Jeeeeeeeeen….. Ada tamuuuuu…..’ Suara cempreng Risa memecah lamunanku. Risa rekan kerjaku juga. Suaranya bisa kudengar jelas walaupun jelas ruangan kerja kami terpisah. Kumatikan kecilkan volume lagu di komputerku, kurapikan meja kerjaku yang daritadi hanya kuabaikan. Kuambil rokok ku dan beranjak dan menoleh keluar menunggu dipintu ruanganku, temanku Redi sudah muncul dari balik pintu yang mengarah ke taman, tapi kali ini dia tidak sendirian.

Redi adalah teman Senja yang otomatis menjadi temanku juga. Aku sudah tidak heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba karena dia cukup sering berkunjung kemari mengambil barang berupa baju yang nantinya dia jual kembali. Yah untuk mendapatkan hasil tambahan, aku secara tidak langsung menjadi pemasok baju-baju distro yang ada di tempat kerjaku. Redi adalah salah satu pelanggan tetapku.

“Hai Jen, mana Senja”, katanya langsung duduk dibangku taman tanpa harus kusuruh. “Sorean kali dia kesini”, jawabku asal-asalan. “Oh iya, kenalin ini temen yang aku ceritain kemarin Jen,” Temannya sontak langsung menyodorkan tanganna kearahku, aku menyambut tangannya, “Jenna..” kataku sambil tersenyum. “Keanu..” dia membalasnya.

“Satu kalimat saat aku memandang keajaiban kecil di hadapanku, tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu. Mendungnya pas, aku suka.”



Wednesday, November 6, 2013

2. And the rest is history.


“Sejak pagi aku bersiap, menjatuhkan curahku ke bumi. Karena kau memberi pertanda, perhiasan angkasa yang paling muram di dunia.” - Mendung

Aku tak pernah menyadari, bahwa di satu sore yang mendung cinta telah lebih dulu menghampiriku. Tepat dimana kedua pasang mata kita saling berpaut namun hati belum siap untuk terjatuh. Akhir November yang mendung, kurasa kau telah mengutukku ke dalam cinta yang masih belum dapat kuterka.

KEANU

September - 2015

Jennara, pembawaannya yang tenang selalu berhasil membuat aku merasa nyaman didekatnya. Tak ada sekalipun aku bosan jika sudah terlibat percakapan dengannya. Baik itu mengenai apa yang kita bicarakan atau hanya sekedar duduk diam sambil sekali-kali aku mencuri pandang pada gadis yang akhir-akhir ini sudah berhasil mencuri perhatianku. Terkadang aku tahu, Jenna sadar mataku selalu memperhatikannya diam-diam. Namun dia tetaplah Jenna, Jenna yang tak pernah komentar akan segala prilaku anehku. Dia menyenangkan, siapapun pasti akan betah berlama-lama dengannya. Matanya berwarna coklat, lebih terlihat terang jika diterpa cahaya. Rambutnya hitam panjang bergelombang, lebih sering dibiarkan terurai berantakan. Parasnya manis ditambah gayanya yang manja memang terlihat seperti kebanyakan perempuan normal lainnya. Namun dibalik semua itu, aku yakin Jenna menyimpan sesuatu yang bisa membuatku ikut larut dalam kehidupannya. Tatapan mata yang terlanjur tenang namun mengandung sesuatu yang liar. Pandangannya lebih banyak kosong dan seolah sengaja dibiarkan terbuka, Jika aku tatap lebih lama dan mencoba masuk, aku khawatir akan memilih tinggal disana selamanya. Sampai sekarang aku masih mencari tahu, alasan dia bisa tertawa selepas itu dibalik segala kebahagiannya yang kurasa fana. Harusnya aku sadar ada yang salah sejak pertama kali kita bertemu dan aku tak pernah tau itu apa. Kurasa jika dihitung berat beban yang dia pikul tak akan sebanding dengan tampilan tubuhnya yang mungil. Ingin bertanya tapi takut disangka sok tahu. Jadi kubiarkan saja dia begitu, entah berapa lama dia akan bertahan dengan senyumnya yang palsu. Baru membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri, kira-kira apa rasanya jadi orang yang tega melukai makhluk seindah dia? Jawabanku saat itu hanya satu, aku ingin melindunginya tanpa ketahuan.

Waktu terus berlalu, buatku sosok Jenna bukan hanya sekedar seorang sahabat, teman dekat, pacar atau apapun itu. Kini dia telah menjadi salah satu rutinitas sehari-hariku. Hidupku kini bukan hanya untuk kuliah dan bermain dengan sahabt-sahabatku, Jenna mengalihkan perhatianku. Jenna pernah sekali berbicara tentang kehidupan pribadinya. Tentang kehidupan sehari-harinya dan beberapa hal yang dia suka, salah satunya adalah Traveling. Yang satu itu, aku setuju. Keinginannya itu, menjadi keinginanku juga. Tersimpan rapi dalam note pribadiku untuk mengajaknya pergi, kemanapun dia mau. Yang lebih tak habis pikir, kenapa dia kini otomatis menjadi salah satu prioritas dalam hidupku. Penasaran pasti ada, kenapa aku rela membagi kehidupanku dengan orang asing yang baru saja datang dikehidupanku. Lagi-lagi Jenna menang, tanpa harus meminta aku akan selalu mengiyakan jika dia meminta separuh waktuku. Kebersamaanku dengannya saat ini lebih berharga untuk kuhabiskan dengan segala pertanyaan yang mungkin saja tak akan kudapatkan jawabannya. Lagipula belum tentu apa yang aku perkirakan tentang Jenna itu benar semua. Sekali lagi, Jenna hanya orang asing. Mungkin besok atau lusa dia pergi dan itu tak  akan ada pengaruhnya untuk kehidupanku. Semakin aku mengulang kata-kata itu dihatiku, semakin aku ingin bertemu dengannya. Lagi.

Duduk di teras ditemani kopi dan rokok, bahagia itu sederhana. Yang rumit itu mencoba menyatukan semua potongan puzzle yang ada dalam benakku. Aku mengingat saat pertama mengenalnya dulu. Perempuan yang berasal dari Jakarta dan pada saat itu bekerja disebuah distro di Bandung. Pekerjaannya itu yang membawaku mengenalnya. Terlintas dari niatku menjadi pengusaha muda dan tak sengaja mengikuti saran temanku yang memang berurusan dengan distro tempat Jenna bekerja. Satu hal yang tak ingin ku ambil pusing, Jenna memiliki kekasih yang akupun tak mau tahu. Sempat terpikir untuk bertanya lebih dalam, lagi-lagi tak pernah kulakukan.

Jenna, Jenna, Jenna. Setiap hari selalu seperti itu. Aku tak terima jika ini disebut jatuh cinta. Kusuntikan pikiran positif langsung ke dalam nadiku. Jenna adalah orang yang tepat yang aku temui saat aku ingin belajar. Belajar tentang apapun. Tak berlebihan jika aku ingin ada pertemuan-pertemuan berikutnya, untuk urusan bisnis atau apapun yang aku sendiri selalu malas untuk menerka-nerka dan kemudian kuabaikan Tak sadar aku selalu memikirkan alasan, alasan yang dapat mengantarkanku kepada pertemuan-pertemuan berikutnya. Aku terlena dengan dunia baruku yang sekarang ini sudah ada Jenna. Kami tak pernah terikat oleh komitmen apapun, atau berbicara tentang status seperti yang banyak orang pertanyakan. Jenna mengajarkanku cara bersenang-senang menikmati kehidupan. Yang aku rasa pada saat itu, Jenna pun menikmati kebersamaan yang kadang kurencanakan. Tanpa harus berkata, Jenna tau apa yang aku mau dan aku butuhkan. Dia selalu berhasil mengetahui apa yang aku rasakan. Selalu menghadapi segala keluh kesahku hanya dengan satu senyuman. Yang aku rasakan, Jenna tahu bahwa aku sangat kesepian.

Setelah kehadirannya, setelah semua yang telah kami lewati bersama dan setelah banyak orang datang bergantian dikehidupanku munculah pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menguras akal sehatku. Kriteria perempuan seperti apa yang aku cari selama ini. Apakah aku hanya membutuhkan teman perempuan seperti Jenna atau malah aku butuh Jenna untuk arti yang lebih dalam lagi? Apakah memang hanya untuk urusan bisnis atau lebih penting daripada itu? Atau mungkin aku hanya seperti pria lainnya yang hanya ingin memuaskan rasa penasarannya namun tak mengerti harus mulai darimana? Yang jelas, ketidakhadirannya membuatku bertanya, perempuan seperti apa yang layak aku percaya?

Di kamarku sekarang, aku harus menyerah bahwa selama ini aku tak pernah mengetahui apapun tentang dirinya, selain Jenna yang sudah menyita waktu dan perhatianku. Yang membuatku rela kehilangan waktu luangku hanya untuk melihat senyuman itu lagi. Yang membuatku takjub, bisa tak peduli dengan apa pandangan teman-temanku tentang semua ini. Saat itu aku tak begitu mempermasalahkan hal tersebut, untukku kehadirannya sudah lebih dari cukup. Jenna mampu meredam egoku yang selama ini selalu beranggapan bisa melakukan apapun sendirian. Seorang pejuang tangguh sekalipun, ternyata butuh teman.

            “Jenna dimanapun kau berada saat ini, aku merindukanmu.” Aku lihat waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari.  Aku mulai mengantuk, berharap bertemu dengan sosok nya dimimpi dan menanyakan alasannya pergi. Namun tak pernah berhasil hingga detik ini.

”Aku melewatkan satu keajaiban kecil dalam hidupku. Andai bisa kusimpan, tentu senyummu lah yang paling banyak mengisi kantongku”. - Keanu

------------------------------

1 Selalu ada yang tinggal dan yang pergi


“Akan ada saatnya, dimana kita tak lagi mengucapkan selamat tinggal. Tapi selamat malam dan satu kecupan hangat dikening.” – Jenna

 JENNA

September - 2015

Ini bukan tentang hujan di bulan November, juga bukan tentang mendung yang merindukan cerahnya sang mega. Tapi ini tentang luka yang meradang di kedalaman jiwa. Membuat tanganku beku, bahkan untuk menuliskan tentang dirimupun aku tak mampu.

Dear Hujan,

"Bawalah serta rinduku. Labuhkan tepat ke dalam hatinya. Hingga pada saatnya tiba, sampaikan padanya... Bahwa ini dari aku."

Love, Jenna.

            Aku selalu membenci diriku di cermin, bertabur make up, perhiasan-perhiasan mewah serta baju-baju dari designer ternama. Terkadang aku butuh istirahat, hanya untuk berkenalan kembali dengan diriku yang lama, karena aku hampir tak mengenali lagi sosok gadis yang berada dalam cermin di hadapanku sekarang. Iya, telah aku tersesat terlalu jauh. Tak bisa lagi aku sebut itu indah, sosok di hadapanku begitu menyeramkan. Membuatku selalu menangis merindukan diriku yang dulu. Yang telah lama aku tinggalkan.

“Brraaaaakkkkk!!!!!” Cermin dihadapanku retak, darah segar mengucur dari sela-sela jari tanganku. Aku menangis terduduk memeluk kedua lututku. Jeritan-jeritan penyesalan berpendar dipikiranku. Pertahanan ketegaranku runtuh seketika dan hatiku koyak, kemudian suara tangisan terdengar berpendar dalam batinku. Kepalaku pusing ingin muntah rasanya, mendadak sekelilingku menjadi gelap, dan aku tidak sadarkan diri.

“Saat banyak kata yang tak bisa kuungkapkan langsung padamu, aku lebih memilih memelukmu dalam setiap doa dan air mataku.” - Jenna

            Kalimat lirih penyesalan selalu menjadi mimpi burukku setiap malam. Aku tak bisa mengelak walaupun telah puluhan butir obat penenang kutegak. Berharap bisa melarikan diri ke dalam mimpi sambil memaki kenyataan. Dengan hati-hati kumasuki kehidupanmu, kemudian meninggalkanmu tanpa adanya beban berharap semua akan menjadi normal seperti biasa. Awalnya kupikir ini akan mudah, karena mengelabui isi  hati adalah hal yang mudah untukku. Tak sulit mendapatkan perhatian dari para lelaki. Mereka datang dan pergi. Tak ada satupun dari mereka yang pernah menamparku dengan rindu yang begitu menyiksa. Tak pernah satupun dari mereka yang membuatku menangis karena menyesal hanya datang untuk bersenang-senang. Dan tak ada satupun dari mereka yang membuatku merasa menjadi perempuan yang paling tak berguna di dunia. Semuanya biasa saja, cinta bagiku hanyalah sebuah fiktip belaka. Semua berubah, saat aku memutuskan menjatuhkan cintaku padamu, dengan sengaja. Sebagai seorang penipu hati, aku merasa gagal.

Rinai sisa-sisa hujannya memudar, merubah warna langit yang membiru. Tunas-tunas harapan yang jatuh berguguran perlahan memudar digantikan dengan ribuan harapan baru. Sementara aku, duduk termenung memandang penuh keluar jendela, sambil membalut luka ditanganku. Masih berharap kau datang menjemputku. Kadang aku ingin sekali mengusir bayangmu dari pikiranku. Mengumpat sendiri dalam hati, "Sudahlah silahkan pergi! Aku bosan menantimu”.

Soreku hilang ditenggelamkan sang malam, aku menelisik di balik suram. Sedang apakah gerangan, pemilik segala resahku setiap malam? “Ahhh... Bodoh!” Aku mendengus memaki diriku sendiri, luka ditanganku berdenyut sakit sekali.

“Hujan membawaku perlahan pada sebrang garis kesedihan, membuyarkan segala kebahagiaan yang akan segera kuraih saat ku terang. Bukan tentang dia yang berdiri disampingku sekarang, tapi masih tentangnya yang berlari meninggalkanku dulu.”

Suara tawa renyahnya selalu terbawa hampir setiap malam aku hendak menutup mata. Salah satu alasan terbesarku untuk rela kehilangan waktu tidurku hanya untuk memikirkannya. Sosoknya yang tak bisa kulupakan meski sudah hampir 3 tahun kami tak lagi bertemu apalagi bertegur sapa.

Jantungku berdebar kencang, kulawan segala pikiran tentangmu. Mencoba segala cara untuk menyibukkan hari-hariku. Aku adalah salah satu orang yang sangat membenci sepi dan selalu punya cara untuk mengusirnya jauh-jauh dari kehidupanku. Terkadang aku bisa saja memerintah sepi untuk menjauhiku dengan cara ajaibku, Namun akhir-akhir ini aku sungguh membutuhkannya untuk memelukku erat. Bukan karena sepi dapat menggantikan kehadiranmu, hanya saja dalam diam aku berdoa. Semoga dalam sunyi, kau mendengar bisikan rinduku.

Di luar langit tampak mendung, belum ada tanda-tanda langit menjatuhkan curah hujannya. Namun di kamarku sekarang ini, air mataku sudah lebih dulu terjatuh mendahului langitnya. Andai saja hujan bisa menghapus masa lalu, mungkin kita semua tak akan pernah belajar, begitu pikirku.

 Hujan tak pernah berdendam dijatuhkan dari langit, karena dia tahu bumi sudah siap menangkapnya kapan saja. Begitupun denganku, seharusnya aku tak pernah takut untuk menjatuhkan hatiku padamu. Aku yakin di luar sana kamu sudah menunggu, dengan sepasang tangan yang juga siap menangkapku kapanpun aku mau. 

Kapan aku bisa berhenti menjadi budak dari segala kesakitanku? Perasaan ini begitu nyata, terus datang dan menjadi candu untukku. Bak heroin yang menjalar dan melemparkanku kejurang kehidupan yang paling nista. Klise! Kini ku harus tegar, menyiapkan sejuta senyuman, untuk hariku yang paling berat.
------------------------------

Saturday, March 23, 2013

Prolog






Dear, mendung

“Sejak pagi aku bersiap, menjatuhkan curahku ke bumi. Karena kau memberi pertanda, perhiasan angkasa yang paling muram di dunia.” 

Mendung ini berkisah tentang perjalanan anak manusia yang terus mencari jati dirinya. Dipenuhi oleh lika-liku kehidupan yang seringkali orang abaikan – tepatnya, mereka berjuang untuk abaikan. Setiap perjalanan memiliki cerita yang unik, klasik namun juga ada beberapa bagian yang menggelitik dan mengingatkan kita bahwa cara setiap orang menyelesaikan masalah dan cara mereka menikmati hidupnya pun berbeda-beda.

Jenna, perempuan dengan kepribadian menarik dan energik ternyata menyimpan sejuta misteri kehidupan yang nyaris tak pernah tersentuh oleh siapapun. Dengan sisa-sisa keberanian yang ada, dia mengumpulkan kembali puing-puing kehidupannya yang sengaja dia robohkan hanya untuk menghindari kenyataan. Dengan cara bertahannya yang tak pernah wajar, dia selalu berhasil menyembunyikan kepedihannya dalam balutan ketenangan. Siapa sangka dibalik senyumannya yang menawan, dia mungkin sedang menyembunyikan sebilah pisau yang siap menikammu kapanpun dia mau. Bukankah, duri Mawar selalu bernaung dibalik keindahan kelopaknya?

Keanu, pria optimis dan keras kepala dengan segudang daya pikat dan nyaris memiliki kehidupan yang sempurna karena apa yang dia inginkan selalu berhasil dia dapatkan – atau sudah dia miliki. Ambisinya yang besar menjadikan dia seorang pribadi yang  perfeksionis dan selalu merasa dirinya bisa melakukan segala hal sendirian. Mungkinkah  pertahanannya yang sedemikian kokoh bisa runtuh seketika hanya dengan sebuah senyuman?

Keanu mungkin bukan diciptakan untuk takluk kepada Jenna, namun sayangnya Jenna pun diciptakan bukan untuk menyerah.

Aku terlambat menyadari, bahwa di satu sore yang mendung cinta telah lebih dulu menghampiriku. Tepat dimana kedua pasang mata kita saling berpaut namun hati belum siap untuk terjatuh. Akhir November yang mendung, kurasa kau telah mengutukku. Ke dalam cinta yang masih belum dapat kuterka. Satu kalimat untuk memandang keajaiban kecil dihadapanku. Tepat saat aku menerobos masuk kedalam matamu. "Mendungnya pas, aku suka"

Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan , manakala kebencian membawa kepada kemusnahan percayakanlah semua pada sesuatu yang kita sebut anugrah.

Selamat datang dilangit mendung miliku.


Sincerely, P.