Friday, November 20, 2015

10. I've never shoot to miss

KEANU
Aku dan Meow sedang memperhatikan jalanan di depan kami. Duduk di bangku warung di pinggir trotoar. Hari ini aku baru saja menyelesaikan beberapa persyaratan di kampus untuk dapat mengikuti kelas lagi di semester berikutnya. Meow yang hari ini tidak ada kelas hanya mengikuti setelah kujemput paksa ke rumahnya pagi tadi. Kendaraan yang lalu lalang dan orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing sama sekali tak mengusik kami berdua  yang sedaritadi hanya terdiam. Aku melihat notifikasi di handphoneku, Marisa banyak sekali mengirimkanku pesan. Namun taka da yang aku buka satupun.
“Ken.. lo mendingan buru-buru ambil keputusan” Meow memulai pembicaraan.
“Keputusan apaan?” tanyaku kebingungan.
“Gak bagus terus-terusan bohong sama diri sendiri.” Raut wajahnya agak serius.
“Maksudnya? Aku semakin kebingungan.
“Gue cuma sotoy aja nih yaa, tapi menurut gue, gimana lo bisa jujur sama orang lain kalau lo belum bisa jujur sama diri lo sendiri”, kali ini dia benar-benar memasang wajah yang serius.
“Jenna?” tanyaku nanar. Kulihat Meow hanya menggauk pelan.
Aku tak merespons kata-katanya, hanya mengalihkan pandanganku pada sibuknya pemandangan di hadapanku.
“Woy… ngelamun aja anak mudaaa…” Redi tiba-tiba muncual sambil menepuk pundakku. Dia celingukan. “Berdua aja nih?”
“Emangnya lo nyariin siapa haaah????” Meow kali ini menarik Cappucino yang digenggam oleh Redi dan meminumnya.
“Yah.. siapa kek gitu….” Redi melirik ke arahku. Aku sudah tau pasti arah pembicaraannya namun aku abaikan. Entah itu semacam ejekan atau bukan, yang jelas teman-temanku kini sudah mulai sadar bahwa Jenna kini sudah menjadi salah-satu rutinitas sehari-hariku.
Aku sedang suntuk untuk  sekedar bercengkrama, siang ini cuaca tak terlalu mendukung moodku. Nada getar handphoneku kembali mengalihkan pandanganku pada layarnya. Kulihat nama yang dari kemarin selalu terpampang di layarku, Marisa. Lagi-lagi aku abaikan. Aku sedang taka da niat untuk mengurusi hal-hal seperti itu. Lagipula akhir-akhir ini Marisa sudah mulai mengganggu. Dia terus saja menanyakan keberadaanku dan mengajakku bertemu.
 Terik panas sinar matahari seakan menyengat masuk ke dalam jaket jeans yang aku kenakan. Aku melemparkan pandangan ke sekliling mencari-cari objek yang menarik untuk diperbincangkan.
“Marisa and the genk nyariin kau terus Ken…” aku tak menyangka itu jadi topik pembicaraan yang Redi pilih tengah hari bolong seperti ini. Aku hanya tersenyum tak peduli.  “Apalagi junior-junior tuh nah… setiap papasan sama aku, kau terus lah yang ditanyakan” katanya lagi sambil kembali merebut Cappucino ditangan Meow.
“Emangnya Keanu Dosen pembimbing ya sampe dicari-cari begitu” Meow menimpali sambil asyik dengan game di handphonenya.
“Kalah dosen pembimbing…. Bagi contactnya Risma Ken, cantik nian lah dia tuh…” Redi kini menodongkan handphonenya ke arahku.
“Sekalian aja lo minta semua contact cewek-cewek lucu sekampus Red…” Meow merebut lagi Cappuccino di tangan Redi.
”Aii.. aku nih apolah… Cuma nak aku ajak ngobrol..” Redi memelas.
“Ajak ngobrol langsung lah, perlu gue panggilin anaknya?” Meow mengedarkan pandangannya kesekitar, Redi mengikuti.
“Balik yuk ah, main game di rumah gue” kata ku kemudian karena tak juga berhasil menemukan obrolan yang seru.
“Baru juga dateng udah main balik lagi aja, anak-anak yang lain belum dateng ini” kata Redi kemudian.
Tidak beberapa lama kemudian wajah-wajah orang yang baru saja Redi bahas muncul dihadapanku. Malah sekarang ikut duduk disampingku.
“Yang kemarin itu pacar kamu baru ya Ken?” Marina langsung to the point. Aku hanya tersenyum. “Mana dia? Kok sekarang gak ikut? Bukan anak sini ya?” katanya lagi nyerocos tanpa jeda.
“Ada kok” aku menjawab tenang.
Marisa celingukan mencari-cari sesuatu.
“Dia udah nungguin di rumahku, makanya pengen cepet pulang nih..” aku menambahkan masih dengan tersenyum.
Marisa hanya terdiam, raut kesal jelas terukir dibibir tipisnya. “Kita perlu bicara.” Katanya lagi.
“Aku masih ada urusan Sa.. bisa gak sih kamu biasa aja?” aku berusaha tenang.
Tak lama kemudian dia pun berlalu begitu saja namun aku tak menghiraukan. Meow dan Redi langsung memandangiku dengan wajah penuh pertanyaan.
“Becandaaaaaaaaaaaaaaa kaliiii bang broooo………………” kataku akhirnya, setelah memastikan Marisa benar-benar pergi.
“Biasanya lo semangat banget godain Marisa, tumben banget” Redi mencibir tingkah lakuku.
Aku memang sempat dekat dengan Marisa, seperti biasa, aku tertarik dengan parasnya yang cantik dan sifatnya yang manja. Aku pernah mengajaknya jalan beberapa kali setelah itu aku tak tertarik lagi. Bagiku itu adalah hal yang biasa. Marisa bukan satu-satunya perempuan yang aku kencani dalam waktu bersamaan saat itu. Sempat beberapa kali dia memancingku tentang arah dari hubungan yang kita jalani, aku masih bisa mengatasi. Awalnya aku pikir Marisa bisa menerimanya dengan santai juga, namun sepertinya aku salah. Sikap Marisa akhir-akhir ini lumayan menggangguku dan aku tak tau sampai kapan aku bisa melarikan diri. Sama seperti kejadian yang sudah-sudah, akupun harus menyiapkan sejuta kalimat untuk menghadapinya. Masih ada perempuan-perempuan lainnya yang harus aku urus dan aku sama sekali tak ada keinginan untuk membahasnya lebih dalam.
Aku memang tak dapat mengulang apa yang terjadi dalam hidupku dan aku sama sekali tak menyesalinya. Semua aku lakukan dengan penuh kesadaran dan siap dengan segala konsekuensinya. Kartu kehidupan yang ada ditanganku sekarang, tak dapat kutukar dengan siapapun. Aku hanya dapat terus melanjutkan.
“Yuk cabut yuk…” kataku kemudian sambil melenggang pergi meninggalkan warung yang aku duduki daritadi. Redi dan Meow sontak mengikutiku dari belakang. Aku menyerahkan kunci mobilku pada Meow dan segera duduk dibangku belakang. Dengan wajah bingung Redi dan Meow hanya masuk tanpa banyak bertanya. Aku yakin mereka kebingungan dengan sikapku hari ini, namun aku tak punya keinginan untuk menjelaskan.
“Ke rumah Jenna? Apa ke kantornya” Meow melirikku dari spion depan dan bertanya dari balik kemudi. Aku hanya membaringkan tubuhku sambil memandang ke luar. “Ke rumah gue.” Jawabku singkat.
Sepanjang perjalanan Meow dan Redi banyak membicarakan kehidupan yang terjadi di kampus, tak lagi familiar di telingaku karena sudah lama sekali aku tak ikut nongkrong disana. Jadi aku hanya mendengarkan dengan samar-samar. Pikiranku sekarang ini sedang melanglangbuana entah kemana. Aku bingung dengan perasaanku sendiri yang campur aduk. Kejadian kemarin membuatku sedikit banyak berpikir. Harusnya berakhirnya hubungan Jenna dan Senja membuatku senang, namun entah mengapa ada yang mengganjal dalam hatiku. Perempuan yang aku sayangi dan selalu aku coba lindungi, menjatuhkan tubuhnya dipelukanku untuk menangisi pria lain yang menyakitinya. Sepertinya aku sedikit tak terima. Apakah perasaan Jenna terhadap Senja benar-benar dalam sehingga membuatnya terlihat sangat depresi. Belum lagi bungkusan milik Jenna yang tertinggal dalam mobilku yang terus mengganguku. Aku semakin penasaran dengan Jenna. Aku ingin sekali bertanya secara langsung padanya, mengutarakan perasaanku padanya namun aku masih belum punya nyali untuk melakukannya. Entah takut mendengar jawabannya atau hanya takut merusak suasana yang baru saja aku bangun bersamanya. Hal-hal seperti itu yang membuat moodku berantakan hari ini. Setelah semalam aku mengantarkannya pulang, aku belum lagi menghubunginya. Diapun tak ada menghubungiku sama sekali. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sifat tak sabaran yang ada pada diriku kadang merugikan diriku sendiri, kali ini aku mencoba untuk bersabar dan menunggu. Sambil aku memikirkan langkah yang harus aku ambil selanjutnya.
“Red bisa nemenin gue ke Jakarta gak? Besok atau lusa”, kataku tiba-tiba.
“Yah kok ngedadak banget sih? Aku nih sudah beli tiket buat pulang besok sore” kata Redi akhirnya. Meow sudah aku tanyakan sebelumnya dan dia tak bisa menemaniku dengan alasan ada acara pernikahan teman SMP nya.
Aku hanya berdecak saja. “Siapa ya yang bisa nemenin gue kira-kira?”
“Novan pasti bisa tuh nah… dia baru putus sama pacarnya jadi gak ada acara sampai Tahun baru katanya.” Redi menambahkan.
Aku yang tak sabaran segera menelpon Novan. Setelah mengetahui keberadaannya, aku langsung mengarahkan Meow untuk menjemputnya. Setelah menunggu sekitar 15 menit di gank kostannya akhirnya Novan muncul juga. Dia langsung masuk ke dalam mobil. “Apaan nih?” katanya sambil menggeser bungkusan yang daritadi ada disebelahku.”
Aku segera melemparkan bungkusan itu ke belakang, “punya Jenna” jawabku.
Novan hanya mengangguk-ngangguk saja. Sebenarnya aku sedikit tak enak dengan Redi dan Novan. Mereka berdua lumayan dekat dengan Senja. Yang mereka tau Jenna pasti masih pacaran dengan Senja. Sementara aku, hanya partner bisnisnya semata dan aku yakin mereka sudah lama curiga bahwa ada yang lain dimataku terhadap Jenna. Namun aku yang keras kepala, lagi-lagi mengabaikan apa tanggapan orang lain terhadapku.
“Van, besok apa lusa ke Jakarta lah yuk…”
“Ngapain?”
“Mau ngurusin mobil”
“Mobil yang mana?”
“Yang pasti bukan yang ini, yang flat B dan kayaknya baru besok mobilnya dikirim ke rumah.”
“Widiiihhh…. Mobil baruuuu… boleh lah yuk, test drive lah dengan senang hati” akhirnya aku sedikit lega karena mendengar Novan yang tampak bersemangat. Walaupun aku tak memberitahukan alasanku yang sebenarnya.
Aku lihat Meow hanya memperhatikanku lewat spion, ada raut cemas dalam wajahnya. Dia memang sahabatku yang tanpa perlu aku cerita dia sudah pasti mengerti keadaanku sekarang ini.
            Kami berempat pun meluncur ke rumahku. Sudah lama aku tak berkumpul dengan mereka. Sepertinya aku memang perlu bertukar pikiran dengan teman-temanku, seperti dulu. Agar pikiranku sedikit jernih. Akhir-akhir ini Jenna tak hanya menguras waktuku tapi juga pikiranku. Benar saja, tak lama setelah kami berkumpul suasana menjadi berubah. Isinya tentu saja Boy’s talk only. Disela-sela obrolanku, aku sempatkan melihat handphoneku. Hanya ada beberapa notofikasi dari BBM group online shop dan beberapa chat dari teman perempuanku yang salah satunya Marisa. Sudah pasti kali ini kuabaikan lagi. Jenna sepertinya standby, dia tetap merespon pesanan dan komentar para customer. Aku membaca setiap kalimatnya dan tiba-tiba merindukannya. Jenna bisa sangat sibuk di group namun dia tak menghubungiku sama sekali, tampak mudah sekali baginya. Aku menutup handphoneku dan kembali bermain game bersama teman-temanku.
            Redi yang daritadi sibuk dengan handphonenya sambil menunggu giliran main game akhirnya bersuara. “Tuan Puteri pengen ice cream tuh” katanya sambil terkekeh.
Aku bingung siapa yang dia maksud dengan Tuan Puteri. “Jenna tuh sudah putus kayaknya lah sama Senja” dia mengarahkan pernyataannya kepada Novan yang lebih dekat dengan Senja.
            “Salah orang lo, gue mana tau apa-apa, tanya sama sebelah gue…” Novan menunjuk kearahku.
Redi melirik ke arahku mengharapkan jawaban yang sudah pasti tak akan dia dapatkan. Aku pura-pura sibuk dengan game dihadapanku. “Status BBM Senja sama Twitternya sih sepertinya begitu” Redi menyambung kalimatnya.
Setelah Redi membahas hal tersebut, aku langsung tau siapa yang dia maksud dengan Tuan Puteri. Gara-gara pikiranku yang tak fokus, akupun kalah bermain game dan mengumpat seperti biasa lalu menyerahkan stick ditanganku kepada Redi yang kini sangat bersemangat. Novan yang tertawa-tawa karena merasa menang hanya aku abaikan.
Aku penasaran apa yang dimaksud Jenna ingin ice cream? Aku masuk ke Twitterku, aku search namanya disitu. Terpampang disitu update status Twitter Jenna 15 menit yang lalu.
@jejennar : I want some ice cream please… Hot in here!
Aku menghela nafas panjang. Sedikit kesal. Cari perhatian banget sih, pengen ice cream ya tinggal beli atau seengganya dia bisa langsung minta kepadaku. Begitu pikiran jahatku. Tak biasanya aku cepat kesal dengan hal-hal kecil seperti itu. Namun Jenna benar-benar menguji logikaku.
            Dia mungkin hanya melihatku sebagai seorang lelaki yang terjebak di dalam mimpi. Aku ingin dia melihatku dengan seksama. Percaya bahwa aku tak hanya ingin melindunginya namun juga ingin selalu membahagiakannya. Menjadi satu-satunya orang yang dapat dia andalkan selain dirinya sendiri. Menjadi alasan tawa renyahnya setiap hari dan bukan hanya sebagai bayang-bayang yang menghalangi pandangannya pada pada apa yang di belakangku, masalalunya.
“Aku berpikir kamu disana sedang memanggil namaku berharap aku membawakanmu sedikit cahaya. Pada saat aku menghampirimu, ternyata memang bukan aku yang kau nantikan hadirnya.” – Keanu
Ketakutan dan kesedihan berbaur menjadi satu di udara yang ku hirup. Memenuhi setiap rongga dada yang dengan cepat membuatku sesak. Disela-selanya, aku masih dapat mencium aroma lembut keluar dari tubuhmu yang seakan meminta untuk selalu aku dekap. Namun saat aku menerobos masuk ke dalam matamu, aku sangat yakin sesuatu di dalamnya memerintahkanku untuk pergi. Namun egoku selalu menolak untuk melakukannya dan aku yakin itu tak akan pernah terjadi. Ingin sekali aku terbebas dari keterikatan yang menarikku ke dalam jurang penantian paling nista. Menarikmu kesisiku dan memintamu berhenti menyiksaku seperti ini. Kamu membuatku terus bertanya, seberapa besar luka yang mengisi hatimu agar aku dapat mengobatinya? Dan seberapa besar cinta yang kau butuhkan untuk membuatku merasa lebih berharga?
Life
The world flashed before my eyes
So scared to loose
I want to touch the other side
Amd no one thinks they are to blame
I can’t get it right
Get it right
Since I met you
Loneliness be over
When will this loneliness be over?
( Map of Problematique – Muse)
Baginya, aku mungkin hanya sederetan angka saja. Nomer satu, nomer dua atau entah nomer keberapa. Mengesampingkan kehidupanku sebelumnya, dia tak hanya menjadi prioritas utamaku saat ini. Namun dia bertahta dalam tujuan hidup yang sedang aku rangkai. Kepercayaan diriku selalu membuatku merasa tinggi. Namun sekilas senyuman itu membuatku selalu merasa terlempar lagi. Apa yang membuatmu terlalu istimewa sehingga mampu meruntuhkan tembok angkuhku? Berpaling dari tempat amanku yang kini sudah kau bakar satu persatu oleh tawa renyahmu. Nuraniku mulai terkubur jauh di kedalaman hatiku, nafsuku terjebak dalam keserakahan. Dan sepasang mataku tak  mampu lagi membedakan mana yang dapat dan tak dapat aku jangkau. Apakah kamu bangga dengan semua ini?
“Semenjak bertemu kebahagiaan berupa kamu, bersenang-senang dengan yang lainnya tak pernah sesulit ini.” – Keanu
Aku memejamkan mataku sejenak untuk menyingkirkan segala isi pikiranku. Aku bukanlah seorang yang pandai menerka isi hati, apalagi membacanya. Memang tak adil untukku memikirkan Jenna yang terlalu antagonis di otakku. Lagi-lagi pikiranku menjatuhkannya dan aku merasa sangat bersalah. Mungkin Jenna benar, aku hanyalah seorang pemimpi yang dalam lubuk hatiku terdalam, hanya ingin membahagiakannya.
Aku berjalan menuju ke westafel yang ada di luar kamarku. Berdiri di hadapan cermin dan membasuh wajahku. Aku tersenyum kepada sosok dihadapanku. Menantang segala kelemahan yang ada di dalamnya untuk tetap melangkah tak lagi sebagai bayang-bayang semata.  Tak mengapa berhenti beristirahat saat kau lelah. Menyiapkan ancang-ancang tentang kehidupan yang menanti didepan sana. Aku menghela nafas panjang dan siap melangkahkan kakiku kembali.
“Aku memang berjalan perlahan, namun tanpa jeda” – Keanu
“Udahan yuk main gamenya, gue mau kasihin pesanan sepatu ke rumah Jenna” kataku sambil membaringkan tubuhku di Kasur.
Kali ini Meow dan Redi sedang asik dengan game dihadapannya. “Yuk lah… gue gak ada planning apa-apaan sama sekali, Bebeb gue lagi uring-uringan jadi pusing” Novan yang bersandar memegangi handphonenya nampak pasrah.
“Halaaah…. Urusan percintaan mulu sih lo” kataku melemparkan bantal ke wajahnya. Dalam hati aku mengamini, cinta memang super sulit untuk di deskripsikan.
“Kau drop aku di kampus lagi Ken, motorku parkir disana… aku dak ikut nak packing” kata Redi masih sambil focus dengan gamenya.
“Aaaaaaahhh sialaaaaaaannn!!!” Meow berteriak dan mengarahkan tangannya pada wajah Redi diiringi dengan tawa Redi yang terbahak-bahak. Kali ini Redi baru saja mengalahkan Meow. “Latihan dulu sana yaaa… tunggu aku pulang mudik nanti kita tanding lagi” kata Redi dengan nada sombong dan masih sambil tertawa.
Meow hanya menekuk wajahnya. “Yuk ah berangkaaatt…. Drop gue di kampus juga Ken.. motor gue juga disana” katanya lagi.
“Lo gak mau ikut Meow?” tanyaku.
“Gak deh… nyokap minta temenin ke tukang jait, ambil baju buat besok kondangan. Nanti keburu ngamuk lagi” jawabnya kemudian.
Akhirnya kami berempat bergegas pergi, meluncur ke tempat perempuan yang menyebabkan keresahan yang sedang aku rasakan ini sekaligus perempuan yang punya obat untuk mengusirnya.
Sesampainya di kampus kembali, aku menyempatkan diriku sejenak untuk mampir karena tak enak. Sore itu suasana Kampus sedang ramai sekali. Beberapa anak kampus menikmati masa-masa menjelang liburan panjang akhir tahun. Mereka menghabiskan waktunya untuk berlama-lama mengobrol dengan gerombolannya masing. Aku berjalan ke tempat teman-temanku berkumpul lengkap. Mereka langsung memberondongku dengan ribuan pertanyaan setibanya aku disitu. Aku hanya menjawabnya asal-asalan. Diantara deretan teman-temanku yang ramai, aku lihat Marisa ada di tengah-tengahnya. Dia hanya memasang muka kesal lalu berjalan menghampiriku. Suasana yang ramai tak memberikanku celah untuk menghindar, lagi.
“Ken, aku pengen ngomong sama kamu..” katanya kemudian. aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Ya udah ngomong aja kataku akhirnya” sudah pasti aku tau apa yang akan keluar dari mulut Marisa selanjutnya.
Marisa melirik ke arah sekitar dan menarik lenganku, memerintahkanku untuk menjauh sedikit dari keramaian. Aku hanya menghela nafas panjang mengikutinya dan berjalan gontai. Dia mengajakku ke sudut selasar yang tak jauh dari teman-temanku. Aku sibuk mengedarkan pandanganku dan membakar rokokku.
“Eh bandel banget sih ngerokok di kampus” Marisa merebut rokokku dengan manja.
Lagi-lagi aku hanya tersenyum, otakku sibuk merangkai kata-kata untuk kusiapkan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Aku mengambil rokokku kembali dan membakarnya, kali ini Marisa tak berulah lagi.
“Kenapa Sa?” aku bertanya tenang ke arah gadis dihadapanku yang wajahnya sekarang terlihat gusar.
“Aku bingung sama kamu Ken, datang dan pergi sesuka hati.” katanya sambil duduk di tembok pembatas selasar.
Seingatku, aku sudah sangat sering mendengarkan kalimat seperti itu meluncur di hadapanku. Tak hanya dari Marisa. Biasanya aku meresponnya dengan jawaban-jawaban ambigu yang lembut karena tak ingin lebih melukai perasaan perempuan-perempuan yang memang sudah terluka itu. Sambil mengambil ancang-ancang untuk menghilang perlahan dari pandangan mereka. Perasaan sesaat yang mereka rasakan padaku mungkin akan dengan mudah digantikan oleh pria lainnya. Aku memang tak pernah benar-benar memikirkan hal tersebut sehingga aku tak pernah ambil pusing sedikitpun. Lagipula aku tak pernah memikirkan tentang apa yang perempuan-perempuan itu umpatkan di belakangku. Walaupun sedikit banyak aku mendengar beberapa bisikan di belakang sana yang menggambarkanku sebagai pria yang tak berperasaan, namun itu tak menyulitkanku untuk menggandeng perempuan-perempuan lainnya. Gosip yang beredar sepertinya tidak memudarkan pesonaku, jadi dimana letak salahku? Aku kan memang menyambut mereka hanya karena ingin bersenang-senang. Satu hal lagi, aku tak pernah memaksa mereka untuk mendekatiku juga.
Kali ini suara dihatiku dengan lantang menyuruhku untuk berbalik arah dan aku memutuskan untuk berhenti, tak hanya kepada Marisa yang kini sedang tertunduk lesu namun juga kepada pikiranku, untuk tak melakukan hal seperti ini lagi. Aku sadar hal ini hanya membuang-buang waktuku percuma. Aku merangkai kata untuk menarik garis lurus dari segala kesalahanku selama ini.
“Sa, aku minta maaf sebelumnya. Gak usah kamu jelasin lebih detail, aku ngerti apa yang pengen kamu sampaikan sama aku.” Aku mengarahkan tatapanku kepadanya yang saat ini masih saja cemberut.
Aku meraih bahunya dengan kedua tanganku.
“Kamu cantik dan bisa dapetin cowok yang lebih dari aku” Aku sadar itu ungkapan basa-basi, yang aku tau setiap perempuan sangat senang dipanggil dirinya cantik. Marisa kini menengadahkan wajahnya kepadaku. Sekilas kulihat matanya berkaca-kaca, lagi-lagi itu bukan pengalaman pertama bagiku dan aku sama sekali tak merasakan apa-apa.
“Kita berteman dan akan terus seperti itu” aku meremaskan tanganku ke bahunya. Kini air mata Marisa mulai mengalir dipipinya. Aku ingin mengusapnya namun aku urungkan karena itu bukan tugasku.
Aku melihat ke arah teman-temanku yang kini sedang larut dalam obrolannya. Hanya sesekali mereka melemparkan pandang ke arahku kemudian mengacuhkan drama yang sedang aku hadapi. Pemandangan seperti ini bukanlah yang pertama kali untuk mereka. Wajarlah jika mereka sudah terbiasa dan memilih untuk tak mau tau.
“Aku punya kehidupanku sendiri begitupun dengan kamu. Kita jalani speerti biasa dan lupakan apa yang ada di belakang” kataku kemudian.
Aku melirik kesekelilingku yang masih tampak ramai. beberapa pasang mata lainnya kusadari sudah mulai melihat ke arahku dan aku sudah mulai merasa risih. Sekarang aku menyiapkan pipiku, siap-siap jika kali ini aku mendapatkan tamparan kejutan. Walaupun untuk yang satu itu aku tak pernah merasakannya hingga sekarang. Hanya berjaga-jaga saja, pikirku.
“Gara-gara cewek Jakarta itu?” pertanyaan Marisa tak kuduga lebih menyayat hatiku dibandingkan tamparan yang aku harapkan.“Gak akan aku biarkan yah Ken!” katanya dengan mengatupkan giginya menahan tangisannya yang lebih deras.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak habis pikir. “Jangan gitu Sa, dari awal aku kan udah bilang kalau kita gak pernah ada hubungan apa-apa” aku sedikit gusar.
“Aku gak terima kamu ninggalin aku gitu aja, setelah semuanya ini.” Akhirnya Marisa menangis, air matanya lebih deras kali ini. Aku agak kewalahan.
“Aku tau aku salah, tapi dalam hal ini kita sudah sama-sama dewasa Sa.” Kataku akhirnya.
Marisa semakin menangis kemudian pergi meninggalkanku yang masih berdiri tak habis pikir.
Ada cemas yang menyerang hatiku, bukan cemas dengan Marisa yang kini menangis sederas itu. Namun aku cemas akan apa yang akan terjadi kepada Jenna. Nada Marisa yang sedikit mengancam sepertinya tidak basa-basi, namun aku masih belum bisa menafsirkan apa yang akan Marisa lakukan setelah ini.
Apakah maksud kata-katanya yang menegaskan “Setelah semunya ini…” aku mengehela nafas panjang, memikirkan kesalahanku padanya sehingga dia sampai seperti tadi.
----------------
Saat itu langit sudah malam aku terduduk di sebuah café yang lumayan sepi di dalam sebuah Mall di Bandung. Aku sibuk dengan handphone dan kopi di hadapanku. Tak beberapa lama kemudian, munculah perempuan yang mengenakan kaos ketat berwarna jingga dan rok menggantung di atas lututnya. Cahaya lampu memperlihatkan siluet lekukan tubuhnya dengan jelas malam itu. Dia tersenyum ke arahku dan aku membalas senyumannya. Malam sudah semakin larut, udara yang dinginpun menusuk tubuhku. Perempuan yang ada disebelahku mendekatkan tubuhnya disampingku, aku reflex merangkulnya. Tak lama setelah itu, aku mengeluarkan tiket bioskop yang sudah aku beli sebelumnya sengaja kupilih jam terakhir agar kondisi Mall sepi sehingga tak banyak kemungkinan orang-rang yang aku kenal melihatku berada disini. Kami bergegas karena film yang akan kita tonton akan segera dimulai.
Kurang lebih sekitar 2 jam kami menonton dan aku hanya fokus kepada film dihadapanku, hampir melupakan keberadaan perempuan yang sedari tadi hanya berjalan disebelahku. Aku meliriknya sekilas, terlihat wajahnya cemberut dan kesal sekali karena jarang aku ajak bicara. Akhirnya aku genggam tangannya kulihat sekilas senyum terkembang di senyumnya. Aku tersenyum berbicara di dalam hati. Perempuan tak seribet apa yang kata orang bicarakan.
Sesampainya di mobil aku langsung berniat mengantarkannya pulang ke kostannya. Disepanjang perjalanan, dia banyak melemparkan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan pribadiku namun sudah pasti hanya kujawab seadanya saja. Aku memperhatikannya yang sedaritadi sibuk dengan cerita-ceritanya, tak ada satupun ceritanya yang aku hiraukan namun aku hanya mengangguk-angguk seolah aku mendengarkan. Lumayan lah untuk membuang-buang waktuku yang tak tau harus berbuat apa mala mini, begitu pikirku. Setibanya di kostannya yang tak jauh dari Mall tempat kami bertemu, wajahnya tiba-tiba panik. Gerbang kostannya sudah digembok, aku tak ambil pusing pada saat itu. Hanya saja aku bingung, aku tak mungkin meninggalkannya seorang diri malam-malam begini. Aku sudah menyarankan untuk menghubungi teman-temannya dan menginap disalah satu tempat temannya, namun dia sibuk beralasan jika temannya mungkin sudah tidur semua. Aku lirik jam di tanganku, wkatu sudah menunjukkan pukul 1 malam dan aku sudah lumayan lelah. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Perempuan disebelahku terus bertanya menegnai rumahku. Mengingat rumahku yang selalu kosong, mungkin saja jika dia aku ajak menginap disana. Namun tentu saja hal tersebut tak aku lakukan. Akhirnya ku mengarahkan kendaraanku ke sebuah hotel dan check in disana. Aku dan perempuan itu kini sudah berada di kamar hotel yang lumayan nyaman. Dia menyuruhku untuk tak buru-buru pergi dan menunggu sampai dia selesai mandi. Alasannya dia takut sendirian. Aku hanya mengiyakan. Berada berdua di kamar Hotel dengan seorang perempuan memang bukan hal yang pertama aku lakukan. tanpa perlu usaha lebih jauh lagi, orang dewasa sudah pasti tau apa yang terjadi kemudian.
Paginya aku bangun lebih awal. Perempuan disebelahku tertidur lelap sekali. Aku memandanginya sekilas, tak ada niatan untuk aku bangunkan. Aku mencuci wajahku dan segera berpakaian. Pergi menuju lobby dan memesan sarapan untuk diantarkan ke kamar yang aku tinggalkan. Setelah itu aku pulang dan tidur lagi.
Begitulah singkat cerita kedekatanku dengan Marisa. Bukan hal yang harus aku bagi, karena untukku hal tersebut sangat wajar terjadi. Aku tak pernah memaksanya sama sekali, itu pikiranku. Namun lagi-lagi kalimat Marisa yang sedikit mengancam membuatku waswas kali ini.
Aku kembali berjalan mengahampiri teman-temanku. Setelah berbincang-bincang menimpali celotehan teman-temanku tentang Marisa alakadarnya. Nama Jenna tiba-tiba menelisik masuk ke dalam segala pikiranku. Tanpa berpikir lagi, aku mengajak Novan segera bergegas karena tak ingin berlama-lama lagi disini.  
Diperjalanan aku hanya terdiam mendengarkan musik. Tak pernah terjadi sebelumnya aku memikirkan masalaluku yang saat ini sangat aku sesali. Selama ini aku hanya sibuk menebak-nebak masalalu Jenna, tanpa sadar ketakutanku ini membalikan segalanya ke arahku.
Novan akhirnya membuka suara, kali ini nada bicaranya serius sekali “Kita ke Jakarta sama Jenna juga kan?”
Aku mengangguk tak ada alasan untuk menutupinya lagi.
“Gue yakin, urusan lo sama Jenna bukan cuma urusan bisnis aja deh. Gue cowok Man..” katanya.
Aku hanya terdiam saja, fokus dengan setir ditanganku. Dalam hati aku mengiyakan.
“Gini deh, kalau cuma gara-gara Senja lo jadi gak enak sama kita-kita, buang jauh-jauh pikiran kayak gitu. Ini urusan hati Man bukan cuma sekedar urusan gak enak sama temen.”
“Gue sama sekali gak mikir gitu kok…” kataku kemudian.
“Bagus  kalau lo gak mikir begitu, gue cuma khawatir sama lo aja. Soalnya kita belum tau Jenna itu kayak gimana” sambungnya agak cemas.
“Maksudnya?” aku penasaran. “Lo khawatir karena gue gak tau Jenna kayak gimana atau karena lo udah tau gue kayak gimana?” aku menambahkan dengan penegasan dalam kalimatku, mengingat apa yang terjadi antara aku dan Marisa tadi.
Seakan mampu membaca ekspresiku Novan melanjutkan “Kalau sama Marisa atau sama yang lain-lainnya gue gak ambil pusing Man..”
“Terus?”
“Yang gue tau kan Jenna kemana-mana selalu sama Senja setahun belakangan ini, masalah hubungan mereka kayak gimana, gue juga gak tau”, katanya lagi.
“Mereka udah putus kok..” kataku kemudian.
“Oh…” kata Novan mengangguk-angguk.
“Lo takut Jenna cuma manfaatin gue sebagai pelampiasannya aja atau lo takut gue manfaatin Jenna yang emang lagi linglung butuh perhatian?” aku bertanya, kali ini Novan hanya diam saja.“Gak bakalan lah Man.. kayak anak bocah aja. Lagian gue juga bisa kok ngejaga sikap professional gue… Woless…” kataku kemudian, namun tak menampik itu salah satu hal yang aku khawatirkan juga.
“Masalahnya kali ini lo datang ke Jenna bukan buat senang-senang” Novan menerawang. “Dan gue yakin Jenna gak butuh perhatin lebih”, katanya kemudian, tak sesuai dengan ekspektasiku. Aku terdiam sejenak.
“Kalau memang ternyata takdirnya Jenna datang di hidup gue cuma buat kasih pelajaran sama gue, gue bisa apa?” aku menirukan kata-kata Jenna.
“Gilak!” Novan berteriak tak habis pikir. Aku hanya tersenyum dan bernyanyi mengikuti alunan musik yang daritadi sudah memenuhi mobilku.
How do we get here
Well I used to know you so well..
How do we get here
Well I think I know…
There is something I see in you
It might kill me
I want it to be true..
( Decode – Paramore )
Kali ini aku tidak memarkirkan mobilku di tempat biasa. Aku berbelok ke arah Mini Market yang berada di samping Hotel dekat rumah Jenna. Aku masuk ke dalamnya dan membeli beberap cemilan dan minuman ringan.
Setibanya di dalam mobil, aku langsung mematikan mesinnya dan mengajak Novan untuk turun. “Kok kita parkirnya disini?” Novan kebingungan.
“Iya kita jalan kaki darisini aja, gue males parkir lagi” kataku kemudian.
Aku meminta bantuan Novan untuk memegangi kantong plastik yang aku pegang dan berusaha meraih bungkusan milik Jenna yang kini sudah tergeletak di belakang.
“Ice cream???” Novan tertawa melihat isi kantong plastik yang saat ini ada ditangannya.
Aku hanya tertawa-tawa saja malas berdebat. Sepanjang perjalanan Novan hanya menggodaku saja.
“Kayak gini lo bilang wolees bro?”
“Emang gue juga pengen ice cream kok, geraaaaaaaaaaah…………”
“Gerah darimana? Adem begini udah” Novan celingukan, memang udara sore ini sangat sejuk sekali, ditambah rimbunnya pepohonan yang ada disepanjang jalan kami.
“Hati gue geraaah…” kataku kemudian.
“Sejak kapan urusan perempuan bikin lo gampang kepanasan?” Novan hanya mencemooh.
“Mumet nih Marisa lama-lama..” kataku akhirnya.
“Ya elah, yang bikin mumet Marisa apa Jenna?’ katanya meledekku.
“Marisa lah…” aku bersikeras meyakinkan.
“Gini deh ya, gak ada di kamus lo sebelumnya lo mumet sama Marisa. Dari awal lo pasti tau, kayak yang udah-udah aja deh. Dia juga pasti ribet.” katanya lagi masih sambil tertawa.
“Gue juga kan manusia mas bro…” aku lelah terus menghindar.
“Jadi sekarang lo bingung mesti milih Marisa apa Jenna?” dia meledekku tak kepalang.
“Gilak lo ya. Jenna lo bandingin sama Marisa?” kataku yang reflex menoyor kepalanya.
“Oh kalau gitu sekarang Marisa jadi salah satu alasan lo buat hanya setia pada satu cinta” Novan berkata seolah dia sedang berpuisi. “Akhirnya sang Pangeran menemukan Tuan Puterinya dan meninggalkan Selir-Selirnya, kemudian meraka hidup bersama, selamanya” katanya semakin ngarang.
Dalam hati aku hanya mengamini. Semoga langkah yang aku ambil ini bisa menyelamatkan langkahku yang selama ini sudah terlanjur sesat.  Dihadapan Novan, aku hanya merespons celotehannya dengan tertawa.
 Tak jauh dari rumah Jenna, aku sudah mendengar suara musik yang sudah pasti berasal dari kamarnya. Kamipun sampai dan aku langsung mengetuk pagar rumahnya, Jenna keluar dari kamar yang jendela dan pintunya sengaja dibiarkan terbuka. Tak seperti orang yang seharian di rumah, tampilannya sangat rapi sekali. Ada make up yang tipis di wajahnya, bibirnya diberi lipstick warna pink muda senada dengan warna pipinya yang merona. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tampak lembut sekali. Jenna tersenyum berdiri di daun pintu menggunakan mini dress putih bermotif bunga warna ungu dan hijau. Wangi parfumenya yang lembut menyeruak sesaat dia menghampiri kami berdua di pagar dan membukanya. Tak bisa aku pungkiri, dia memang bisa meredakan cemas dihatiku saat ini.
“Mau kemana Master?” kataku penasaran.
“Pertanyaannya itu abis dari mana?” katanya sumringah.
“Dari mana atuh Jen… cantik banget…” Novan menggodanya sambil memberikan bungkusan plastik di tangannya. Jenna lagi-lagi hanya tersenyum dan hanya meletakkan bungkusan plastik tadi di sofa.
“Aku dari pagi di salon, sampe ketiduran berapa kali aku lupa yang jelas sekarang aku udah seger parah!” jawabnya ringan.
Jadi, itu yang dikerjakan perempuan yang seharian ini membuatku gusar… memanjakan dirinya di Salon seolah tak terjadi apa-apa. Keterlaluan! Atau memang aku yang mulai berlebihan.
“Makan dong ice creamnya, nanti keburu cair…” kata Novan masih dengan nada menggoda.
“Ice cream?” Jenna bertanya balik kemudian dia tertawa. “Ohh…. Iyaa tadi aku pengen banget ice cream, soalnya pas lagi sauna panas banget. Aku sampe lupa”, katanya sambil tersenyum.
Meskipun sore ini cukup teduh, aku tetap merasakan panasnya darah mengalir dalam pembuluh nadiku. Mengantarkannya tepat ke dalam jantungku dan membuatnya seakan membuncah. Aku merasakan sesuatu tak lagi berada pada tempatnya. Hatiku telah hilang dicuri orang.
Aku menghela nafas panjang.. Ya ampun! Pikirku.
Setiap aku melihatnya tertawa seperti itu, aku selalu berpikir kebohongan apa yang sedang dia sembunyikan dibalik senyumannya yang begitu menawan. Aku tau dia tak pernah gagal menangkap segala perhatian dan tatapanku, namun dirinya dengan mudah berpaling seolah tak pernah terjadi apa-apa.  Disatu sisi aku berharap bahwa apa yang aku rasakan akan tetap seperti ini. Namun disisi lainnya, aku ingin sebaiknya kita tak pernah bertemu sama sekali.
Jenna kemudian menghampiriku dan menyodorkan Ice Cream ditangannya ke arahku. Aku menggigitnya dan mengernyit ngilu. Jenna lagi-lagi hanya tertawa dan kembali menikmati Ice Creamnya lagi.
Sikapnya yang lembut berbanding terbalik dengan tatapannya yang selalu dingin kepadaku. Aku tak tau mana yang lebih dominan. Perasaan memperdulikanku atau keinginannya yang kuat untuk selalu mengabaikanku. Dibalik segala kata-kata dan gerak-geriknya, mungkin dalam hati dia juga berjuang keras untuk tak menyakitiku.
Ketika aku memejamkan mataku, aku selalu memimpikan sebuah tempat yang teduh. Tempat aku menunggu pikirannya yang sedang berkelana jauh. Terkadang dia terbang sangat tinggi sehingga mengilang dibalik awan yang kelam, tak terjangkau lagi dari penglihatanku. Petir bersahutan dalam pikiranku. Takdir menungguku segera tiba dalam dekapannya, sementara dunia sibuk berputar menungguku menetapkan pilihan. Pergi meninggalakannya yang kini tak lagi aku lihat dalam pandangan atau tetap menantinya dengan menyiapkan sejuta pelukan.
Kini aku tau bagaimana rasanya mendengarkan suara-suara dalam kepalaku dengan sangat jelas. Yang selalu menderaku dengan ribuan harapan saatku menutup mata. Matahari perlahan mulai menenggelamkan tahtanya di ufuk barat. Aku merasa cahayanya mulai mengkhianatiku yang sedari tadi hanya berharap kaku.
“Besok kita ke Jakarta ya, jalan agak pagian aja biar gak macet”, kataku akhirnya.
Jenna duduk disebelahku dengan pandangan tak percaya. “Iya…” kataku kemudian.
“Besok apa lusa sih?” Novan kebingungan. Aku mengedipkan mataku pada Novan.
“Okay…”katanya mengangguk tak banyak berkomentar.
“Berarti aku mesti buru-buru packing nih” Jenna terdengar sangat antusias.
Aku sedikit kesal mendengar nada bicaranya. Untuknya kebersamaan kami setiap hari mungkin tak ada pengaruhnya. Sementara aku bingung harus menyambutnya dengan ekspresi wajah seperti apa. Karena aku sudah mulai terbiasa dengan hariku yang selalu ada dia setiap detiknya dan belum siap jika harus jauh darinya, walaupun hanya untuk beberapa hari saja.
“Ini pesanan hari ini Master…” aku menyerahkan secarik kertas dalam tasku.
“Good… good nanti aku kirimin ke Mas Egi by email” katanya lagi.
Berhubung Jenna menyebut nama itu, aku langsung teringat dengan bungkusan kecil yang sedaritadi aku abaikan.
“Eh nih oleh-oleh kamu!” kataku setengah meledek.
“Ya udah taruh aja disitu”, kata Jenna sibuk dengan Ice Cream dan catatan ditangannya tak ada sedetikpun dia menoleh ke arahku.
“Gak dibuka dulu itu? Gak penasaran apa?” kataku menggodanya.
“Kamu penasaran ya?” dia mnggodaku balik. “Ya udah aku buka deh nih”, Jenna hanya tersenyum dan meletakkan catatan ditangannya kemudian menyodorkan gagang ice cream yang sedaritadi dia pegangi ke arahku. Kini tangannya sibuk membuka bungkusan itu. Aku menghabiskan Ice Cream yang kini sudah mulai mencair itu.
Lagi-lagi aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku saja. Tak habis pikir dengan jalan pikirin perempuan di sampingku. Dia selalu tau apa yang aku inginkan, aku memang penasaran tapi menembakku langsung di depan wajahku dengan sikapnya yang seolah semua itu wajar, membuatku ingin pergi saja.
Akhirnya bungkusan ini sekarang sudah terbuka, Jenna memeganginya sambil memandanginya. Ditangannya kini sudah ada Jam tangan mewah berwarna silver bertabur permata kecil disekelilingnya. Dari tampalinnya saja aku sudah tau bahwa itu adalah jam tangan mahal dari salah satu brand ternama. Jenna tak berkomentar apa-apa, hanya memandanginya dan kemudian mengambil secarik catatan kecil yang melekat dalam tempatnya. Dia membacanya dan segera meletakkan semua itu di sampingnya.
Aku reflex mengambil catatan itu dan membacanya. “Semoga kamu tau waktu dan masih ingat jalan pulang” begitu tulisannya.
“Gak sekalian aja nih dia ngasih kamu kompas biar tau arah pulang” aku nyinyir setengah mati, kata-kata itu meluncur saja dari mulutku sesaat setelah membacanya.
“Kenapa gak sekalian aja kasih aku Peta… mungkin dia pikir aku Dora” Jenna ikut tertawa mendengar reaksiku.
Novan meraih jam tangan itu dan sibuk membolak-balikanya seolah kekaguman. Aku bersikap senormal mungkin, menertawakan seolah hal tersebut lucu. Jangankan jam tangan seperti itu, apapun yang Jenna inginkan aku masih sanggup mengambilkan. Apa Jenna sadar, dihadapannya kini ada orang yang sudah mati berulang kali dipikirannya hanya karena ulahnya yang demikian. Dalam dadaku yang sedaritadi bergejolak, aku rasakan cemburu yang menggebu-gebu. Aku tak tau masalah apa yang Jenna tinggalkan yang jelas aku sama sekali tak ingin dia kembali ke Jakarta saat ini.
“Ya udah aku pulang ya.. udah mau Maghrib nih” tak sanggup lagi menahan gejolak yang ada dalam hatiku.
Jenna menoleh kali ini, “kok cepat banget?” tanyannya dengan wajah yang polos.
Aku tersenyum segan dan mengajak Novan untuk segera bergegas. Sebenarnya aku masih ingin berada disitu, namun perasaanku sudah sangat tak karuan. Tanpa berbasa-basi lebih lama lagi, aku melangkahkan kaki seribu dari tempat itu.
Diperjalanan, Novan terus saja menceramahiku. Kata-katanya hanya berpendar saja dipikiranku, sama sekali tak ada yang aku dengarkan.
“Kalau lo kayak gitu terus yang ada Jenna bingung…” Novan meyakinkan.
“Kenapa harus bingung?” aku mulai mendengarkan kata-katanya.
“Ya bingung lah.. mau lo itu sebenrnya apa?” katanya menirukan ekspresi Jenna.
“Gue kan emang gak mau apa-apa”
“Anak SMP juga tau kalau cara lo itu menggambarkan orang yang lagi PDKT dan sekarang lagi cemburu setengah mati.” Dia to the point akhirnya.
“Terus?” aku menanggapinya dengan datar.
“Jenna itu pintar Ken, dia gak sebodoh yang lo kira”
Aku menghela nafas panjang.”Yang bilang dia bodoh itu siapa?” aku meradang.
“Ini sih namanya bukan lo yang mau mainin Jenna. Tapi lo yang udah kebawa sama permainannya Jenna” katanya kemudian.
“Maksud lo apa?” kali ini aku benar-benar serius.
Aku heran bukan kepalang kenapa Novan bisa berpikir bahwa aku dan Jenna sedang dalam keadaan saling mempermainkan.
“Nih ya, gue yakin Jenna sebenernya tau lo suka sama dia.”
Jleb! Kata-katanya Novan meluncur halus ke dalam hatiku. Jantungku meresponnya dengan cepat dan langsung berdegup tak santai.
“Dan Jenna gak suka sama gue?” tanyaku dengan tawa sungkan.
“Gue gak bilang Jenna gak suka sama lo ya, cuma perempuan seperti Jenna itu gak gampang ditebak. Lo mesti siapin segala konsekuensinya kalau emang mau maju terus”, Novan nyerocos seolah dia merupakan seorang yang sangan expert.
Aku tak suka dengan nada bicaranya. ‘Perempuan seperti Jenna’, perempuan seperti apa maksudnya? Dan apalah artinya aku sudah masuk ke dalam permainannya Jenna. Aku tak pernah berpikir Jenna mempermainkanku. Sama sekali tidak. Hati kecilku bersikeras membela Jenna.
“Jenna kayak gimana sih emang kalau lagi pacaran sama Senja?” akhirnya aku bertanya. Menanyakan pertanyaan yang sudah lama lalu-lalang dalam pikiran nampun tak sempat aku sampaikan.
“Jenna itu mendominasi. Gue aja jarang ketemu Senja semenjak mereka pacaran.” Novan menjelaskan. “Lagipula yang gue tau, Senja datang ke Bandung itu buat berkarya bukan buat urusan percintaan dan gue tau Senja itu tekadnya kuat banget.”
“Hubungannya sama Jenna?” tanyaku lagi.
“Entah gima komitmen mereka berdua yang jelas mimpi-mimpinya Senja udah ada ditangan Jenna gue rasa” katanya menebak-nebak.
“Jenna ngelarang Senjan buat ngeband atau semacamnya emangnya?” kataku langsung keinti, takutnya Novan tak enak jika blak-blakan.
“Bukan Jenna yang maksa, Senja yang emang kecintaan” Novan menambahkan.
“Terus?”
“Bagus sih ya.. tapi gue rasa Jenna gak secinta itu sama Senja buat layak dapetin pengorbanannya Senja”
Kali ini aku kaget bukan kepalang. “Kenapa dia gak layak?
“Senja pernah bilang, Jenna lebih mencintai masa lalunya dan terjebak di dalamnya. Selamanya.” Entah Novan hanya menerka atau tidak, aku hanya mampu terdiam mendengarkan ceritanya. Terlintas nama Ghanu dipikiranku, apakah itu memang Ghanu yang selama ini menahan langkah Jenna untuk mengungkapkan perasaan aslinya. Tapi rasanya itu tidak mungki, hatiku menyangkalnya.
“Masa lalu yang kayak gimana sih yang lo maksud?’ aku menegaskan.
“Gue rasa Senja gak pernah bahas mantan-mantannya Jenna. Lebih ke hidupnya aja.” Novan sepertinya tau banyak tentang Jenna namun dia tak pernah bercerita sedetail sekarang.
“Senja sering cerita sama lo?” lagi-lagi aku butuh sebuah ketegasan.
“Jarang, kalau lagi ada waktunya aja.” Katanya singkat.
“Lo kebawa perasaan banget sih Van.” Akhirnya aku mencoba santai.
“Kebawa perasaan gimana?’ kali ini Novan bingung.
“Mungkin karena lo lagi ada masalah sama Bella jadi lo take everything seriously” kataku tertawa.
“Yeeeeh…. Ini anak…” dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Apa yang Novan katakan tak begitu mempengaruhiku. Memang sedikit kuat dalam ingatanku, namun aku tak terlalu memperdulikan. Aku terfokus pada lampu merah yang ada di hadapanku. cahaya kasih sayang dalam diriku belumlah padam, tetap aku jaga untuknya yang mungkin saat ini sedang tersesat.
Novan menggoyang-goyangkan tubuhku agar aku segera memacu kendaraanku kembali karena lampu kini sudah berwarna hijau.
Aku melanjutkan perjalananku yang terasa sangat jauh sekali, seperti aku yang akan terus melangkah memegangi cahaya harapanku untuknya, yang akan aku berikan suatu saat dia membutuhkan.
 Aku menyingkirkan semua pikiran-pikiran yang tak perlu. Banyaknya kendaraan yang membanjiri jalanan kali ini benar-benar membuatku tersendat-sendat.  Ditengah kemacetan jalanan Kota Bandung, aku menyandarkan tubuh di jok mobilku. Aku hanya perlu terus bernafas untuk menghidupi semua mimpiku. Aku membuka handphoneku dan mengcheck Twitterku. Di timeline aku lihat Jenna mengupload photnya sedang mendekatkan Ice Cream ke mulutnya sambil tersenyum manis tertulis captionnya disitu. “Thank’s for bring my mood back” katanya. Aku kencangkan volume music yang sedaritadi hanya samar kudengar. Tak kusadari bahwa aku baru saja tersenyum dan reflex mereply cuitannya
Reply to @jejennar : kwords : Besok kita makan Ice Cream lagi ya J
Tak lama kemudian Jenna merespons Twitt ku.
Reply to @kwords : @jejennar : With your pleasure J
Aku membayangkan senyumannya yang sudah pasti manis sekali.
Notifikasi lainnya muncul.. kali ini pemilik akun @redinafiza ikut nimbrung di twitterku
Reply to @jejennar @kwords : redinafiza : Uhuk!
Aku langsung meresponnya.
Reply to @redinafiza @jejennar : kwords : Batuk minum obat woyy… bukannya ngetweet!
Reply to @kwords @jejennar : @redinafiza : Tau gitu aku ikut L
Reply to @redinafiza @jejennar : @kwords : hahaha suruh siapa balik.

My heart a stereo it beats for you so listen close
Hear my thought in every note
Make me your radio turn me up when you feel low
This melody was meant for you
Sing along to my stereo
( Stereo Hearts – Gym Class Heroes feat Adam Levine)

Hanya ada Redi yang memenuhi Timelineku kali ini sementara Jenna menghilang entah kemana. Akupun meletakkan handphoneku lagi dan merambat mengarungi kemacetan dihadapanku.
Setelah berjuang mengarungi kemacetan sekitar 1 jam lebih, akhirnya kami sampai juga. Aku segera bergegas menuju ke kamar dan merebahkan tubuhku di kasur sementara Novan sedang asyik teleponan dengan pacarnya di balcon. Aku merasakan seluruh pembuluh darahku dan melemaskan otot-ototku yang sudah sangat kaku. Punggungku pegal bukan kepalang karena terlalu lama duduk. Aku memejamkan mataku sejenak namun pikiran tentang Jenna segera menyeruak masuk tanpa aku undang. Aku bosan sendiri dan memikirkan apa yang sudah aku lakukan hari ini. Menyesal karena hanya sebentar saja mengunjunginya. Seberapa besarpun pikiran burukku tentangnya, aku tetap merindukannya. Sampai-sampai dadaku sesak memikirkannya. Kalau saja perjalananku yang macet tadi tidak menguras tenagaku, ingin sekali aku meluncur ke rumahnya untuk menjemputnya kesini.
Akhirnya kuputuskan untuk meraih handphoneku dan mencari nama Jenna di contact BBM ku. Lama aku termenung, memikirkan hal apalagi yang harus aku perbuat untuk mendapatkan perhatiannya. Aku meletakkannya kembali dan sibuk dengan pikiranku sendiri.
Paranoid akhirnya menyapa lamunan panjangku, suara-suara di dalam kepalaku bertambah nyaring. Aku sangat takut kehilangan moment-moment berhargaku dengan Jenna jika aku terlalu seperti ini. Walaupun sudah berjuang dengan sangat kuat untuk mengabaikan aku sangat yakin akan perasaanku kepada Jenna yang bukan hanya sekedar ketergantungan semata. Jenna bukan lagi menjadi bagian dalam hidupku, namun kini sudah candu untukku.
Kenangan yang Jenna tinggalkan di belakangnya menamparku dan membuyarkan segala harapanku. Seperti menumbuhkan luka baru dalam jiwaku. Aku terhuyung-huyung memunguti kepingannya kembali, satu persatu. Genderang perang dalam batinku saling bersahutan, memerintahkan diriku untuk segela bersiap menyerang. Benteng kepercayaan diri dan rasa aman dalam naungan istana ku sendiri, kini tak lagi aku temukan memaksaku untuk membangun segalanya dari awal lagi. senyuman Jenna memburuku dari kejauhan. Mendorongku untuk menyerah dan takluk dihadapannya. Namun tak semudah itu aku iya-kan. Sebenarnya aku tak ingin jadi orang yang pertama kali memulai segala pertarungan batin ini. Tapi cinta selalu tau untuk memilih menjatuhkan baranya pada hati yang lengah kemudian membakarnya tanpa peduli apa yang disisakan setelahnya. Tak seharusnya aku menyalahkan Jenna, pemilik panah berapi yang saat ini sudah melepaskan anak panahnya yang berkobar tepat ke arahku. Di kedalaman hatiku tersadar, bahwa akulah yang telah memacu nyalanya api dalam pertempuran ini dan menjadi satu-satunya yang masih bingung dengan pertahanan macam apa yang harus aku gunakan untuk memadamkannya. Cinta tak pernah salah, hanya kadang manusianya saja yang selalu membuat rumit. Aku tak tau untuk apa dan siapa pertempuran dalam hatiku ini. Karena sejauh apapun aku melarikan diri, hatiku lebih terluka. Aku putuskan untuk tetap tinggal dan menikmati setiap kobaran api yang kini sudah membumi hanguskan segala yang aku punya, tanpa tersisa…
“Kamu sebentuk hati, sementara aku adalah anak panah yang hilang arah” - Keanu
Saat kegusaraan hati mulai menguasai sebagian logika, sedikit percakapan denganmu mungkin akan sedikit membuatku lupa, bahwa diri ini sedang terluka.
Keanu : Master…
Jennara : Iya….
Keanu : Kaki aku luka...
Entah apa yang aku pikirkan, sibuk mencari perhatiannya menjadikan ide gilaku mengambil alih kelakuan isengku.
Jennara : Hah? Kok bisa?
Keanu : Iya, tadi aku ngantuk banget. Gak sengaja nyenggol Vas Bunga. Tau-tau kaki aku berdarah. Banyak banget, aku pusing..
Aku bertingkah sedrama mungkin ingin tau mengetahui responnya lebih lanjut.
Jennara : Kmau takut darah?
Keanu : Iya..
Jennara : Minta tolong Bibi bersihin lukanya gih, jangan dibiarin lama-lama nanti infeksi
Keanu : Bibi aku panggilin daritadi tapi gak ada.
Jennara : Kerumah sakit gih Mas..
Keanu : Mau jalan aja gak bisa, ke Rumah sakit gak sanggup nyetir
Jennara : Novan mana?
Keanu : Dia udah aku drop-in pulang, aku BBM dia pending.
            Lama aku tunggu tak ada jawaban lagi dari Jenna. Aku merasa menyesal sudah membohonginya. Mungkin kali ini Jenna sudah tak habis pikir dengan kelakuanku. Aku kan hanya iseng, hati kecilku melontarkan pembelaan. Jenna mungkin ilfeel dan menganggap aku seperti anak kecil yang merengek minta perhatian sampai-sampai dia tak lagi merespons BBM ku.
            Aku bergegas ke kamar mandi. Merenungkan apa yang baru saja aku lakukan dan tenggelam di bawah guyuran shower.
There's a part of me you'll never know
The only thing I'll never show
Hopelessly I'll love you endlessly
Hopelessly I'll give you everything
But I won't give you up
I won't let you down
And I won't leave you falling
If the moment ever comes
( Endlessly – Muse )’

            Aku bimbang bukan kepalang. Perasaanku yang naik turun terhadap Jenna, itu sama sekali tak mengubah kerinduanku akan sosoknya yang suka semena-mena. Setelah hampir 2 jam aku berada di kamar mandi. Air panas yang menyirami seluruh tubuhku akhirnya sedikit membantu melepaskan otot-otot di keplaku yang kaku. Aku melangkahkan kakiku ke dalam kamarku. Kulihat Novan yang sudah selesai dengan teleponnya kini duduk di sofa dengan wajah tegang. “Kenapa lo? Tanyaku dengan bingung. Novan melirik ke arah samping kirinya. Aku yang masih berdiri dipintu dengan mengenakan handuk maju melangkahkan kakiku untuk dapat melihat apa yang Novan tunjukkan. Alangkah kaget aku melihat sosok Jenna yang tadi terhalang oleh lemari sedang berdiri mematung dengan tatapan yang berkaca-kaca.
            Aku menelan ludahku dan menghamipirinya, dia masih menatapku dengan nafas yang memburu. Matanya yang berkaca-kaca kini mulai meneteskan air mata. Akupun memeluknya. Jenna tak membalas pelukanku pun tak bergerak sama sekali. Aku merasakan tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Aku memegangi tangannya yang dingin. Dan dapat merasakan nafasnya yang cepat. Setelah beberapa detik, aku lihat wajahnya dan menghapus butiran air mata yang mengalir di pipinya.
“Aku gak kenapa-kenapa Master..” kataku pelan.
            Aku kembali memeluk perempuan dihadapanku yang sedari tadi tak mengeluarkan sepatah kata apapun. Hanya terdiam mematung. Aku tak peduli dengan apa yang Novan pikirkan tentangku.

I’ve never shoot to miss. Kataku dalam hati.